Penulis: Dahono Prasetyo
Media Tempo kali ini menyampaikan laporan utama yang cukup mengejutkan banyak pihak. ACT (Aksi Cepat Tanggap) sebagai lembaga nirlaba sedang dilanda prahara manajemen.
Dana patungan dari umat (katanya) untuk kemanusiaan, di tangan manajemen pengelola ditemukan indikasi penyimpangan. Yang paling terasa menyentak persoalan gaji yang jadi bahan rebutan petingginya.
Hasil laporan penelusuran Tempo: Ibnu Khajar (Presiden ACT saat ini) mendapat gaji Rp 250 juta/bln. Petinggi lainnya sekelas Senior vice president bergaji Rp 150 juta/bln. Klaim Tempo yang didapat dari “bocoran” internal ACT sudah dipastikan dibantah Ibnu Khajar dkk. Kalau sudah keluar di media, bantahan menjadi tidak penting lagi.
Hasil wawancara Tempo dengan Ahyudin (mantan Presiden ACT, yang dulu pernah bermain api dengan Bukalapak terkait sumbangan yang mengalir ke ISIS) menyebutkan: “Gaji di ACT tinggi. Saya pasang tinggi gajinya. Saya paksa kerja habis-habisan supaya ACT bisa mempersembahkan program yang baik. Tapi 25 persen gaji saya kembalikan ke lembaga sebagai wakaf.”
Kita bisa mencium aroma ketidakharmonisan di antara para petingginya. Apapun alasannya gaji ratusan juta untuk petinggi di sebuah lembaga donasi, itu berasa menyakitkan. Mereka yang numpang hidup dari sumbangan umat, tidak seharusnya demikian kan?
Ini sebenarnya Lembaga Donasi atau Partai Politik sih? Lembaga Filantropi atau Holding?
Dana hasil menyisihkan sedikit demi sedikit rejeki umat, diembat juga. Ratusan spanduk, iklan, selebaran bernuansa dramatis disebar demi mengetuk pintu nurani umat, ternyata dipermainkan petingginya. Kita jadi salah satu penyumbang yang sudah ikhlas sejak dalam fikiran, sebagian kita juga berstatus penerima sumbangan dana dengan berbagai syarat dan alasan.
Bagi yang pernah membaca laporan keuangan ACT bahwa ada PULUHAN miliar rupiah dana disalurkan ke fakir miskin, korban bencana alam, perang, kekeringan, kelaparan silahkan analisa logikanya, bahwa sebenernya jumlahnya bukan puluhan tetapi RATUSAN milyar?
Sebagian mengalir ke kantong-kantong pengurus, dan tingginya biaya operasional. Penerima sumbangan mustahil protes karena “baik hatinya” lembaga donasi.
Bagi para pemberi sumbangan tetap diam mengatasnamakan keihklasan. Pamali mempertanyakan sesuatu yang sudah ikhlas diberikan, khawatir mengurangi janji pahala?
Benar juga kata seorang kawan: Kemiskinan, kelaparan itu obyek bisnis kemanusiaan yang paling sexy. Mempertahankan kemiskinan berjalan seiring dengan mempertahankan kelangsungan hidup lembaga donasi.
Kalau sudah begini masih ikhlas-kah kita menitipkan, mempercayakan sumbangan kemanusiaan melalui lembaga donasi swasta?
Baca juga:
Petinggi ACT Diduga Hidup Mewah dari Limpahan Uang Sumbangan Umat