Garuda: Asset Negara yang Tidak Pintar Terbang

“Pailit”nya Maskapai plat merah Garuda, utamanya bukan efek pandemi, tapi memang manajemen tidak pernah bagus sejak awal didirikan. Merasa menjadi bagian dari manajemen negara yang untung ruginya ditanggung negara menjadikan Garuda besar pasak daripada tiang.

KOLOM

OPINI

Dahono Prasetyo

-Iklan-

 

Pendapatan sebesar apapun selalu tak cukup mengejar jarak tingginya pengeluaran. Efisiensi sengaja tidak diciptakan di lingkungan manajemen. Beberapa Dirutnya tersangkut kasus, saham turun signifikan, anak perusahaan menggerogoti ibu bapaknya sendiri. Mark up proyek perawatan atau pembelian yang bertahun terjadi menunjukkan lemahnya pengawasan. Tekor berapapun ada negara di belakang yang siap menanggung.

Sebagian besar BUMN punya hutang baik jangka panjang atau pendek. Di masa pandemi tidak hanya Garuda yang goyang karena efek penurunan pendapatan dan perlambatan ekonomi. Tapi berharap uluran tangan negara menyelesaikan sengkarut manajemen butuh pertimbangan prioritas. Di masa pandemi yang menggerus “uang kas” negara pantaskah Garuda mengemis dana penyehatan untuk misi penyelamatan?

Maskapai Garuda merupakan asset negara dengan pengelolaan yang buruk. Menjadi mesin ATM penggerogotan oknum pejabat tiap rezim. Jika pemerintah era Jokowi “dipaksa” untuk nombok akumulasi defisit puluhan tahun, sama halnya “membungkus” barang busuk dengan kemasan baru. Tampilan elegan berjaya namun beraroma busuk saat manajemen pengelolaan masih tetap menggunakan pola lama.

Seberapa dramatisnya misi penyelamatan asset negara jika tidak dilakukan perombakan mendasar, hanya akan bersifat menunda defisit lain dikemudian hari. Pemborosan terjadi di semua sayap dan bulu Garuda. IPTN yang seharusnya menjadi mitra maskapai justru sibuk jualan sendiri. Bukan persoalan tidak mampu, tetapi tidak ada niat.

Sebagaian penumpang awam yang “malas” mencari tahu borok Garuda, entah karena saking banyaknya, hanya bisa menyimpulkan: Kalau merugi terus kenapa masih dipelihara? Tutup saja, bikin yang baru.

BUMN yang seharusnya memberi masukan kepada negara justru sebaliknya, menjadi benalu anggaran.

Mungkin suara notifikasi Pilot sebagai peringatan mesti diubah  “Diberitahukan kepada seluruh penumpang, kita sekarang berada di ketinggian 2021 meter di atas permukaan laut. Jaga barang bawaan anda dan hati-hati melangkah.” Maksudnya: Semakin tinggi umur maskapai, hati-hati uang setoran pajak anda ikut terpakai.

Inilah era dimana masyarakat semakin jeli melihat persoalan bangsa. Negara wajib hadir, namun masyarakat berhak tidak setuju, saat negara sedang digerus secara sistemik.

Kalau kemarin Jokowi mendadak repot ngurus preman pelabuhan, apa iya mesti butuh dia juga untuk ngurus preman-preman di Garuda?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here