Penulis: Roger “Joy” P. Silalahi
#Bagian Kedua (dari tiga)
“Captains are born, not made…”
-unknown-
Keberanian yang cenderung masuk klasifikasi nekat bagi yang tidak terlalu memahami pribadinya adalah ciri utama Oom Billy.
Dalam banyak sekali hal, kenekatan yang menyelamatkannya, semua di-back up dengan kemampuan berpikir cepat serta mengolah kata yang sempurna.
Salah satunya adalah ketika Papa mau melamar Mama, berangkat dari Priok dengan tujuan Surabaya lanjut Makassar, tempat tugas Opa saat itu.
Uang ticket lengkap, Oom Billy bagian beli ticket, Papa ikut saja apa yang diarahkan Oom Billy. Mau naik kapal, Oom Billy bilang ticket sudah ada di atas kapal, setelah masuk kapal, Oom Billy atur Papa harus begini harus begitu, sampai saat ada pemeriksaan tiket, Oom Billy bilang ke Papa untuk masuk toilet, dan Oom Billy sendiri entah ke mana, yang jelas setelah itu baru Papa tahu bahwa uang tiket tidak dibelikan tiket, dan berdua mereka saat itu statusnya penumpang gelap.
Tapi dengan berbagai kepintaran, kecerdasan, trik dan kepandaiannya bicara, Papa dan Oom Billy berhasil sampai Makassar dan Papa sukses melamar Mama.
Kalau saya ceritakan lengkap, tidak akan cukup 10 seri, mungkin akan jadi biografi setebal 486 halaman.
Singkat kata, Oom Billy berhasil bekerja di sebuah perusahaan kapal Jerman, dengan rute Jakarta-Bremen.
Pelayaran pertama, pulang pergi, lancar. Sebagai “deck crew”, Oom Billy lumayan bagus. Tapi perjalanan kedua, Oom Billy hilang, atau tepatnya melarikan diri dari tugas bermodal passport sebagai “deck crew”.
Tidak ada yang tahu keberadaannya. Ternyata di masa hilangnya itu, Oom Billy masuk ke sekolah pelayaran, dan lulus sebagai satu-satunya orang Indonesia di sana.
Panjang lagi kalau saya ceritakan bagaimana Oom Billy mengakali segala passport dan persyaratan masuk serta membiayai kuliahnya itu, tapi beliau berhasil, dan naik kapal Jerman sebagai Schiffsbesatzung alias Mualim II. Karier berjalan cepat, dan Oom Billy menjadi Nahkoda alias Sea Captain. Sejak saat itu, orang memanggilnya Captain Billy.
Pada 25 Januari 1981, ada tragedi besar di Laut Jawa yang menenggelamkan kapal Tampomas II setelah terbakar. Musibah ini diduga diakibatkan bocornya salah satu selang bahan bakar, percikan api rokok dari ventilasi udara dinyatakan sebagai penyebab awal terjadinya api, saat itu 1.054 penumpang, 82 awak kapal, serta sekitar 300 penumpang gelap ada di atasnya.
Bersyukur ada beberapa kapal di sekitar Tampomas II yang menangkap signal SOS dari Tampomas II. Tercatat KM Sangihe menangkap dan meresponse signal dari Tampomas II. Lama setelahnya barulah KM Sangatta menerima kabar dan meresponse.
Mendekatkan kapal ke kapal lain yang sedang terbakar sangatlah berbahaya, kapal yang mendekat harus menjaga jarak aman. Tapi jarak aman berarti ruang kosong terlalu luas, penumpang yang terjun ke laut sangat mungkin tersapu ombak dan hilang. Butuh keahlian dan perhitungan serta keberanian untuk mengarahkan kapal ke titik terdekat demi menyelamatkan penumpang yang bertebaran di laut lepas.
Tepatlah sudah Tuhan menempatkan Oom Billy sebagai Nahkoda KM Sangatta (banyak yang menyebutnya Sengata) saat itu. Nama Sangatta diambil dari nama salah satu wilayah di Kalimantan Utara. Tercatat KM Sangatta adalah kapal yang merapat dalam jarak terdekat, walaupun saat kejadian berposisi paling jauh dari Tampomas II dan paling akhir menerima signal SOS dari sana.
Ketika tiba, sudah ada KM Sangihe dari sisi lainnya, Kapal Tangker Istana VI, dan KM Sonne yang agak jauh posisinya.
Setelah semua selesai, Oom Billy menceritakan kejadiannya di rumah Oma, bahwa saat itu yang ada di kepala cuma yang di laut itu manusia, bukan ikan. Nyawa. Maka Oom Billy mengumpulkan semua kru kapal, dan bicara; “Kita pelaut, kita terlatih, kita kenal laut, tapi mereka yang di bawah sana tidak…”, “Silahkan kalian pilih, terjun ke laut dan menyelamatkan mereka, atau diam dan menjadi pengecut seumur hidup kalian…”.
Lalu Oom Billy membuka bajunya, bersiap untuk melompat ke laut. Bergantian kru Sangata melompat ke laut, menebar jaring, membimbing korban pada jaring, lalu yang di atas menarik jaring penyelamat. Lanjut tim berikutnya dan berikutnya. Tercatat tidak satu pun kru KM Sangatta yang tidak mengambil bagian terjun ke laut secara bergantian saat itu.
Dari catatan SAR saat itu, ada 753 penumpang yang berhasil diselamatkan. Kapal Tangker Istana VI berhasil menyelamatkan 144 penumpang Tampomas dan 4 jenazah, sementara KM Sangata menyelamatkan 169 orang dan 2 jenazah. Kapal lain KM Sonne tercatat menemukan 29 Mayat termasuk mayat Nakhoda KMP Tampomas II Kapten Abdul Rivai.
Odang Kusdinar Markonis KM Tampomas II selamat, ia ditemukan bersama 62 penumpang dalam sekoci di dekat Pulau Duang-Duang Besar, 240 km sebelah timur tempat Tampomas tenggelam, pada hari Jumat 30 Januari 1981 pukul 05.00.
Sisa yang selamat diselamatkan tim SAR yang mengambil pos di KM Sangihe.
Wawancara lengkap Oom Billy terkait penyelamatan korban Tampomas II diterbitkan Kompas pada edisi No.232/III/26 Tahun Ke XVI yang terbit pada hari Minggu tanggal 22 Februari 1981.
Satu poin yang saya kagumi adalah, ketika orang memuji penyelamatan yang dilakukannya dengan risiko besar itu, Oom Billy yang sering disebut “songong” kalau kata anak sekarang, menerangkan bagaimana beliau melihat situasi saat itu dalam beberapa kalimat.
“Seorang Nahkoda harus memikirkan dulu keselamatan kapal dan anak buahnya sebelum melakukan pertolongan. Akan sangat keliru bila karena ingin menolong, Nahkoda tidak memikirkan keselamatan kapalnya sendiri. Jangan-jangan malah menjadi musibah baru. Setiap Nahkoda tidak mau kapalnya mengalami musibah. Kalau kemudian Sangatta yang banyak berperan di depan, karena kami lebih siap dari kapal yang lain yang sudah lebih dulu ada di lokasi. Ini sama sekali bukan persoalan mereka takut atau pengecut seperti diberitakan koran-koran saat itu. Karena yang lain, tapi semata-mata masalah kesiapan saat itu.”
Tidak terlalu lama setelah tragedi Tampomas II, Oom Billy mulai berkarier di darat, di perusahaan perkapalan. Faktor usia dan rencana hidup, rencana pensiun, membuatnya memilih untuk berhenti jadi Nahkoda.
Besok saya ceritakan bagaimana di darat pun Oom Billy yang bisa dibilang “bengal” ini berbuat dari darat untuk masyarakat, untuk Minahasa, untuk mengharumkan nama Indonesia.
Besok ya….
Baca: Never Quit, and You Never Lose
Mempertaruhkan keselamatan demi menyelamatkan dalam kesiapan dan kepastian langkah, itulah yang dilakukan. Kepedulian dan kemampuan memotivasi anak buahnya, itulah yang jadi kekuatan. Kalau tidak punya hati, kalau tidak punya nyali, kalau tidak punya rasa satu negeri, semuanya tidak akan terjadi.
Capt. Billy, orang Indonesia… Kamu…?
-Roger Paulus Silalahi-
Artikel ini bagian dari seri tulisan ” Seberapa Indonesia Kamu?”
Baca tulisan sebelumnya: