Catatan Pinggiran: Agenda Reforma Agraria Jokowi, Tantangan dan Peluang di Kaltim dan IKN

Penulis: Ganda Situmorang
Patriot 98 NKRI

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria merupakan rujukan pokok bagi kebijakan dan pelaksanaan Reforma Agraria. UUPA telah meletakkan dasar-dasar pengaturan, penguasaan, pemilikan penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Program Nawacita Presiden Joko Widodo salah satunya menyebutkan Cita ke-5 yaitu “…Program Indonesia Kerja dan Indonesia Sejahtera dengan mendorong landreform dan program kepemilikan tanah seluas 9 Juta hektare” yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, adalah target program kepemilikan tanah seluas 9 Juta hektare, yang akan dilakukan melalui Redistribusi Tanah Objek Landreform 4,5 juta hektare dan Legalisasi aset lainnya 4,5 juta hektare.

-Iklan-

Dalam Rapat Terbatas Evaluasi Proyek Strategis Nasioanal (Ratas PSN) pada tanggal 29 Mei 2020, Presiden Jokowi menyampaikan arahan yang sangat jelas. “Saya minta diprioritaskan Program Strategis Nasional yang berdampak langsung bagi pemerataan dan penguatan ekonomi rakyat, seperti: Program Sertipikat Tanah untuk Rakyat, Legalisasi Lahan Transmigrasi, Reforma Agraria, Perhutanan Sosial serta Peremajaan Perkebunan Rakyat. Saya ingin pastikan program-program ini tetap berjalan, tetapi memperhatikan protokol kesehatan secara ketat.”

Pada hakekatnya Reforma Agraria adalah penataan aset dan akses sebagai upaya untuk menata kembali hubungan antara masyarakat dengan tanah dan ruang, yaitu menata kembali penguasaan, pemilikan, dan penggunaan, pemanfaatan tanah yang berkeadilan melalui Penataan Aset dan disertai dengan Penataan Akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Penataan aset dan akses dalam pelaksanaan Reforma Agraria memiliki fungsi dan peran penting antara lain; sebagai pilar pembangunan dan pemerataan ekonomi dalam Proyek Strategis Nasional; Reforma Agraria sebagai instrumen mengantisipasi & mencegah konflik; dan Penyediaan tanah – faktor produksi vital dalam sektor-sektor krusial.

Ada tiga bagian daripada pelaksanaan Reforma Agraria yang bisa dibedah kemajuan dan hasilnya sampai saat ini yaitu; capaian Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dari penyelesaian Penguasaan Tanah Kawasan Hutan (PTKH) dan Pelepasan Hutan Produksi Konversi (HPK-TP), Capaian sertifikasi tanah transmigrasi, dan penyelesaian konflik tenurial.

Berdasarkan pemaparan dari Kementerian ATR/BPN pada September 2021, evaluasi pelaksaan Reforma Agraria yang sudah berjalan 7 tahun bisa dilakukan dengan menakar capaian terhadap target sebagai berikut:
1. Legalisasi Aset; Pensertipikatan tanah untuk mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah melalui PRONA/PTSL dengan target seluas 4,5 juta hektar; Dari Tanah Transmigrasi (sertifikasi hak milik tanah transmigrasi) dari target 0,6 juta hektar, capaiannya seluas 113.109 hektar (18.85%); Dari pendaftaran tanah /PTSL (Pensertipikatan tanah masyarakat secara sistematis) dari target 3,9 juta hektar, capaiannya seluas 6,88 juta hektar (176.41%).

Catatan penting untuk Kementerian ATR/BPN adalah untuk membedah dan merumuskan terobosan tindak lanjut lanjut opsi dari kendala-kendala yang dihadapi dalam Pensertipikatan hak milik tanah transmigrasi seluas kurang lebih 487.000 hektar yang tak kunjung selesai setelah 7 tahun agenda Reforma Agraria.

2. Redistribusi Tanah; Pembagian Tanah Negara kepada subyek yang memenuhi persyaratan dengan target seluas 4,5 juta hektar; Redistribusi Tanah Negara dari HGU habis tidak diperpanjang, tanah terlantar dan TN lainnya Ex-HGU, Tanah Terlantar & Tanah Negara Lainnya dari target 0,4 jt Ha, capaiannya seluas 1 juta hektar (251,9%); Pelepasan Kawasan Hutan untuk TORA dari target 4,1 juta hektar, capaiannya seluas 259.111 (6,21%)

Catatan penulis kedengarannya klise dan klasik bahwa komitmen dan koordinasi dari Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah (K/L/D) sebagai syarat perlu untuk mencapai target Legalisasi Tanah Transmigrasi dan Redistribusi Tanah dari Pelepasan Kawasan Hutan.

Target dan Capaian Penyelesaian Penguasaan Tanah Kawasan Hutan (PPTKH)
Berdasarkan Peta Indikatif TORA Revisi ke-5: Target PPTKH seluas 3.214.833 Ha. Angka target tersebut terdiri dari beberapa kriteria Pelepasan Kawasan Hutan yang berasal dari PPTKH; Permukiman transmigrasi beserta fasos-fasumnya yang sudah memperoleh persetujuan prinsip; Permukiman fasos dan fasum; Lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat; dan Pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat.
Capaian PPTKH terdiri dari beberapa pola penyelesaian; Perubahan Batas Kawasan Hutan seluas 363.360,54 Ha; Perhutanan Sosial seluas 414.171,33 Ha; Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH) seluas 45,90 Ha; dan Resettlement seluas 1.649,05 Ha.

Berdasarkan TORA Revisi V, penulis mencatat bahwa capaian PPTKH Provinsi Kalimantan Timur masih cukup rendah, sehingga perlu adanya percepatan penyediaan TORA. Percepatan pelepasan HPK-TP di Provinsi Kalimantan Timur dapat didorong dengan peran aktif pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengajukan permohonan pelepasan HPK-TP.

Bidang tanah transmigrasi yang belum disertipikasi di Kalimantan Timur sebanyak 3.166 Bidang atau sekitar 45,1%. Permasalahan lahan transmigrasi khususnya yang berada di Kawasan Hutan perlu diselesaikan bersama dengan koordinasi antar K/L/D.

Penyelesaian permasalahan tenurial di Kalimantan Timur
Pemerintah memang telah menerbitkan PP Nomor 43 Tahun 2021, dimana salah satunya untuk Penyelesaian Ketidaksesuaian Hak Atas Tanah di dalam Kawasan Hutan dalam Keterlanjuran (Pasal 11). Jika diteliti, penyelesaian permasalahan tenurial dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek kronologis sesuai dengan rule base K/L/D. Misalnya Pada Ayat 3; Penyelesaian penguasaan tanah berupa permukiman, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan garapan, kebun rakyat, lahan transmigrasi, hutan adat, atau tanah ulayat yang telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh masyarakat di dalam Kawasan Hutan selama jangka waktu paling singkat 20 tahun secara terus menerus penguasaan tanah dimaksud tidak dipermasalahkan oleh pihak lainnya dan dibuktikan dengan historis penguasaan dan pemanfaatannya maka diselesaikan oleh Menteri LHK.

Peran masyarakat dalam upaya percepatan pelaksanaan Reforma Agraria
Masyarakat (CSO, Perguruan Tinggi, dan Akademisi) dan Badan Usaha semestinya diberikan peran untuk memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan Reforma Agraria. Peran masyarakat sebagai komponen yang langsung bersinggungan dengan kebutuhan hak atas tanah dan konflik pertanahan tentunya sangat diharapkan, termasuk peran CSO yang fokus dan terlibat dalam pendampingan masyarakat, dan akademisi yang tentu saja memiliki sudut pandang holistik melihat kebutuhan masyarakat, termasuk permasalahan-permasalahan masyarakat kaitannya dengan hak atas tanah.

Bentuk peran masyarakat (CSO, Perguruan Tinggi, dan Akademisi) dan Badan Usaha antara lain; Memberikan usulan potensi TORA; Memberikan usulan mengenai model pemberdayaan tanah masyarakat; Memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai kondisi sosiologis masyarakat pada suatu lokasi TORA; Membantu terjalinnya komunikasi yang baik antara GTRA Kabupaten/Kota dan masyarakat calon penerima TORA; Membantu dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat; dan Mengusulkan penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan.

23102021
####################

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here