Diskriminasi Ulama? Ulama yang Mana?

Penulis: Nurul Azizah

Pada tanggal 16 November 2021, Detasemen Khusus (Densus) 88 antiteror Polri berhasil menangkap tiga ustad terguda teroris.

Tiga orang tersebut terlibat dalam pendanaan organisasi terorisme Jamaah Islamiah (JI). Ketiganya ditangkap di wilayah Bekasi Jawa Barat. Tiga tersangka teroris salah satunya merupakan pengurus MUI pusat.

-Iklan-

Mereka adalah ustad Ahmad Farid Okbah, ustad Anung Al-Hamad dan Ustad Ahmad Zain An-Najah. Nama terakhir disebut sebagai anggota Fatwa Majelis Ulama Indonesia.

Ketika banyak nitizen 62 serukan #BubarkanMUI ada kelompok sebelah yang tidak suka dengan prestasi Densus 88. Mereka menuntut agar melepaskan tiga ustad terduga teroris.

Yang menjadi pertanyaan, apakah mereka bertiga layak dipanggil ustad? Apakah mereka bertiga layak dikatakan ulama? Sementara mereka bertiga terlibat dalam jaringan terorisme dengan bergabung dengan Jamaah Islamiah (JI).

Menurut keterangan dari Divisi humas Polri Brigjen Pol. Drs. Rusdi Hartono, M.Si, selama menjalankan aksinya, masing-masing tersangka memiliki peran strategis dalam upaya pendanaan seluruh kegiatan terorisme.

“Dalam pendanaan Lembaga Amil dan Zakat (LAZ) ABA, tersangka AZA sebagai ketua Dewan Syariah. FAO sebagai anggota Dewan Syariah LAZ BM ABA. AA sebagai inisiator pendiri perisai yaitu badan yang dibuat untuk perbantuan hukum terhadap anggota kelompok JI yang tertangkap oleh Densus 88 sekaligus memberikan bantuan kepada keluarga dari anggota JI yang tertangkap.

Dari keterangan divisi humas Polri sudah jelas mereka orang biasa yang mengaku ustad. Yang paling memprehatinkan adalah di antara mereka ada yang menjadi pengurus Majelis Ulama Indonesia.

Saya sebagai pegiat NU dan NKRI, memaknai ulama yaitu orang pilihan yang memiliki sanad keilmuan yang jelas melalui para guru yang terhubung dengan Rosulullah tanpa putus.

Apakah mereka bertiga layak dikatakan ulama? Kok ada kelompok yang sakit hati minta tiga ulamanya dibebaskan dari Densus 88 antiteror. Kelompok yang membela mereka lagi-lagi berulah dengan berteriak: “Jangan Diskriminasi Ulama.” Ulama yang bagaimana?

Menurut saya mereka yang ditangkap oleh Densus 88 tidak layak dipanggil ulama.

Tugas ulama sangatlah berat. Para ulama tugasnya meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam mensyiarkan agama Islam, yakni mengeluarkan manusia dari kondisi kegelapan ke kondisi yang terang benderang alias berilmu.

Ilmu yang dimiliki ulama diajarkan di pesantren dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Ilmu ulama sangat luwes dan luas. Selain menguasai ilmu fiqih, tafsir, hadits, nahwu, shorof, tajwid, tartil dalam bacaan Al-quran dan lain-lainnya.

Selain menguasai banyak ilmu agama dan pengetahuan umum, ulama juga mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dengan mempelajari ilmu dari berbagai sumber. Seperti Al-Quran, al-hadist, tafsir, kitab-kitab dari ulama salat (terdahulu) dan masih banyak yang lain sumber ilmu pengetahuan.

Dulu ulama-ulama Indonesia diakui dunia internasional. Bahkan ulama-ulama terkemuka negeri ini, banyak mendapatkan tawaran mengajar di Arab Saudi. Saat itu Indonesia terkenal dengan mengirimkan ulama ke Arab Saudi.

Sebuah kebanggaan, bahwa bangsa Indonesia memiliki ulama seperti Tuan Guru Abdurrahman Siddiq Al-Banjari. Beliau ulama Nusantara yang pernah mengajar di Masjidil Haram Makkah. Ulama yang lahir pada tahun 1857 di Kampung Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan.

Di Indonesia gudangnya ulama Nusantara, baik yang menjadi kyai kampung, kyai di pondok pesantren, kyai di madrasah-madrasah sampai perguruan tinggi, para dai, mubaligh, para kyai dan ulama NU seluruh Nusantara. Selama ini para ulama Nusantara mengajarkan ilmu keagamaan, menebarkan ajaran Islam rahmatan lil alamin. Ulama-ulama Nusantara selalu bersinergi dengan umaro (pemimpin) dan selalu mendapatkan kawalan dari TNI Polri serta Banser NU. Tidak ada kriminalisasi ulama.

Densus 88 antiteror menangkap tiga orang terduga teroris. Ketiganya berbaju ulama tetapi menebarkan kebencian sesama umatnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Mereka berbaju lengkap dengan atribut ulama, berbaju layaknya seorang ulama.

Menurut Dr. Muhammad Najih Arromadhoni, M.Ag Pengurus MUI pusat bidang penanganan terorisme. Gus Najih menjelaskan tentang kelompok radikal menyusup di berbagai lembaga dan para aparatur negara, termasuk di dalam MUI sendiri.

Ketika kelompok mereka sudah terdeteksi oleh pemerintah sebagai organisasi teror, dan organisasi terlarang, mereka menyusupkan kader-kadernya ke berbagai organisasi dan lembaga yang berada di ormas tertentu.

Ahmad Zain An-Najah (AZA) sebagai dewan suro JI, sebagai pejabat tinggi di JI. AZA ini bukan aktor lapangan, tangannya bersih tidak berlumuran darah, tapi AZA tugasnya mendoktrin, mengagitasi, mengajak orang mengikuti ideologinya. Sehingga orang yang sudah didoktrin oleh AZA, tega melakukan kekerasan.

Masyarakat bertanya-tanya ustad AZA tidak pernah melakukan kekerasan, memang benar, tapi AZA adalah otaknya kekerasan. Karena anggota yang sudah didoktrin oleh AZA inilah yang melakukan kekerasan.

Apakah masyarakat masih menganggap ustad Ahmad Zain An-Najah (AZA) sebagai ulama? Mari kita bersama-sama mengedukasi masyarakat agar bisa membedakan mana ulama yang menebarkan agama Islam yang rahmatan lil alamin, dan mana orang yang bertopeng ulama dengan menebarkan Islam radikalisme, intoleransi dan terorisme.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here