Penulis: Nurul Azizah
Disaat kondisi perekonomian lagi lesu, susah bergerak, daya beli masyarakat rendah, pemerintah bukannya membangkitkan semangat masyarakat agar mampu bertahan dalam posisi kelesuan ini, malah membuat program yang menambah penderitaan rakyat. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang belum terwujud secara menyeluruh, muncul program “efisiensi”. Belum sembuh dari luka karena adanya efisiensi anggaran malah muncul adanya Danantara. Program-program tersebut tidak membuat masyarakat terangkat perekonomiannya, yang terjadi malah semakin terpuruk. Daya beli masyarakat rendah, penghasilan pas-pasan, harga-harga barang konsumsi dan jasa semakin beranjak naik. Kebutuhan semakin bertambah tetapi masyarakat banyak yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jangankan untuk berinvestasi dan menabung, bisa makan sampai akhir bulan terasa lebih dari cukup.
Kondisi masyarakat saat ini hanya tertumpu pada dua barang yaitu mampu beli beras dan beli gas. Dua kebutuhan ini menjadi prioritas warga terutama warga yang kurang mampu. “Yang penting bisa beli beras dan beli gas,” kata tetangga penulis. “Bisa masak nasi dengan lauk dan sayuran seadanya itu lebih dari cukup,” lanjutnya. Harga beras dan gas mahal, beras di pasar tersedia cuma harganya mengalami kenaikan, sedangkan gas elpiji 3 kg selain langka harganya cukup mahal,” sahutnya.
Itulah realita yang penulis hadapi di kehidupan sehari-hari. Antrian panjang untuk mendapatkan satu gas elpiji 3 kg biasa kita temui di sudut-sudut pasar dan dipinggir jalan. Kondisi saat ini adalah kondisi sulit yang dialami sebagian besar masyarakat Indonesia.
Pendapatan yang mereka peroleh sebagian untuk konsumsi sebagian lagi untuk menabung. Terkadang penghasilan yang mereka terima habis untuk memenuhi kebutuhan hidup, sementara untuk tabungan tidak ada. Kalau untuk menabung saja tidak ada uang, kapan masyarakat bisa berinvestasi? Logikanya pendapatan yang diperoleh 60% untuk konsumsi, 20% untuk tabungan dan 20% untuk investasi. Dalam rumus ekonomi Y = C + S + I, dimana Y itu pendapatan, S itu tabungan dan I itu investasi. Yang terjadi malah Y = C artinya pendapatan habis untuk konsumsi.
Budaya menabung menurun dan masyarakat belum familiar dengan budaya investasi. Apakah kondisi yang demikian diketahui pemerintah? Apakah pemerintah tutup mata dan tutup telinga dengan kondisi tersebut?
Program pemerintah tentang efisiensi anggaran untuk membiayai Makan Bergizi Gratis (MBG) dan sebagian lagi akan diinvestasikan ke dalam Danantara. Pemangkasan anggaran yang dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto diperkirakan akan mencapai Rp 750 triliun, hal ini disampaikan oleh Prabowo saat memberikan sambutan pada acara Ulang Tahun Partai Gerindra di Sentul Jawa Barat, Sabtu (15/2/2025).
Rp 750 triliun atau US$ 44 miliar, yang US$ 24 miliar akan dialokasikan untuk MBG sisanya US$ 20 miliar untuk investasi ke Danantara. Dana investasi pemerintah atau Sovereign Wealth Fund (SWF) akan dirilis pada hari Senin, 24 Februari 2025. Pemerintah akan menginvestasikan sumber daya alam (SDA) dan asset negara ke dalam proyek-proyek berkelanjutan dan berdampak tinggi ke dalam berbagi sektor, seperti manufaktur (pabrik) yang canggih, produksi pangan, energi terbarukan dan lain-lain. Tujuannya agar dana investasi ini bisa dijadikan dana cadangan untuk pembiayaan negara selain APBN. Jadi pemerintah ini berharap pembiayaan tidak tergantung pada APBN saja tetapi ada dana lain selain APBN. Harapan yang bagus dan masuk akal. Artinya ke depan pemerintah sudah tidak lagi kekurangan dalam pembiayaan negara.
Yang menjadi permasalahan adalah apakah Danantara akan bisa dikelola dengan baik oleh pemerintah sebagai penanggung jawab? Apakah masyarakat mau menginvestasikan dananya ke Danantara? Apakah masyarakat sudah familiar dengan budaya investasi? Bagaimana dengan budaya korupsi di Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini yang selalu muncul di benak penulis.
Budaya investasi masyarakat sangat rendah. Tidak banyak dari mereka pergi ke bursa efek untuk membeli saham atau obligasi. Mereka kebanyakan pergi ke bank untuk menabung jarang juga untuk deposito. Jangankan untuk menabung, bisa makan sampai akhir bulan saja sudah senang. Masyarakat lebih senang menabung daripada investasi, karena uang di tabungan bisa diambil sewaktu-waktu. Sedang investasi itu kalau ada uang sisa dan untuk spekulasi saja tidak lebih dari itu.
Bagaimana masyarakat mau berinvestasi ke Danantara sementara pemerintah menunjuk Burhanuddin Abdullah eks napi 5 tahun kasus korupsi aliran dana BI sebagai Ketua Tim Pakar dan Inisiator Danantara. Muncul juga rumor Jokowi dan Kaesang akan duduki posisi penting di Danantara. Rumor tersebut Kaesang Pangarep dipercaya sebagai salah satu pengurus sedangkan sang ayah yaitu Jokowi akan menjadi pengawas lembaga ini.
Kalau rumor ini benar maka Danantara tak lebih dari tempat markasnya para koruptor. Belum hilang dari ingatan bahwa Jokowi di akhir tahun 2024 telah menjadi finalis koruptor kelas dunia nomor dua versi OCCRP, bukannya ditindaklanjuti temuan itu, oleh pemerintah Prabowo malah dikasih kedudukan untuk mengawasi Danantara. Apakah mereka tidak faham kalau di Indonesia itu yang berkembang budaya korupsi? Apakah pemerintah tutup mata dengan budaya korupsi para pejabat di negeri ini?
Katanya Prabowo akan mengejar koruptor sampai Antartika, tapi teman sendiri yang korup dibiarkan dan terus dikasih jabatan.
Pak Prabowo sebelum memberikan jabatan kepada mantan napi kasus korupsi, usut dulu kasus jet pribadi yang menimpa Kaesang. Usut dulu kasus korupsi yang menimpa pejabat-pejabat era presiden Jokowi. Kalau hal ini tidak dilakukan sama saja negeri ini akan dikuasai penyamun para koruptor di negeri ini.
Apakah Prabowo akan tutup mata dan tutup telinga atas demo yang dilakukan oleh mahasiswa dengan tajuk “adili Jokowi.” Kalau Prabowo tidak mau mendengarkan aspirasi rakyat yang diwakili mahasiswa maka negeri ini akan menuju kegelapan. Korupsi ada di mana-mana, rakyat dibiarkan kelaparan. Harga kebutuhan sehari-hari semakin menanjak naik. Daya beli masyarakat rendah penghasilan rendah dan PHK di mana-mana.
Maka Indonesia gelap benar-benar nyata. Indonesia gelap bukan tidak ada cahaya, tapi mereka yang menjadi penguasa memilih menutup mata. Kita melihat para pejabat berfoya-foya, berjoget sambil berdendang ber-euforia. Kita melihat mereka, kita tahu, kita bersuara, tapi suara kita terus diredam dan diabaikan.
Nurul Azizah penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI.
