Penulis: Wawan Soehardi
Fenomena hendak menggadaikan ideologi diantara partai politik (PKB, PKS dan partai lain) harus dipahami Nahdliyin.
Meminjam istilah populer, politik itu “pagi kedelai sore tempe”.
Tidak ada kepastian didalam politik, yang penting pembagian kekuasaan, pengaruh, kepentingan, terisinya periuk dan seterusnya bisa tercapai hingga semua bisa happy.
Sebenarnya ideologi hakiki dari politik adalah kekuasaan dan kepentingan serta bukan yang lain.
Tidak ada idealisme dalam berpolitik, karena politik bukan urusan benar salah, namun urusan menang kalah.
Idealisme? Itu kan hanya konsep bualan pemanis mulut berbusa politikus.
Dalam politik tidak akan pernah ada kawan abadi dan tidak akan pernah ada lawan abadi.
Seperti dalam hal koalisi PKB dan PKS yang baru-baru ini terjadi.
Walaupun PKB dan PKS berbeda dan berlawanan secara ideologi, realitanya PKB selama ini dalam cengkeraman di bawah bayang-bayang PDIP.
Seperti yang telah lalu, nahdliyin suaranya diperlukan dan menjadi kunci kemenangan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Nasionalis dan agamis yang dicerminkan oleh duet PDIP dan PKB di satu pihak serta digerakkan oleh nahdliyin dipihak lain berhasil memenangkan pemilu di waktu yang lalu.
Jargon bersatunya “nasionalis dan agamis” berbusa-busa diteriakkan oleh para politisi atas nama “nasionalisme dan religiusitas” di satu sisi, dan berhadapan dengan ideologi sempit politik identitas penuh SARA yang membawa issue ideologi khilafah yang dimanipulasi sedemikian rupa oleh pihak lain.
Waktu berlalu dan peta turbulensi politik telah berubah.
Tiba -tiba peran PKB dan nahdliyin ke depan sangat berpotensi tersingkir serta tidak mendapatkan peran sebagaimana mestinya, artinya kepentingan nahdliyin sangat terancam.
Simulasi bolak-balik kandidat Prabowo-Puan melawan Anies-AHY, atau dibalik Prabowo-AHY berhadapan dengan Anies-Puan mempunyai tingkat kemungkinan tertinggi dalam kompetisi capres cawapres.
Jangan berpikir terlalu jauh memasangkan Ganjar-Risma, Ganjar-cak Imin atau Ganjar-Gus Yaqut, karena ambang batas partai presedential treshold yang mencalonkan capres cawapres tidak akan tercapai.
Apalagi Gus Yaqut dipasang dalam posisi penuh jebakan di tepi jurang diberi jabatan menteri agama yang sejarah telah mencatat bahwa banyak pemegang jabatan menteri agama masuk dalam perangkap korupsi.
Begitu gus Yaqut diorbitkan menjadi cawapres, saya prediksi issue korupsi akan dicari-cari dan dihantamkan kepada beliau untuk menghentikan langkah pencalonan tersebut.
Untuk cak Imin, publik tentu mafhum bahwa nama tersebut kurang marketable dikalangan nahdliyin.
Opsi-opsi tersebut jelas-jelas mengganggu kepentingan PKB secara khusus warga nahdliyin.
Golkar dan Nasdem jelas arahnya kemana, keduanya sejatinya adalah saudara kembar dampit tak terpisahkan dan tidak akan menitik beratkan kepada kepentingan nahdliyin.
Gambaran tersebut menggambarkan betapa sulit memegang kuat idealisme serta ideologi.
Idealisme dan ideologi harus berhadapan dengan realita, bahwa kepentingan nasionalis dan nahdliyin bisa saja tergadai demi kekuasaan.
Saya mah ketawa saja melihat fenomena ini.
Simulasi ini harus dihitung, dicermati dan dipahami oleh nahdliyin.
Mengambil resiko tentu, karena berkoalisi dengan partai radikalis ibarat memelihara anak ular yang siap mematuk tuannya.
Karena tidak ada ceritanya kaum khawarij bersatu dengan ahlulsunnah waljamaah NU.
Satu kalimat kunci yang mohon diingat:
“Politik itu ibarat pagi kedelei, sore tempe, malem tahu bacem.”
Editor : Nurul Azizah.
Baca juga: