Penulis: Erika Ebener
Sebagian orang ada yang menyebut covid seperti judul yang saya tulis. Orang sunda yang terkenal tak bisa menglahalkan huruf ‘F’ dan huruf ‘V’ misalnya, mereka akan mengatakan “Copid”. Orang sunda juga kadang tak bisa melafalkan huruf ‘d’ yang terletak di akhir kata. Misalnya nama David, di lidah orang sunda akan menjadi “Dapit”, dan covid akan menjadi “copit”. Lalu siapa yang melafalkan covid menjadi copet?
Entahlah. Namun saya pernah menemukan sekelompok orang yang menyebut covid dengan lafal copet dan setelah saya perhatikan dari pembicaraan mereka, ah, ternyata sekumpulan para pemain debus, yang saat beratraksi menjajal ilmu kekebalan tubuh terhadap virus corona, dan mereka berhasil sembuh.
Lalu karena ‘merasa’ jumawa, para pemain debus ini pun mulai mempropagandakan pada masyarakat bahwa yang namanya covid itu tidak berbahaya, bahkan tidak ada, tapi sudah mencuri aktivitas kehidupan. Mungkin… itu sebabnya para pemain debus ini menyebut covid dengan lafal copet.
Pada dasarnya, tak ada alasan untuk tidak percaya atas adanya virus corona yang sudah lebih dari satu tahun ini menjangkiti Indonesia. Bukti apa lagi yang dituntutkan?
Orang yang meninggal dengan gejala yang sama, yaitu sesak panas hingga tak bisa bernafas, sudah jutaan orang di seluruh dunia. Okupansi rumah sakit-rumah sakit yang melonjak melebihi kapasitas normal, terjadi di segala penjuru dunia. Berita satu orang yang terpapar virus corona dan menulari belasan orang lain, tidak hanya satu atau dua berita, tapi ratusan berita. Testimoni seperti yang disampaikan oleh dr. Tompi atau oleh Pak Lurah Sragen, juga sangat banyak. Lalu Mengapa masih ada orang yang menyatakan tidak percaya pada virus corona, bahkan akhirnya mempropaganda, hingga mengolok-olok para tenaga medis yang berjibaku di lapangan menangani para korban?
Jawaban atas pertanyaan di atas hanya ada dua dan sangat sederhana. Pertama, karena adanya kepentingan politik. Kedua, karena termakan propaganda politik yang dibuat oleh kelompok pertama.
Dilihat dari definisinya, “politik” adalah cara mencapai tujuan ‘titik’
Mengapa saya menulis kata titik dan tidak menggunakan tanda baca (.) pada definisi politik? Karena ‘titik’ ini yang sebenarnya menjadi kunci jawaban dari “cara – mencapai – tujuan” itu sendiri. Jika definisi “politik” tidak diakhiri oleh ‘titik’, tapi ditempatkan tanda baca ‘koma’, maka setiap orang akan bisa menambahkan kalimat penutup yang membuat sifat dinamis dari politik, hilang.
Kok bisa? Lihat contoh ini: Politik adalah cara mencapai tujuan ‘koma’ menuju pada hal yang lebih baik. Artinya, dalam berpolitik, harus dilakukan dengan cara yang benar dan halal, sesuai dengan ajaran agama dan aturan negara. Kalau orang menambahkan kalimat penutup seperti itu, politikus tak bisa lagi melakukan akal bulus, bermain curang, berbohong, ingkar janji, dendam, pokoknya semua aksi-aksi yang mengandung unsur pidana. Semuanya tak bisa dilakukan, kalau dilakukan maka politikus akan dihadapkan di meja persidangan.
Karena diakhiri dengan titiklah, maka cara apapun dilakukan oleh politikus, selama cara itu mampu membuat mereka mencapai apa yang menjadi tujuan, maka semuanya benar, semuanya halal.
Itu sebabnya, saya menyatakan bahwa orang yang tidak percaya pada covid hanya mereka punya kepentingan politik. Karena kepentingan politiknya inilah, mereka memplintir informasi tentang covid. Misalnya saja, membandingkan keganasan virus covid dengan virus TBC, atau penyakit berbahaya lain dengan menutupi fakta kecepatan penularan virus-virus yang dibandingkan.
Informasi yang diplintir seperti ini lalu ditelan bulat-bulat oleh kelompok kedua, maka ibarat pepatah, pucuk dicinta ulam tiba. Dua kelompok inipun bersatu dalam satu rangkaian gerbong, tapi duduk di kelas berbeda. Kelompok pertama duduk di kelas eksekutif, sebagai tokoh yang paham sekali arah tujuan rangkaian gerbongnya, sementara kelompok kedua duduk di kelas ekonomi, sebagai pengekor atau bahkan penjilat tanpa tahu kemana rangkaian gerbong akan membawa mereka.
Bagaimana dengan kasus di Madura? Ada apa memang dengan Madura? Bukankah kita semua sudah sangat hapal sifat dan tabiat orang Madura? Justru rasanya akan aneh, jika pada masa pandemi seperti ini orang Madura tiba-tiba bisa paham dan patuh pada aturan. Sebenarnya sangat sederhana untuk memahami orang Madura. Lihat saja letak geografis Pulau Madura yang dipisahkan Tuhan dari Pulau Jawa. Itu karena Tuhan Maha Tahu kalau orang Madura itu beda banget dari orang Jawa.
erika ebener
Ini analisis yang keren banget menurut saya👍👍menyuarakan suara hati banyak orang yang mungkin tak tersampaikan karena kalah berisik dengan orang-orang yang memandang covid dengan sebelah mata….