Penulis: Wawan Soehardi
Presiden ditelikung serta diupayakan untuk dipreteli kekuasaannya oleh para pembantunya sendiri?
Minimal sistem komando yang jelas, koordinasi, sinkronisasi dan anggaran yang mencukupi adalah syarat mutlak suatu kebijakan kedaruratan
Empat hal tersebut di atas tidak bisa ditawar lagi ketika kebijakan kedaruratan apapun itu termasuk PPKM Darurat diumumkan oleh pengambil kebijakan.
Untuk itu diperlukan kerangka kerja berupa juklak, juknis, protap dan sasaran kebijakan termasuk memetakan siapa yang akan berpotensi “dikorbankan” sebagai konsekuensi logis atas pengumuman kebijakan kedaruratan PPKM yang mempunyai efek “merampas” hak hajat hidup warga negara dimana PPKM Darurat tersebut diberlakukan.
Instruksi menteri dalam kaitan PPKM Darurat itu saja tidak cukup, karena dalam kedaruratan dibutuhkan pengawasan dan anggaran yang cukup untuk recovery secara maksimal kebutuhan pokok masyarakat, dimana dalam kebijakan kedaruratan, negara memerintahkan dan memaksa warganya sebagai obyek kedaruratan
Pengawasan yang super ketat diperlukan agar tidak ada oknum yang bermain di atas penderitaan orang banyak.
Saya beri contoh kecil saja: banyak terjadi pasien yang terindikasi covid serta kontak eratnya harus membayar biaya swab yang variatif tidak seragam yang harusnya ditanggung oleh Kemenkes; kasus lainnya, obat-obatan, plasma darah yang harus ditebus luar biasa sangat mahal oleh pasien.
Di sisi lain individu yang melakukan isoman yang jumlahnya sangat banyak tidak tercover oleh anggaran dan ditambah berbelit-belitnya birokrasi bahkan sampai ditingkat RT/RW , kelurahan dan seterusnya.
Jadi kebutuhan mendasar individu isoman makan minum dan kebutuhan mendasar lainnya harus menunggu berbelit-belitnya birokrasi
Sangat luar biasa bukan?
Di luar hal tersebut para pekerja informal kaki lima, serabutan yang tidak terjaring dalam BLT, PKH dst. yang penghasilannya hanya cukup untuk makan minum satu hari menjadi tidak berpenghasilan sama sekali.
Bahkan saya menjumpai pekerja informal yg tidak mampu lagi membeli susu untuk anak balitanya.
Ini menurut saya sangat gila, mengumumkan kedaruratan tetapi tidak mempersiapkan teknik, sistem terpadu, sarana, prasarana, anggaran operasional dan anggaran untuk recovery dan rehabilitasi kebutuhan warga negara serta tidak tampaknya koordinasi, sinkronisasi yang diwujudkan dalam juklak, juknis, protap yang mengikat, sistem pengawasan kedaruratan dan ancaman sanksi yang menyertainya.
Jika ada bansos, BLT dan seterusnya itupun mayoritas terlambat diterima oleh penerima bantuan sehingga sifat “bantuan kedaruratannya” menjadi percuma tak berguna di tengah kebutuhan “perut/pokok” yang sangat mendesak untuk hari itu juga
Tidak logis jika bantuan kedaruratan untuk “hari ini” beras misalnya diberikan dua atau tiga Minggu kemudian. Lalu apakah orang yang terdampak PPKM tidak boleh makan nasi selama dua atau tiga Minggu? Itu hanya contoh kecil saja.
Saya menemukan kasus dimana individu yang terpapar covid tersebut kaum yang bekerja dalam sektor informal marginal sekaligus kesulitan dalam koordinasi berbelit-belitnya birokrasi di tingkat RT/RW. Disuruh isoman tetapi hampir tidak mendapatkan bantuan dan tidak mendapatkan perhatian kecuali petugas tracing yang selalu mengingatkan isoman lewat HP-nya. Apakah orang tersebut bisa kenyang jika diingatkan petugas tracing tanpa bantuan selanjutnya, di sisi lain ketika keluar rumah dipelototi tetangganya.
Cukupkah kenyang individu yang hanya rutin ditelpon petugas tracing dan dipelototi tetangganya ketika hendak ke luar rumah tetapi tidak mendapatkan bantuan mendasar?
Belum lagi kebijakan di dinas-dinas, desa, kota/kabupaten dan seterusnya yang saya duga sengaja memperlambat penganggaran kedaruratan, kebijakan lokal awut-awutan overlap yang terpengaruh diksi kata “darurat” namun tidak sertai dengan transparansi anggaran kedaruratan yang jelas tidak bisa disentuh oleh hukum karena tidak adanya alas hukum berbentuk sanksi yang mengikat.
Lalu ini yang didaruratkan sebenarnya apanya?
Sebenarnya PPKM darurat ini adalah omong kosong tanpa sifat kedaruratan dimana seharusnya negara harus hadir di tengah kesulitan warganya.
Pendek kata seolah-olah negara tidak hadir dalam kedaruratan ini dan abai dalam sifat kedaruratan ini.
Dari uraian tersebut di atas, saya tidak percaya bahwa para pembantu presiden dan para tenaga ahlinya tidak mengetahui simulasi skenario PPKM Darurat ini dan efek dominonya.
Saya tidak hendak mengatakan bahwa para pembantu presiden dan puluhan atau ratusan tenaga ahlinya bodoh sehingga tidak mampu mengenali konsekuensi logis kedaruratan PPKM ini.
Para pembantu presiden dan para tenaga ahli saya pastikan pasti super cerdas, sangat pintar dan luar biasa genius hingga pasti sudah mengetahui konsekuensi logis dari sifat kedaruratan PPKM yang akan sedikitnya “merampas hak hidup mendasar” sebagian besar warga negara yang terdampak aturan ini.
Dan saya menduga ini disengaja sebagai upaya kudeta merangkak yang menghendaki penggulingan kekuasaan sebelum 2024 dengan cara menggerogoti tingkat kepuasan publik, mendorong ketidakpercayaan publik agar menuding presiden telah gagal dalam memimpin kebijakannya.
Ditambah lagi gejala ke arah sana cukup jelas, vaksin berbayar, kartel, mafia rakus, politikus busuk saling bahu membahu mendeskreditkan presiden serta sengaja memperparah keadaan, membiarkan keadaan dengan pembiaran tanpa koordinasi, sinkronisasi, pengawasan, juklak, juknis dan seterusnya, membangun narasi irasional penuh kebencian dan masih banyak lagi.
Saya menduga gerakan ini ditunggangi oleh mafia, kartel, politikus busuk dan sekaligus fenomena baru bergabungnya gerakan ekstrem kanan yang berkerjasama dengan aliran kekirian dalam upaya menggulingkan kekuasaan.
Skenario simulasinya adalah ketika akumulasi ketidakpercayaan, ketidakpuasan dan desakan “kebutuhan perut” meningkat tajam, maka akan terjadi letupan dimulai yang kecil lalu membesar di mana-mana dan akhirnya presiden dikurung sendirian dalam sangkar kursi kepresidenan, lalu pelan-pelan ditinggalkan oleh para politikus pendukungnya. Inilah yang dipakai sebagai alat untuk menggulingkan kekuasaan, dengan bargaining transaksional bagi-bagi kue para politisi busuk di kemudian hari.
Saya bukan seorang yang fanatik kepada figur kepala negara, tetapi upaya menggulingkan kekuasaan dan merusak sistem yang ada dalam situasi yang sangat sulit ini jelas perbuatan biadab hewani rakus kekuasaan karena jelas memutuskan rantai komando, membutuhkan penyesuaian organisasi, menjadi preseden sangat buruk dalam bernegara yang jelas akan semakin merusak sistem di tengah kebobrokan mental rente rakus oknum-oknum.