Penulis: Erika Ebener
Mengidentifikasi kemampuan dan kebutuhan untuk menghindari kemiskinan.
Bisakah?
Jelas bisa!
Permasalahan yang menimpa manusia untuk bisa mengidentifikasi kemampuan dan kebutuhan adalah kemauan.
Mau atau tidak, kita mengetahui lebih dalam kemampuan dan kebutuhan kita. Kalau jawabannya mau, maka perlu juga dipertanyakan seberapa seriusnya si manusia itu mau mengidentifikasi kemampuan dan kebutuhannya. Karena bukan hal yang gampang untuk mengakui kebenaran kemampuan dan kebutuhan.
Biasanya, di sisi lain, selalu ada penyangkalan atau pembenaran atas sesuatu yang pada faktanya bertolak belakang.
Pada dasar permasalahan manusia itu sangat mudah sekali. Mengapa saya katakan mudah? Karena manusia itu tidak dihadapkan pada banyak pilihan. Setiap kondisi dan situasi hanya akan menghadapkan manusia pada 2 pilihan. Hanya 2 pilihan.
Tapi kadang 2 pilihan saja, banyak manusia yang gagal menentukan pilihan yang benar. Kalau sudah begini, maka siklus kehidupan menuju kesulitan pun terbuka lebar.
Contoh kasus…
UMP atau Upah Minimu, Propinsi, atau UMR, UMK, semua upah umum, penentuan jumlah nominal dari upah itu didasarkan pada standar kehidupan satu orang. Di Jakarta, UMP Jakarta untuk tahun 2021 adalah sebesar Rp 4.416.186 atau kita bulatkan menjadi Rp 4,5 juta. Dengan jumlah sebesar Rp 4,5 juta, seorang pekerja bisa memiliki kehidupan primer yang berkecukupan.
Masalah muncul bagi pekerja single ini adalah ketika dia mulai memandang kebutuhan sekunder menjadi kebutuhan primer.
Misalnya, si pekerja ingin rada gaya, lalu dia mengkredit motor yang levelnya sekunder dimana cicilannya di atas kemampuan. Padahal mau motor bebek atau motor tiger, bensinnya sama, jalan yang dilaluinya sama, tujuannya sama, kecepatannya pun sama. Yang beda cuma gengsinya aja. Kesalahan memilih motor dengan harga di atas kemampuan adalah pemicu awal menuju kemiskinan.
Contoh lain, si pekerja yang memiliki UMP itu memutuskan menikah dengan seorang perempuan yang tidak bekerja. Karena pernikahan itu melahirkan tanggungjawab, maka UMP yang sedianya hanya didasarkan pada kebutuhan satu orang, sekarang dipakai untuk mencukupi kebutuhan 2 orang. Tapi untuk hal yang satu ini, tentu saja bisa dilakukan, selama si pekerja dan istrinya bisa menjaga gaya hidup yang lebih sederhana asalkan nahagia berdua.
Potensi kemiskinan mulai muncul Ketika pasangan yang hanya memiliki penghasilan UMP ini berpikir untuk memiliki momongan alias anak. Maka UMP yang sedianya hanya didasarkan pada kebutuhan satu orang, sekarang harus mencukupi kehidupan 3 orang.
Padahal idealnya, ketika pasangan itu mulai memikirkan untuk punya anak, maka si pekerja itu harus mengganti dulu pekerjaan yang mampu memberinya gaji dan bukan upah lagi. Dan untuk bisa mendapatkan gaji itu, si pekera harus meningkatkan mutu kerjanya terlebih dahulu.
Apa yang terjadi di lapangan, banyak manusia yang melakukan pilihan berdasarkan emosi atau hawa nafsu tanpa mengidentifikasi kemampuan diri. Ketidakmampuan mengidentifikasi kemampuan diri ini melahirkan 1.001 alasan pembenaran kecuali menyalahkan diri sendiri.
Jika semua manusia mampu bersikap dan berpikir secara konstruktif tentang kemampuan dan kebutuhannya, niscaya kemiskinan akan jauh dari mereka. Dan bukan lagi rahasia bahwa satu-satunya hal yang mampu mengentaskan kemiskinan adalah pendidikan. Baik itu pendidikan awal maupun pendidikan berjenjang.
Di zaman globalisasi seperti sekarang dimana teknologi menjadi pengendali kehidupan, manusia dipaksa untuk bisa berpikir lebih cepat. Karena jika manusia berpikirnya lambat, maka dia akan tertinggal. Kalau sudah tertinggal, maka si manusia itu mulai mencari-cari kambing hitam. Menyalahkan orang lain, menyalahkan pemerintah, bahkan tak jarang ada manusia yang menyalahkan Tuhan atas kemiskinan yang dideritanya.
Jadi solusi bagi mereka yang sekarang dalam kondisi tidak beruntung, mungkin ada baiknya mulai mengidentifikasi kemampuan dan kebutuhan. Jika kemampuannya adalah kemampuan primer, maka janganlah berpikir untuk memiliki kebutuhan yang sekunder. Jika menginginkan kebutuhan yang sekunder, maka mulailah berpikir untuk memiliki kemampuan sekunder.
Pernahkah kalian bertanya, “Kok dia bisa kaya raya?” Mereka yang hidupnya mapan itu karena mereka memiliki kemampuan tersier yang mengizinkan mereka untuk bisa memiliki kebutuhan tersier pula.
Pada akhirnya, kebahagian itu tidak ditentukan dengan seberapa besar penghasilan, tetapi ditentukan dengan seberapa dalam kita menyadari, menerima dan menikmati keadaan.
Mana yang mau kalian pilih, tertawa di atas sepeda atau menangis di dalam mobil mewah?