Penulis: Roger P. Silalahi
Gemparlah semua ketika seorang pemikir yang banyak digandrungi orang, dianggap sebagai Petinggi Agama, dan punya banyak pengikut menunjuk hidung Presiden Jokowi dengan sebutan Firaun, menunjuk hidung 10 Naga sebagai Qorun, dan Menko Marinvest LBP sebagai Haman. Netijen yang budiman bereaksi keras, Cak Nun diserang, dicaci maki. Kemudian Cak Nun melakukan klarifikasi dan mempersalahkan ruh yang merasuki dirinya, itu bukan Cak Nun yang bicara, tapi beliau ‘kesambet’.
Sebelum menghakimi Cak Nun, mari kita dalami apa yang dikatakannya, dan seberapa benar perkataannya. Marah itu gampang, tapi marah yang tidak berdasar dan tidak jelas, tentunya bukan hal yang baik.
Firaun, dikenal sebagai Raja yang dholim, umumnya digambarkan mengenakan hiasan kepala “nemes”, sebuah jenggot palsu, dan shendyt (semacam sarung).
Ada kemungkinan Cak Nun sedang ber-‘satire’, secara sengaja menempatkan Peesiden Jokowi di posisi Firaun, dimana sudah jelas Presiden Jokowi jauh dari apa yang digambarkan mengenai Firaun.
Presiden Jokowi melakukan banyak sekali perubahan dan perbaikan untuk Indonesia, untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Sementara yang tampil seperti Firaun dengan mengenakan penghias kepala, sarung, dan jenggot datang dari kalangan tertentu. Mereka inilah yang bolak balik ingin ‘sok berkuasa’, bertindak dholim pada sesamanya, dan berkali-kali mencoba memecah belah bangsa, merusak bangsa, menghancurkan bangsa.
10 Naga sebagai Qorun, orang miskin yang beranak banyak, yang kemudian menjadi kaya raya karena suka mengambil harta Bani Israel, dan berakhir mati tertimbun hartanya sendiri. Inipun bisa jadi ‘satire’, menegaskan bagaimana 10 Naga berbisnis, bekerja keras menghasilkan harta yang begitu banyak. 10 Naga tidak mati tertimbun hartanya, yang terjadi mereka banyak ditekan untuk ‘menyumbang’ para pemeras yang sangat menginginkan kemewahan, hidup bergelimang harta, tapi tidak mampu bekerja, sehingga memanfaatkan agama untuk menunjukkan kekuasaan dan kekuatan. Mereka itulah yang kemudian terbukti mati saat terbongkar penyimpangan yang dilakukan, terjerembab dalam kasusnya, lalu ‘mati’ atau mati dalam artian sesungguhnya dalam kondisi berkasus, dilaknat, su’ul khotimah, bukan khusnul khotimah.
LBP sebagai Haman, seorang penasihat Firaun, yang dipercaya untuk menjadi pelaksana proyek pembangunan menara Babel yang rencananya akan digunakan Firaun untuk melihat Tuhan. Inipun ‘satire’, karena LBP tidak pernah mengkaitkan satupun proyek pembangunan dengan Tuhan, semua dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan, menjaga keamanan, melindungi rakyat dan negara Indonesia. Sebaliknya, yang selalu mengkait-kaitkan segala sesuatu dengan Tuhan, bahkan begitu paham akan keberadaan sorga dan neraka, apa yang ada di dalamnya, dan apa saja yang akan terjadi di sana, adalah kaum ‘sok penasihat’, kaum ‘sok suci’, yang ilmunya hanya sebatas bicara tanpa bukti kerja nyata.
Mungkin saja Cak Nun sebenarnya sedang ber-‘satire’, setidaknya akan lebih elegant kalau menghindar dengan alasan sedang ber-‘satire’. Maka seharusnya Cak Nun bukan mengaku ‘kesambet’, tapi berkelit dengan menyatakan bahwa semua itu hanya ‘satire’, sehingga tidak perlu meminta maaf pada “siapapun yang kecipratan, dll”… Sebaliknya, Cak Nun bisa melipir dengan mengatakan, “Maaf Pak Jokowi, 10 Naga, dan Pak LBP, karena ‘satire’ saya ditangkap sebagai pernyataan yang menghina oleh banyak orang, sungguh, saya tidak bermaksud demikian…”.
Tapi apapun caranya, jika kesalahan tidak diakui, dimintakan maaf, dan diubah, maka pelakunya bukanlah seorang yang Ksatria.
Demikian Cak Nun, tunjukkanlah sifat Ksatria, akui kesalahan sebagai kesalahan, bukan mempersalahkan ruh, bukan meminta maaf setengah hati. Akui secara terbuka, “Saya salah, bukan kesambet…”, “Pak Jokowi, 10 Naga, dan Pak LBP, maafkan kelancangan saya yang bodoh dan tidak tahu diri ini…”.
Ksatria itu tingkatannya di bawah Petinggi Agama, jika menjadi Ksatria saja Cak Nun tidak sanggup, sebaiknya jangan lagi berpolah seolah berposisi sebagai Petinggi Agama.
Roger P. Silalahi-
Satpam di Bali