Indonesia diprediksi menjadi negara maju pada tahun 2045 yang hanya dapat dicapai dengan strategi pembangunan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga memerhatikan aspek lingkungan.
Hingga saat ini Indonesia dihadapkan pada sejumlah krisis lingkungan. Setidaknya ada sepuluh permasalahan lingkungan di Indonesia yang harus segera dapat diatasi, yaitu: sampah, banjir, pencemaran sungai, rusaknya ekosistem laut, pemanasan global, pencemaran udara, sulitnya air bersih, kerusakan hutan, abrasi, dan pencemaran tanah.
Jambeck et al. (2015) memperkirakan bahwa limbah plastik yang dihasilkan oleh 192 negara pantai pada tahun 2010 adalah sekitar 275 juta ton, dengan 4,8 hingga 12,7 juta ton diantaranya mengalir ke lautan. Alhasil, Indonesia berada di peringkat kedua terbesar di dunia setelah China yang menimbun serpihan plastik di laut sebesar 0,48-1,29 juta ton/tahun.
Ekosistem hutan dan lahan di Indonesia saat ini juga dalam kondisi terdegradasi hebat. Data KLHK (2019) menyebutkan dari 125 juta hektare kawasan hutan, sekitar 35 juta hektar diantaranya dalam kondisi rusak berat atau berupa lahan tidak berhutan. Selain deforestasi dan konversi lahan, kebakaran hutan dan bencana asap juga masih menghantui berbagai wilayah nusantara, terutama ketika terjadi musim kemarau berkepanjangan akibat fenomena El-Nino.
Memburuknya kondisi hutan akibat deforestasi dan menurunnya tutupan vegetasi lahan di daerah aliran sungai, menyebabkan tanah longsor dan banjir yang terjadi akhir-akhir ini juga tidak terlepas dari krisis lingkungan di hulu tersebut.
Krisis lingkungan juga dapat berdampak kepada tingkat ketahanan pangan. Dalam Food Sustainability Index (FSI) tahun 2018, Indonesia mendapat skor 59,1,
tertinggal dari Ethiopia 68,5 yang dulu kita kenal sebagai daerah kelaparan.
Indeks Ketahanan Pangan Global 2019 Indonesia berada di urutan 62 dunia dan kelima di Asia Tenggara, namun, Food Loss and Waste (kehilangan dan pemborosan pangan) Indonesia tergolong tinggi, yaitu 300 kg/kapita/tahun dan tergolong nomor dua di dunia.
Demikian dikutip dari Orasi Ilmiah Guru Besar IPB Prof. Dr. Arif Satria, Guru Besar Ekologi Politik, dalam pidatonya pada pengukuhan guru besar IPB, yang berjudul “MODERNISASI EKOLOGI DAN EKOLOGI POLITIK: PERSPEKTIF BARU ANALISIS TATA KELOLA SUMBERDAYA ALAM”.
Dalam pidatonya tersebut, Profesor Arief merekomendasikan: “diperlukan perbaikan tata kelola dengan dua perspektif baru, modernisasi ekologi (ecological modernization) dan ekologi-politik (political ecology) untuk membedah, mengurai, memahami sumber masalahnya, serta memberikan tawaran solusi.”
Selamat untuk Profesor Arief sebagai Guru Besar yang sekaligus Rektor IPB periode 2017-2022, dengan gagasan besarnya, semoga memberikan sumbangsih besar bagi negara Indonesia yang besar ini, agar tidak dikelola hanya dengan “mulut besar” tanpa kerja-kerja besar.