Common Sense PCR

EDITORIAL SintesaNews.com

Soal PCR. Peralatan ini memang semestinya pemerintah saat covid melanda China di Januari 2020, sudah harus ada. Ini kewenangan dan kewajiban pemerintah untuk rakyatnya.

Harus diakui kekurangan Menkes Terawan saat itu tidak memiliki sense kebijakan yang visioner. Mungkin juga karena keilmuan dan pengetahuan dia soal covid yang berbeda dengan ahli-ahli kedokteran lainnya.

-Iklan-

Sampai pada Maret akhirnya covid benar-benar merayap masuk di Indonesia, seperti “creeping death“, baru kelabakan untuk mengatasinya.

Pembangunan infrastuktur kesehatan bagi orang-orang teknis luar biasa brilliant, seperti Menteri PUPR. Penyediaan RS Darurat covid bagi pengusaha yang menggawangi BUMN seperti ET, bisa langsung menyulap wisma atlet. TNI sigap cekatan membantu dengan seluruh kekuatan di bidang medisnya.

Tapi alat PCR, siapa yang mustinya mengadakan?

Kemenkes? Mestinya…, tapi Menkes sudah kadung “tidak sigap”, siapa lagi? Masa Menteri PU?

BUMN, juga semestinya menjadi yang paling bisa lebih gesit dari kerja birokrasi pemerintahan, untuk soal pengadaan PCR. Tapi utk bergerak pun BUMN perlu perintah resmi menteri. Setelah itu pun sistem pendanaannya juga harus sesuai prosedur, karena gak ada Dirut BUMN yang mau masuk ke KPK apabila prosedurnya masih bolong. Apalagi soal duit.

Entah ide siapa, maka yang paling dianggap “aman” dari praktek penyimpangan korupsi (menggunakan uang negara) adalah swasta. Maka gak heran jika di level elit sana tercetus membuat perusahaan utk pengadaan PCR.

Namun apakah langkah ini benar?

Riskan sekali dengan conflict of interest antara pejabat pemerintah, dalam hal ini menteri, yang juga bertugas menangani pandemi covid-19. Maka bukan hal aneh jika akhirnya Tempo mengangkat isu adanya dugaan menteri-menteri yang ambil cuan atas pengadaan PCR.

Secara pribadi (opini pribadi), yang kebetulan pernah tau cara kerja orang yang dituduh ambil cuan itu. Mereka sama sekali gak punya waktu untuk masih mikirin dagang di grup bisnis mereka. Waktu, tenaga, dan pikiran mereka habis siang malam dalam kerja-kerja membantu presidennya yang gila kerja.

Tapi langkah inisiatif, meski dengan maksud baik, jika ada bau-bau conflict of interest, ya pasti suatu saat ada yang mengungkap ke publik.

Terus, kenapa sih gak pemerintah aja yang langsung menyediakan PCR? Waduh…, kerja-kerja birokrasi dengan sederet prosedural yang rigid, ditambah kehati-hatian yang sangat karena gak mau kena KPK, itu seperti jalan panjang yang menghabiskan waktu… padahal situasi krisis ibarat harus segera ditangani, pandemi yang merayap naik angka statistiknya.

Jangankan pengadaan PCR, dana bansos yang siap saji saja… haduuh… ruwet… masalah pengadaan, vendor, supply, data penerima bansos yang acakadut, de el el de el el.

Doni Monardo yang diharapkan jadi komandan mengatasi krisis pandemi pun seperti “jalan di tempat grak”. Gak ada greget terobosannya yang mencerminkan mantan Komandan Koppasus.

Ditambah lagi silang sengkarut pernyataan-pernyataan menteri-menteri Jokowi yang sering saling bertentangan antar kementerian (bahkan dengan keputusan presiden sendiri).

Sekarang sih tinggal buka-bukaan aja para menteri yang dituduhkan itu. Kalau bersih kenapa takut….

Baca: Ini Penjelasan Luhut Binsar Pandjaitan Soal Tuduhan Ambil Untung dari PCR Test

Saya jadi ingat pesan Jokowi ke JK sebelum JK dipilih Jokowi jadi cawapres. Itu makanya selama 5 tahun JK menjadi wapres Jokowi, grup bisnis JK “kering” dari proyek-proyek pemerintah. Wong dilarang sama Jokowi grup bisnis JK ikut proyek-proyek infrastruktur pemerintah.

Baca: Pesan Jokowi yang Tak Pernah Terungkap Bikin Bisnis Keluarga JK Kering dan Ambrol

Nah…, jangan-jangan… hembusan soal conflict of interest grup bisnis ET dan LBP berasal dari kompetitor bisnis yang gak kebagian proyek pemerintah….

Yah… namanya juga common sense

Tabik,
Erri Subakti.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here