Penulis: Dahono Prasetyo
Dalam sejarah penggulingan pemimpin tertinggi suatu negara selalu gagal ketika tidak didukung kubu militernya. Atau impeachment seorang pemimpin-pun butuh dukungan pihak Militer dan Kepolisian. Kedua institusi pertahanan dan keamanan negara menjadi kekuatan kunci saat negara harus pecah atau tetap utuh dalam kondisi apapun. Tugas mereka mempertahankan keutuhan negara dari ancaman dari dalam dan luar negeri.
Persoalan bangsa yang diselesaikan di jalanan membuktikan kebuntuan para elite oposisi menyalurkan kegelisahan mereka di parlemen. Sudah tidak mempercayai kanal-kanal demokrasi yang dibangunnya sendiri. Lalu sibuk membangun kekuatan massa di jalanan, menekan pemerintah dengan ukuran kuantitas, bukan kualitas.
Mandat elite politik sebagai wakil rakyat dikembalikan lagi kepada kepada rakyat untuk berperan langsung menentukan kebijakan. Parlemen jalanan diciptakan dengan dalih kebuntuan menyalurkan aspirasi. Mengambil resiko chaos demi menembus jalan buntu menjadi pilihan terburuk yang harus ditempuh.
Sekedar mengingatkan bahwa sebesar apapun demo kekecewaan masyarakat kepada negara dan Presidennya. Sebanyak apapun korban jatuh dan seberapa parah kerusakan yang ditimbulkan akibat aksi anarkis, selama TNI dan Polri masih solid di bawah komando Presiden, maka aksi demo yang mengusik keamanan, menjadi tindakan kriminal yang harus ditindak.
Sejarah mencatat kepemimpinan Soekarno jatuh karena terjadi perpecahan hebat di kubu militer. Superior Angkatan Darat pada saat itu terbelah 2 kubu. Antara pendukung Soekarno dan Soeharto yang berujung peristiwa penculikan dan pembunuhan 7 jenderal Angkatan Darat.
Di era Soeharto kubu militer pun pecah. Antara mempertahankan rezim Soeharto dan mendukung Reformasi. Kerusuhan Mei 1998 terjadi bukan karena aparat keamanan tidak kuasa mengatasi aksi demo. Tetapi membiarkan situasi chaos tanpa penjagaan saat ribuan orang bebas menjarah, membunuh, membakar. Gedung DPR dikuasai mahasiswa karena aparat menarik pasukan dari tugas penjagaan.
Demo anarkis ungkapan ketidakpercayaan sekelompok masyarakat sepanjang pemerintahan selalu berakhir anomali. Korban dan kerugian berbiak tiap hari. Agendanya sudah jelas tergambar saat koor turunkan Jokowi tanpa alasan logis semakin nyaring. Namun mereka lupa aksi yang berbuntut anarkis justru membuat TNI dan Polri semakin solid mempertahankan negara.
Berapapun jumlah yang turun di jalanan aparat tetap setia mengawal. Tugas itulah ujian kesetiaan mereka kepada bangsa, di saat bersamaan 3% anggota TNI yang terpapar khilafah dan juga siap-siap dibersihkan. Fenomena para Purnawirawan yang mendadak tidak lagi setia pada pemerintah menjadi representasi peninggalan rezim Orde Baru dari kubu militer. Mereka yang dulu menikmati kenyamanan, namun paceklik di masa pensiun saat Jokowi memimpin.
Di sebuah kamar, di salah satu sudut istana kepresidenan, Jokowi yang menjadi simbol perlawanan mereka sedang berdoa. Memohonkan keselamatan bangsa yang sedang berada di titik nadir. Kalaupun dia harus turun bukan karena di demo 7 juta rakyatnya. Tetapi memang murni keinginan 253 juta rakyat lainnya.
Wabah pandemi yang melanda terabaikan demi kepentingan politik. Menganggap lebih berbahaya pemerintah yang dzolim daripada virus mematikan. Melahirkan euforia politik di tengah upaya melawan pandemi yang belum sepakat atas definisinya.
Negara sedang butuh kepedulian warganya. Melihat permasalahan tidak sebatas yang terjadi di jalanan. Kalian yang turun ke jalan, mengotorinya dengan kebencian dan sumpah serapah, bersenang senanglah sepanjang aparat masih menjagamu, memperingatkanmu, menggebukmu saat kepentingan warga lain kalian usik atas nama demokrasi sekalipun.
Karena di saat ada 1.000 mahasiswa turun ke jalan, masih ada 1 juta mahasiswa lain berada di ruang kuliah butuh jaminan keamanan. Saat ratusan pelajar STM membuat kerusakan, masih ada ribuan pelajar STM lain yang serius mengejar masa depannya. Saat ribuan buruh berbondong-bondong memenuhi jalanan, masih ada jutaan buruh lainnya yang bekerja demi anak istrinya. Saat ratusan pengangguran antri panggilan kerja, ada ribuan pekerja yang memaki perusahaannya sendiri. Ketika puluhan ribu pendukung khilafah geram mengutuk Jokowi, masih ada jutaan warga negara lain yang masih mencintai keberagaman negeri ini.
Dan.. saat elite mahasiswa latah bermain meme, maka hilanglah satu kecerdasan intelektualnya.