Penulis: Early Kusuma
Siang itu Loretta sedang sibuk dengan berbagai macam file resume dan CV ribuan kandidat yang harus dia sortir untuk tahapan selanjutnya.
Jabatannya sebagai Rekrutmen di salah satu company besar, membuatnya punya banyak pekerjaan yang harus dia kerjakan dan dia selesaikan tepat waktu.
Tiba-tiba Direct Superior dia yang bernama Pak Handoko itu masuk ke ruangan dan berkata, “Wah mba, perasaanku ga enak ini.”
“Maksudnya bagaimana Pak?” tanyaku padanya, sambil menghentikan aktivitasku memfilter resume dan CV yang aku terima.
“Ini, posisi Manager untuk Organization Development itu khan masih belum ada, terus ini sudah dibuat sama Pak Sanjaya, tapi Pak Sanjaya sudah membawa orang dia sendiri dari kantor lamanya.”
“Diadakannya posisi Manager ini, job description dan grading salary untuk wanita pilihannya ini juga semuanya dibuat oleh Pak Sanjaya langsung.”
“Kata orang-orang yang pernah bekerja bareng dengan mereka di kantor mereka yang lama, mereka berdua ada hubungan spesial di kantor sebelumnya,” lanjut Pak Handoko lagi.
Aku mengernyitkan dahi, sambil menjawab, “Masa sih Pak?”
Pada saat itu aku benar-benar berusaha senetral mungkin dalam menerima dan menyerap informasi yang masuk ke otakku ini. Sambil membayangkan perut Pak Sanjaya yang tambun, ‘ah, masak sih’. Begitu berkali-kali aku mikir.
“Iya mba, banyak yang ngomong begitu,” jawab Pak Handoko lagi.
“Nanti kapan-kapan aku liatin CV-nya ya ke mba,” kata Pak Handoko lagi.
“Oke Pak,” jawabku padanya.
Setelah itu, aktivitas kantor berjalan seperti biasanya.
Pak Handoko merupakan Key Person di divisi kami.
Walaupun level dia tidak tinggi-tinggi amat, tapi dialah ‘gerbang’ karyawan (titipan) masuk.
Para pejabat daerah biasa titip saudara-saudara mereka ke beliau, untuk dimasukkan kerja di perusahaan, dengan alasan sebagai “demi keamanan dan kelangsungan perusahaan ke depannya”, karena ada hubungannya dengan Community, padahal ending nya juga tidak ada sumbangsih apapun ke perusahaan dari orang-orang yang Pak Handoko bawa tersebut.
Urusan silat lidah, Pak Handoko jagonya.
Teman-teman dia yang memegang peranan penting di instansi atau kantor-kantor penting juga tidak segan-segan untuk menitipkan anak, saudara atau kerabat/ orang-orang terdekat di keluarganya ke Pak Handoko ini. Walaupun beribu kali Pak Handoko beralasan macam-macam, aku tahu persis beliau punya banyak andil dalam memasukkan orang-orang titipan itu.
Dia sudah terkenal sebagai si “Thousands Faces”, karena punya banyak agenda dan kepentingan di kepalanya.
Sedangkan Pak Sanjaya, dia laki-laki separuh baya, bertubuh tambun dan flamboyan.
Dulu awal-awal bertemu dengannya dan bersalaman dengannya, ketika aku bersirobok mata dengannya, aku langsung bisa mengenali, kalau Bapak baru yang satu ini “Petualang” termasuk salah satunya dalam hal wanita.
Secara personal, Pak Sanjaya ini baik ke aku dan cukup obyektif menilai kinerjaku, walaupun pada saat awal-awal aku masuk, beliau sempat under estimate dengan kemampuanku, lambat laun setelah melihat hasil kinerjaku, beliau menjadi tambah baik padaku.
Dan hal inilah yang membuat Pak Handoko sering merasa kesal dan ‘cemburu’ padaku, karena beberapa kali dia melakukan kesalahan dalam pekerjaannya dan dia selalu dimarahi Pak Sanjaya dan pada saat dia memarahi Pak Handoko, selalu ada kalimat: “Seperti Loretta itu lho, kerjanya bagus”.
Dan ternyata kalimat-kalimat inilah yang lambat laun memupuk kebencian, kecemburuan dan rasa iri dengki Pak Handoko padaku dan menjadi salah satu alasan untuk menyingkirkan aku.
Selang beberapa bulan setelah itu, Pak Handoko mendatangiku lagi, “Mba, ini CV yang pernah saya bicarakan beberapa waktu yang lalu ke mba. Tolong difollow up dan dipanggil untuk interview,” kata Pak Handoko padaku.
“Baik Pak,” jawabku.
Pada saat itu aku hanya menerima 2 CV (satu laki-laki dan satu perempuan yang sudah pernah diinfo Pak Handoko sebelumnya padaku).
Aku ignore CV kandidat Bapak-bapak satunya. Karena aku tahu persis, dia dipakai hanya sebagai pembanding formalitas dalam proses rekrutmen posisi ini. Aku lebih memilih membaca CV si mba pilihan Pak Sanjaya itu.
Namanya Tiara. Di CV berjilbab, di KTP tidak berjilbab. Terlihat sangat soleha dan sangat profesional di fotonya.
Aku liat wajahnya, khas Ibu-ibu. Dia ‘Nice’ widow, beranak satu, suaminya meninggal. Nothing special menurutku dilihat dari fisik dia. Tapi banyak orang dari kantor lama dia yang bilang, kalau dia itu cantik sekali.
Aku cek lagi CV dan resumenya.
Dia mendapatkan banyak sekali sertifikasi training dll. dan jabatan dengan grade yang tinggi di jaman Pak Sanjaya masih menjadi atasan dia di kantor sebelumnya.
Aku lihat, jabatan terakhir wanita ini sebagai “Chief”. Wah hebat sekali, pikirku, masih muda sudah jadi Chief. Tapi endingnya aku baru tahu, bahwa Chief di tempat dia bekerja sebelumnya itu selevel dengan Assistant Manager, jadi bukan Real Chief perusahaan.
Aku cek lagi, riwayat pekerjaan sebelumnya, dia bekerja di salah satu Resto F&B yang terkenal di kota tempat dia tinggal, tapi dengan level staff dan kebanyakan job description-nya adalah sebagai team organizer apabila ada acara anak-anak yang ulang tahunnya diadakan di restoran tersebut. Nothing else. Nothing Special dari pekerjaan dia sebelumnya.
Akhirnya aku jadwalkan interview di head office, karena pada saat itu direktur perusahaanku yang expatriate itu sedang ada di Jakarta, dan untuk mempersingkat waktu, dilakukanlah interview di sana.
Proses rekrutmen Tiara ini, aku tidak dilibatkan dari awal, hanya terima ‘matang’ dan juga tidak dilibatkan sama sekali dalam sesi interview.
Info dari teman-teman di Head Office, si wanita itu datang ke kantor Head Office dengan membawa koper. Teman-teman di sana pada penasaran dan mengintip, karena ternyata mereka pun sudah lama mendengar rumor tidak sedap ini dan banyak orang yang mengatakan kalau Tiara ini sangat cantik. Makanya Pak Sanjaya dan wanita itu punya hubungan khusus selama bertahun-tahun.
Ternyata pada saat interview, Pak Sanjaya sengaja memilih kandidat lainnya yang kemampuan komunikasi Bahasa Inggrisnya levelnya di bawah Tiara, supaya atensi direktur langsung ke Tiara yang kemampuan Bahasa Inggrisnya di atas kandidat satunya.
Dan akhirnya pak direktur lebih memilih Tiara, untuk diproses ke tahapan selanjutnya, Psikotest.
Selanjutnya aku diminta Pak Handoko dan Pak Sanjaya untuk memproses Psikotest mba Tiara ini di salah satu Biro Psikologi yang kompeten dan terkenal. Dan kami selalu menggunakannya sebagai 3rd party dalam proses rekrutmen di perusahaan tempat aku bekerja.
Aku mulai mengirimkan undangan Psikotest by email padanya dan juga mulai menelpon wanita itu. Cukup lama akhirnya aku baru bisa menghubunginya. Dia bilang dia lagi sibuk, tapi akan berusaha datang di Psikotest yang sudah dijadwalkan.
Setelah di hari H, pihak Biro Psikologi ini menelponku, karena si mba Tiara ini belum juga datang tepat waktu, dan ternyata setelah dicroscheck, ternyata dia katanya nyasar karena melamun. Dia naik taksi, katanya.
Akhirnya, dia tetap bisa mengikuti Psikotest di hari itu juga.
Selang beberapa waktu setelah itu, pada saat aku handle proses rekrutmen roadshow di kampus-kampus bersama dengan Pak Sanjaya dan Direkturku, aku diminta untuk follow up ke Biro Psikologi terkait hasil Psikotes Tiara.
Setelah aku follow up, ternyata Hasil Psikotest Tiara ini TIDAK DISARANKAN untuk posisi ini.
Ketika aku infokan ke Pak Sanjaya soal hasilnya, beliau marah-marah.
“Kok bisa dia ga lolos Psikotest?” tanya Pak Sanjaya bersungut-sungut.
“Biro Psikologi XXX khan Biro Psikologi yang kompeten Pak, berarti hasilnya memang real, memang actual,” jawabku ke Pak Sanjaya.
Pak Sanjaya sampai keluar masuk ruangan interview untuk memastikan hasil Psikotest si Tiara ini.
Beberapa saat dia menunjukkan kepadaku, hasil Assessment Tiara ini di perusahaan sebelumnya. Dia dapat hasilnya dari screenshot Tiara, yang menyatakan bahwa Tiara ini lolos Psikotest Assesment.
Pak Sanjaya memintaku untuk memproses ulang Psikotest Tiara ini.
“Pokoknya ga mau tahu, diproses ulang Psikotest nya supaya masuk,” kata Pak Sanjaya.
Dia mengatakannya secara verbal padaku.
Selang beberapa saat setelah beberapa roadshow rekrutmen itu selesai. Aku kembali beraktivitas di kantor.
Pak Sanjaya menanyakanku kembali soal Psikotest si Tiara, apakah sudah diproses.
Karena hanya verbal, akhirnya aku email terkait requestnya. Karena aku tidak mau, suatu saat ada audit dan aku yang akan kena masalah.
Akhirnya setelah beliau confirm by email, baru aku mau melaksanakan perintahnya.
Jadi hanya berjarak 1 minggu dengan Psikotest pertama yang gagal, Psikotest yang kedua ini diproses. Dan aku diminta untuk mencari Biro Psikologi yang grade-nya benar-benar jauh di bawah Biro Psikologi yang pertama, supaya meminimalisir kegagalan hasil Psikotest lagi.
Setelah Psikotest kedua itu dilakukan, hasilnya keluar dengan hasil: “Disarankan”.
Mendengar hasil laporan Psikotest ke-2 yang bagus ini, Pak Sanjaya kegirangan dan dia segera memberikan laporan ke Direktur, bahwa Hasil Psikotest Tiara ini sudah keluar dan hasilnya bagus dan disarankan untuk posisi Manager. Pak Sanjaya sama sekali tidak menginformasikan ke Direktur terkait hasil Psikotest 1 Tiara yang gagal.
Akhirnya, dengan hasil Psikotest kedua dan tanpa medical check up sama sekali, wanita bernama Tiara ini, positif direkrut sebagai salah satu manager di divisi kami. Dengan salary di atas rata-rata untuk posisi tersebut, dan juga benefit lainnya yang menguntungkan, karena semuanya dibuat oleh Pak Sanjaya langsung.
Direkrutnya Tiara sebagai manager baru ini, sebagai awal dari hal-hal yang absurd, di luar nalar, mistis dan hal-hal tidak menyenangkan lainnya di tempat kerjaku.
To be continued.