Gerakan Presiden Pribumi

Penulis: Amroeh Adiwijaya

Kok judul di atas “harusnya”, napa bukan “harus”? Cukup harusnya, sebuah kata normatif bisa iya bisa tidak alias bergantung banyak hal.

Karena penulis bukan penguasa yang bisa mengharuskan ini-itu kepada siapa saja, maka kata “harus” adalah pas untuk anda pembaca yang punya wewenang memerintah cespleng mujarab meski masih dengan tanda-tanya mau dan beranikah?

-Iklan-

Dengan mengikuti naluri manusia dan pertimbangan teori apapun, akan sempurna jika seorang pemimpin berasal dari kominitas mayoritas pemilih, dan itu adalah seharusnya.

Maka tidak heran jika dalam perebutan calon pemimpin apapun akan muncul perebutan dan persaingan ketat antar masing-masing komunitas.

Dikerucutkan pada pemimpin/presiden suatu negara terkhusus Indonesia, harusnya berasal dari komunitas penduduk asli, dan tidak perlu risih dengan sebutan “pribumi” mengapa? Karena pemimpin yang terpilih harus fokus melaksanakan aspirasi pemilih, mengutamakan pribumi dalam segala hal, tidak terkontaminasi dengan kepentingan asing manapun, sebuah sikap sejati tertinggi “nasionalisme cinta NKRI”.

Bagi Indonesia sangat penting, tidak seharusnya bersikap lain dengan mengaitkan pada negara-negara lain misal AS dengan Barack Obama-nya, Inggris dengan Rishi Sunak-nya, atau Peru dengan Alberto Fujimori-nya yang membuat Peru bergejolak luar biasa itu.

Harap diingat, ikatan darah asli seseorang akan sangat mempengaruhi keputusan terhadap komunitas kedarahan aslinya.

Jika langkah-langkah di atas ditempuh juga oleh Indonesia bermakna “liberalisme” kebablasan telah merasuk di sanubari penganutnya padahal liberalisme sendiri telah terbukti merusak sendi-sendi asasi kemanusiaan, dan dalam perkembangannya banyak yang ingin “back “to basic” kearifan lokal suatu negara, layaknya gerakan “back to book” karena generasi kini sangat bergantung pada dunia maya, internet yang berakibat otak tumpul pada kemanusiaan.

Siapapun penganut aliran presiden boleh dari asal mana saja pribumi atau bukan adalah liberalis sejati termasuk para penggagas perubahan/amandemen UUD 1945.

Nasionalisme mereka telah luntur.

Maka untuk meraih presiden yang pribumi asli di atas harusnya ada gerakan massif dari semua elemen SARA manapun, dan itu sah, tidak melanggar hak asasi siapapun dan manapun.

Untuk menuju ke sana, pasti ada kontra gerakan yang menyatakan, “mana ada penduduk Indonesia yang berdarah asli pribumi?”, namun bisa dijawab dengan mudah: Dibuat saja aturan minimal 90% berdarah pribumi asli, toh ada BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional, lembaga pemerintah non kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, dan para ahli DNA yang pasti mampu menelorkan prosentase kepribumian seseorang.

Adakah gerakan “presiden pribumi” itu? Ada! Meski terasa masih “laten” namun harusnya terus digelorakan.

Gresik, 19 Mei 2023
amroehadiwijaya@gmail.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here