SintesaNews.com – Negara komunis Korea Utara telah mendukung gerakan pembebasan Palestina dan berbagai organisasi politik yang bertujuan sama, sejak tahun ’70-an.
Pyongyang secara resmi mengakui Palestina sebagai otoritas sah dari semua wilayah yang dikuasai Israel, kecuali Dataran Tinggi Golan. Pyongyang memandang pemerintah Israel sebagai antek imperialis Washington dan Palestina sebagai orang-orang tertindas yang berjuang untuk kebebasan mereka.
Korut juga telah menjual senjata dan peralatan militer kepada kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik Israel-Palestina, seperti Hamas, karena dianggap sejalan dengan ideologi anti-Amerika dan anti-Barat.
Pada September 1970, pemimpin partai komunis Palestina PFLP George Habash mengunjungi Pyongyang untuk meminta dukungan Korut. Negara komunis tersebut lalu memberikan pelatihan perang gerilya kepada sejumlah gerilyawan Palestina termasuk Abu Daoud, militan pecahan grup Fatah.
Yasser Arafat, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), juga pernah melakukan beberapa kunjungan ke Pyongyang dan tampaknya menganggap keluarga Kim sebagai sekutu penting anti-Zionisme. Setahun setelah deklarasi kemerdekaan Negara Palestina pada tahun 1988, pemimpin PLO kembali mengunjungi sekutunya itu untuk memperdalam kerja sama antara kedua negara
Kerjasama itu berupa kerja sama politik dan militer, khususnya pelatihan beberapa ratus pasukan lintas udara Palestina oleh pasukan khusus Korea Utara dan pasokan senjata Korea Utara.
Pada 1990-an, pemimpin Korea Utara Kim Jong Il menjalin hubungan pribadi dengan duta besar Palestina Mustafa Safarini. Mereka begitu dekat sehingga Kim secara pribadi membantu duta besar dan istrinya dengan perawatan kesuburan. Pasangan itu akhirnya melahirkan seorang bayi perempuan di Pyongyang, dengan Kim Jong Il secara pribadi menyarankan nama Korea “Jindallae.” Jindallae sekarang sudah dewasa dan menjadi pendukung vokal rezim keluarga Kim di media sosial.
Korea Utara kemungkinan terus memasok senjata ke kelompok-kelompok Palestina hingga tahun 2000-an. Pihak berwenang Thailand menemukan senjata buatan Korea Utara, termasuk rudal dan peluncur roket, dalam pesawat di bandara Bangkok pada 2009. Pesawat itu kemungkinan besar menuju ke Iran, dan senjata itu kemungkinan besar untuk Hamas dan Hizbullah. .
Pada 2014, jurnalis Con Coughlin mengklaim bahwa Hamas membayar Pyongyang ratusan ribu dolar untuk rudal dan peralatan komunikasi. Menurut teknisi militer Israel yang dikutip dalam laporan Coughlin, para ahli Korea Utara juga menasihati militan Palestina tentang pembangunan terowongan di Gaza.
Pada tahun yang sama, peneliti pengendalian senjata Andrea Berger juga mencatat bahwa Korea Utara mahir memproduksi jenis senjata yang paling dibutuhkan oleh Hamas dan Hizbullah. Penelitiannya menunjukkan kapasitas Korea Utara untuk memproduksi peluncur roket ganda 240mm dan 120mm, roket dan sekering terkait, AK-47 dan amunisi, RPG-7 dan berbagai hulu ledak, serta rudal.
Korut juga tampaknya telah menjual peluru kendali anti-tank ke Brigade Izz ad-Din al-Qassam, sayap militer Hamas. Analis Stijn Mitzer dan Joost Oliemans mengamati bahwa kelompok itu kemungkinan menerima rudal dari Korea Utara melalui Iran “melalui jaringan penyelundup mulai dari Sudan hingga Jalur Gaza.” Mitzer dan Oliemans baru-baru ini melaporkan bahwa rudal anti-tank Bulsae-2 buatan Korea Utara dan granat berpeluncur roket F-7 dalam jumlah terbatas kemungkinan besar juga digunakan oleh Hamas.
Meskipun tidak jelas bagaimana atau apakah senjata ilegal masih ditransfer selama pandemi COVID-19, Pyongyang terus merangkul Palestina sebagai saudara seperjuangan dan para pemimpin kedua negara masih merayakan dan mengakui satu sama lain dengan hangat. Solidaritas Korea Utara dengan perjuangan Palestina bersifat pragmatis dan ideologis.
Baca juga:
Partai Komunis Palestina Kecam Serangan Israel, Bemunculan Dukungan Komunis Arab