Dibunuh 2 Kali, Sebuah Kisah Nyata Perempuan 17 Tahun

Penulis: Roger P. Silalahi

Manusia ditakdirkan hidup dengan kemampuannya berpikir dan berbuat sesuai dengan pikirannya, sementara pikirannya dikendalikan oleh hatinya, perasaannya. Pikiran dan perasaan adalah 2 hal yang berbeda, pikiran perlu dievaluasi karena terkadang apa yang kita pikirkan tidak sesuai realita. Sedangkan perasaan adalah murni hal yang dirasakan oleh diri kita. Rasa dapat dipengaruhi oleh kebiasaan, lingkungan, tapi rasa tidak bisa dibohongi.

Rasa terkait erat dengan budaya Indonesia. Bangsa ramah yang penuh kebaikan dan mengenal rasa sayang, rasa iba, rasa kasihan, rasa sedih, yang diejawantahkan dalam pemikiran dan perilaku yang nyata di keseharian. Keseluruhannya masuk dalam balutan budaya yang indah warisan leluhur, nenek moyang dari bangsa Indonesia yang besar ini.

-Iklan-

Itulah sebabnya mengapa secara umum orang Indonesia punya kecenderungan mengedepankan perasaannya. Lihat saja dari maraknya infotainment dan sinetron yang penggemarnya luar biasa banyak, termasuk drama-drama dari luar negeri, India dan Korea contohnya. Semua drama ini menjadi top karena menyentuh perasaan, tidak perlu berpikir keras dan alur cerita selalu jelas. Rasa sedih, haru, marah, ataupun kecewa didapatkan dan tersimpan dalam ingatan. Lucu memang, ternyata orang Indonesia senang perasaannya diaduk-aduk. Itulah yang membuat saya tertarik menuliskan kisah nyata seorang anak perempuan berusia 17 tahun yang “dibunuh 2 kali”.
—————–

Ada sebuah ruko di Semarang yang bernama Gedung Rasa Dharma milik Yayasan Rasa Dharma. Letak persisnya di sebuah Gang Kecil di Kompleks Pecinan Semarang. Di dalam gedung milik Perkumpulan Boen Hian Tong ini terdapat meja altar yang dipenuhi batu nisan dari berbagai orang, salah satunya Gus Dur. Batu nisan yang kerap juga disebut sebagai “Sinci/Sincu” atau “Papan Arwah” ini adalah lambang dari orang-orang yang sudah meninggal, yang setiap perayaan Cheng Beng akan didoakan. Pada hari Raya Cheng Beng menurut kepercayaan Tionghoa, semua arwah diberi kesempatan untuk lepas bebas, dan saat itulan para arwah menerima doa dan berbagai hal yang ‘dikirimkan’ melalui doa kepada mereka oleh anak cucu cicit dan orang lain yang mendoakan mereka.

Keberadaan Sinci/Sincu Gus Dur di tempat ini dikarenakan Gus Dur dinilai punya jasa yang sangat besar bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Selain Sinci/Sincu Gus Dur, di sana juga terdapat batu Sinci atas nama seorang anak perempuan. Alasan keberadaan Sinci atas namanya di sana adalah sebagai penghormatan atas pengorbanan dan keberaniannya yang luar biasa. Batu Sinci anak perempuan ini berbeda warnanya dari batu yang lain. Batunya berwarna putih, melambangkan rasa sedih yang teramat sangat dalam. Rasa sedih itu adalah karena anak perempuan yang saat itu baru berusia 17 tahun ini mati dibunuh. Dia dibunuh 2 kali. Menarik? Ya, dia dibunuh 2 kali. Kali pertama di Warakas, Jakarta Utara, di rumahnya. Kali kedua juga di rumahnya, di Warakas, Jakarta Utara, hanya berbeda bulan saja.

Margaretha Martadinata Haryono, anak gadis berusia 17 tahun yang fotonya saya jadikan cover untuk tulisan ini, adalah nama gadis itu. Semua orang yang aktif dalam pergerakan kemanusiaan saat tragedi 98 terjadi lebih mengenalnya dengan nama Ita Martadinata. Sebagai korban kerusuhan, Ita yang keturunan Tionghoa ini mengalami perkosaan massal di rumahnya di Warakas Jakarta Utara saat dia pulang sekolah. Beruntung Ita tidak dibunuh setelah diperkosa bergantian beramai-ramai saat itu, walau sebenarnya dia sudah dibunuh, sudah mati secara kejiwaan. Ita Martadinata bersama ibunya yang sekarang menjadi Bhiksuni, perlahan bangkit dan menguatkan diri. Mereka dibantu relawan atas nama Ita F. Nadia dari Komnas Perempuan, yang mendukung mereka untuk bangkit secara perlahan tapi pasti. Ita Martadinata pun berhasil bangkit, kembali menjadi kuat.

Tragedi kemanusiaan 98 adalah tragedi yang dikenal secara meluas ke seluruh dunia, demikian mengerikannya hingga PBB menyelenggarakan sidang terkait Tragedi Mei 98 ini, khususnya terkait hal kemanusiaan, pemerkosaan, penyiksaan, pembunuhan dan pembantaian massal yang terjadi saat itu. Ada masalah yang timbul, tidak ada yang berani bersaksi di depan PBB sebagai korban. Sedemikian banyak korban tragedi Mei 98 ini, tak banyak yang berani tampil sebagai saksi korban untuk hearing dengan PBB. Namun Ita memberanikan dirinya, dan tampil menjadi salah satu saksi untuk hearing dengan PBB ini.

Sungguh bukan hal yang mudah untuk menjadi saksi, bahkan secara umum korban perkosaan akan memilih untuk diam karena trauma. Bagaimana dengan Ita yang diperkosa secara massal? Ita Martadinata bangkit dan mengajukan diri untuk menjadi saksi korban, berdiri tegak untuk kaum Tionghoa, untuk perempuan Tionghoa yang diperkosa, dibunuh, dibakar hidup-hidup, dihabisi. Sebuah hal yang luar biasa, butuh kekuatan yang luar biasa untuk korban seperti Ita Martadinata hingga berani tampil sebagai saksi untuk hearing PBB.

Satu minggu sebelum hearing dengan PBB, tepatnya 9 Oktober 1998, Ita Martadinata yang masih berusia 17 tahun dibunuh (lagi). Ita Martadinata dibunuh orang tidak dikenal dengan cara digorok lehernya hingga hampir putus, dan ditusuk kemaluannya dengan sebilah kayu. Ita Martadinata bukan satu-satunya korban Tragedi 1998, banyak sekali korban lain, laki-laki dan perempuan, mayoritas keturunan Tionghoa.
—————–

Nurani Memanggil

Kita semua tahu siapa yang paling bertanggung jawab atas terjadinya Tragedi Mei 1998 itu, orang yang sekarang dielu-elukan banyak orang, dinafikan kekejamannya, bahkan didukung oleh banyak orang, pun dari kalangan keturunan Tionghoa, pun perempuan keturunan Tionghoa.

Pertanyaannya;

“Tidakkah nuranimu bersuara..?”

“Sanggupkah kamu mendengarkan nuranimu berkata..?”
—————–

Penghormatan bagi:
Margaretha “Ita” Martadinata Haryono
21 Maret 1981 – 9 Oktober 1998

-Roger Paulus Silalahi-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here