Di Batas Kematian

Penulis: Erri Subakti

Tubuh itu membeku. Sesaat diangkat oleh para perawat dipindahkan ke lorong MRI untuk pemeriksaan. Ia masih membeku tak bisa menggerakkan tubuhnya. Meski dirasakannya tubuhnya bergetar dan menggeletar. Lorong itu menghisap tubuhnya. Suara mesin di lorong sangat keras berbunyi di telinganya. Wajahnya telah ditutup sebelumnya. Seperti dikerangkeng. Suara mesin yang begitu keras semakin membuatnya ketakutan. Ia merasa dingin meski dibalut selimut tebal. Pikirnya, “Ini saatnya aku mati.”

Dengan tubuh yang sama sekai tidak bisa bergerak dan mulut yang tak bisa mengucapkan satu kata pun untuk bersuara, ia memasrahkan diri. Dan tiba-tiba gelap.

-Iklan-

***

Saat itu 8 Januari 2010. Jam 3 dini hari ia terbangun. Meski AC dalam kondisi off dan penghangat ruangan nyala tapi suhu udara di luar masih minus. Dingin di San Fransisco awal tahun itu merambati dinding.

Jess duduk di atas ranjangnya. Di sebelah anak-anaknya masih mendengkur. Lelap dan damai. Ia tersenyum lalu menggeser tubuhnya untuk turun dari ranjang.

Persis di saat kakinya menyentuh karpet ia mengangkat tubuhnya berdiri. Tiba-tiba gubrak. Tubuhnya terjatuh dan kepalanya membentur pinggiran ranjang. Tubuhnya tak mampu diangkatnya. Ia tak bisa bergerak.

Dipikirnya, mungkin nyawanya belum terkumpul dalam tubuhnya.

Sesaat dirinya diam lalu berusaha untuk bangun lagi dan berdiri. Namun tubuhnya telah kebas tak ada yang bisa digerakkan.

Ia mencoba berusaha lagi menggerakkan tubuhnya. Tetap bergeming. Tak satupun bisa digerakkan. Ia mulai panik.

“……….” Sebuah suara keluar dari mulutnya. Yang dikatakannya adalah memanggil ibunya. Namun suara yang keluar hanya suara keras berupa raungan.

Frekuensi suara itu entah tetap terkoneksi dengan sosok yang dipanggilnya. Ibunya terbangun dari tidur. Mencari sumber suara. Dan ditemukan anaknya tergolek di bawah. Ibunya bertanya, “Kamu kenapa?”

Tetapi mulut itu serasa terkunci. Ia hanya mengeluarkan suara lolongan keras.

Ibunya segera sadar anaknya terserang stroke. Ibunya langsung membangunkan anak-anaknya untuk membangunkan bapak di kamar sebelah.

Ia melihat kepanikan orang-orang yang menyayanginya. Anak-anaknya hanya melongo. Bapaknya menggotong tubuhnya ke atas tempat tidur. Lalu mengangkat telpon dan menekan 911.

Bapaknya lalu bertanya, “Kemarin minum obat gak”. Kepalanya bisa bergerak sedikit menggeleng. Meski dalam otaknya ia mengatakan “tidak”. Namun suara yang keluar hanya seperti lenguhan.

Bapaknya menyadari gelengan kecil itu. Lalu mengambil obat dan memintanya untuk bisa menelan obat itu.

Tiga tahun sebelumnya sejak pernikahannya kandas, Jess mengalami hipertensi yang mengharuskannya minum obat setiap hari. Namun memperhatikan kesehatannya sendiri adalah yang paling enggan ia lakukan. Obat-obat hipertensi jarang diminumnya.

Lima menit kemudian suara-suara sirine terdengar. Tak lama pintu kamar terbuka. Ada tujuh orang paramedis yang langsung sigap dengan keadaan.

Lehernya dibebat. Sebuah selang oksigen dimasukkan ke mulutnya. Setelah itu tubuhnya dipindahkan ke brankar dan digotong ke mobil ambulans.

Anak-anaknya nanar menatapnya cemas. Ia melihatnya seakan tidak bisa bertemu mereka lagi.

Ambulans melaju tanpa hambatan. Sirinenya meraung-raung membelah dinginnya jelang subuh di San Fransisco awal Januari.

Tak berapa lama ambulans berhenti di depan lobby ER St. Francis Hospital. Pintu ambulans terbuka. Tubuhnya digotong dengan kehati-hatian paramedis. Beberapa perawat berpakaian putih-putih menjemputnya. Ia diletakkan di atas tempat tidur beroda. Lalu ranjang itu meluncur ke dalam hospital.

Kesadarannya masih ada. Matanya nyalang. Melihat-lihat semua di hadapannya. Ia masih bingung dengan apa yang terjadi. Namun tak satu pikiran pun muncul di dalam kepalanya.

Terlihatnya bapaknya sedang terlibat pembicaraan dengan beberapa dokter berpakaian putih-putih.

Dirinya dimasukkan ke ruangan. Nampak olehnya mesin MRI. Setelah rangkaian persiapan pemeriksaan kepalanya dimasukkan ke dalam mesin MRI.

Bersambung.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here