Dirlantas Polda Metro Jaya, Tidak Paham Hukum atau Pembohongan Publik?

Penulis: Roger P. Silalahi

Banyak media meliput kasus Almarhum Hasya yang dijadikan tersangka oleh Polres Metro Jakarta Selatan. Menyikapi kasus ini Polda Metro Jaya membentuk Tim Pencari Fakta yang terdiri dari internal Polda Metro Jaya, melibatkan Irwasda, Bidang Hukum, hingga Korlantas Polda Metro Jaya.

Keraguan akan kemampuan tim ini muncul setelah saya membaca pernyataan Dirlantas Polda Metro Jaya, Kombes Pol. Latif Usman.

-Iklan-

Saya kutip pemberitaan di detik.com bertajuk “Polda Metro Jaya Bentuk Tim Pencari Fakta Terkait Kecelakaan Maut Mahasiswa UI”, yang diantaranya mencantumkan hal berikut;

Alasan Mahasiswa UI Jadi Tersangka

Polisi menetapkan M Hasya Attalah Syaputra, sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan ini karena menilai Hasya lalai dalam berkendara sehingga mengakibatkan yang bersangkutan meninggal dunia.

“Pelanggarannya itu, jadi gini, penyebab terjadinya kecelakaan ini (karena) Hasya sendiri. Dia kan yang menyebabkan karena kelalaiannya menghilangkan nyawa orang lain dan dirinya sendiri. Ini kan karena kelalaiannya, sehingga dia meninggal dunia,” kata Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Latif Usman dalam jumpa pers di Mapolda Metro Jaya, Jumat (27/1/2023).

Nampaknya Dirlantas Polda Metro Jaya gagal paham terkait hukum yang berlaku, bahkan dapat dikatakan melakukan pembohongan publik secara terbuka.

Pasal menghilangkan nyawa yang seharusnya diterapkan adalah Pasal 359 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Dirlantas Polda Metro Jaya dapat diduga telah melakukan pembohongan publik secara terbuka, dengan mengatakan: “Dia (Hasya, red.) kan yang menyebabkan karena kelalaiannya menghilangkan nyawa orang lain dan dirinya sendiri.”

Sebuah pernyataan yang sangat salah. Pertanyaan yang muncul adalah;

“Apakah tidak paham hukum atau sengaja melakukan pembohongan publik, pembelokan hukum…?”

Apapun, nampaknya tidak layak duduk di jabatan setingkat Direktur di Polda Metro Jaya.

Patut dipertanyakan syarat dan standar kelayakan atau “fit and proper test” yang diberlakukan di tubuh Polri. Bagaimana dengan tingkat pendidikan, tingkat penguasaan hukum dan perundang-undangan, wawasan hukum, tingkat intelejensi, serta berbagai kemampuan dan wawasan lain yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum bisa resmi menyandang predikat sebagai “Aparat Penegak Hukum”.

Jika pemahaman hukum dan perundang-undangan seorang Perwira Menengah Senior serendah itu, bagaimana dengan pemahaman hukum Bintara dan Perwira Pertama…?

Secara umum, tim penyidik tindak pidana dari Kepolisian terdiri dari Bintara dan Perwira Pertama.

Jika Direktur saja tidak cakap dalam pemahaman hukum, atau patut diduga membelokkan hukum, apakah Tim Pencari Fakta yang dibentuk dapat dipercaya dalam melakukan tugasnya secara objektif dan tidak memihak…?

Apakah tidak lebih baik jika masalah ini ditarik dan ditindaklanjuti oleh Mabes Polri dengan melibatkan Ombudsman dan IPW?

Di luar kasus ini, ada segudang kasus yang ditindaklanjuti secara salah, saya bisa jabarkan banyak kasus. Tapi bukan itu poin utamanya. Poin utamanya adalah; “Perbaikan pendidikan di tubuh Polri perlu mendapat perhatian khusus, agar mampu menjadi Aparat Penegak Hukum”.

Bagaimana mungkin menegakkan hukum bila pemahaman hukum pun tidak mumpuni?

Akhirnya, kembali ke pernyataan akhir saya pada tulisan sebelum ini; “Masyarakat semakin hari semakin sadar hukum, dan Kepolisian semakin hari mempunyai semakin banyak mata yang mengawasi dan akan berteriak untuk setiap penyimpangan, kesewenang-wenangan, serta penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan yang terjadi”.

Roger P. Silalahi
Alumni Kriminologi FISIP UI

Baca juga:

Mentersangkakan Almarhum, Polres Metro Jakarta Selatan Memperburuk Citra Polri

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here