Bunda Maria dalam Pasungan, Menteri Agama Pun Tak Mampu Objektif Berpendapat

Penulis: Roger P. Silalahi

Kasus Intoleransi Kulon Progo belum tuntas dan harus dituntaskan. Hentikan segala pembelaan atas tindakan intoleran, jangan coba membungkusnya dan menutupinya seolah patung itu yang salah, jika Anda waras.

Aliansi Jurnalis Indonesia mengeluarkan nota protes atas intimidasi dan pemaksaan pemberitaan yang diarahkan agar “harus” sesuai dengan keinginan Kapolres “yang maha kuasa”. Video beredar luas, Kapolres mengatakan:

-Iklan-
  1. Kapolsek dinyatakan “Gagal Paham”
  2. Pada prinsipnya, pembangunan Rumah Doa harus ada sosialisasi kepada masyarakat. Kemudian kepada warga, lalu ke tokoh kelurahan, tokoh desa di sana, dan tentunya dari FKUB
  3. Sambil menunggu (izin), karena ini rencananya 1 bulan, kemudian nanti setelah Lebaran, baru akan dikomunikasikan lagi
  4. Mohon maaf atas anggota kami yang salah dalam penulisan narasi
  5. Kami telah mendapatkan perintah dari Kapolda, bahwa tidak ada ormas yang mengganggu keamanan dan ketenteraman. Bila ada, khususnya di wilayah Kulon Progo, akan kami tindak.

Mari kita cermati pernyataan yang disampaikan dengan sedikit gagap dan tidak terstruktur dengan baik ini.

  1. Sudah terbuka fakta yang sebenarnya, Kapolsek tidak “Gagal Paham”. Sebaliknya, Kapolres secara terbuka melakukan “Pembohongan Publik”
  2. Kapolres “Gagal Paham” hukum. Ini dikarenakan tidak ada aturan terkait izin masyarakat, warga, kelurahan, desa, FKUB, untuk pembangunan sebuah Rumah Doa. Pahami bahwa Rumah Doa bukan Gereja dan tidak dalam cakupan SKB 2 Menteri yang selalu dijadikan benteng kaum intoleran. Kapolres mengarang bebas tanpa dasar hukum, sementara seharusnya setiap langkah anggota Kepolisian didasarkan pada hukum dan undang-undang
  3. Izin direncanakan 1 bulan, lalu Kapolres takut salah, dibubuhi dengan nanti setelah Lebaran dikomunikasikan lagi. Apanya yang mau dikomunikasikan?
  4. Yang salah bukan anggota, jangan biasakan dan jangan contoh Sambo atau Teddy yang mengorbankan anak buah. Jika anak buah salah, Komandannya salah. Maka katakan “Maaf atas kesalahan saya sebagai pimpinan di wilayah Kulon Progo”. Tapi itu kalau salah. Anggota tidak salah, Pembohongan Publik yang salah
  5. Perintah Kapolda, tidak ada ormas yang menggangu keamanan? Perintah penindakan, perintah penyampaian, perintah apa? Tidak jelas. Lalu ditutup seolah hebat “Akan kami tindak”. BUKTIKAN.

Jadi sebenarnya apa yang dilakukan Kapolres Kulon Progo AKBP Muharommah Fajarini adalah mencoba menutupi fakta di lapangan yang secara tegas dan jelas terjadi akibat ulah ormas (sumber saya bilang FJI, sumber lain bilang MA) intoleran.

Sejak kapan Rumah Doa harus ada izin, harus disosialisasikan ke berbagai pihak, aturan siapa, Kapolres?

Jika mau disetarakan, rumah doa itu setara Mushola.

Di mana ada pembangunan Mushola dengan persyaratan izin, sosialisasi, dll?

Jelaskan dasar hukum yang digunakan. Pastikan, itu hukum atau kesewenang-wenangan?

Cara yang sama dipakai oleh Menteri Agama, menyatakan bahwa Rumah Doa tidak mengikuti prosedur. Prosedur yang mana Pak Menteri…?

Patung itu berdiri sebagai dekorasi dari Rumah Doa, apakah ada IMB Patung? Pejabat publik harus paham bahwa setiap ucapannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Lalu keluar sebuah rekomendasi dari pihak yang menamakan diri GERAKAN MASYARAKAT GOTONG-ROYONG MELAWAN INTOLERANSI (GEMAYOMI) dari Sleman, yang menyatakan telah menurunkan laporan “Facts Finding” yang terlihat cukup detil dan terkesan sangat objektif.

Bagus dan hebat sekali GEMAYOMI ini, sejuk dalam penyampaian serta memaparkan fakta dengan pertimbangan yang sangat dalam. Pertimbangan yang sangat dalam ini sayangnya menjadikan pemaparan kasus tidak 100% objektif, menutupi hal yang seharusnya dibuka (nama ormas, eufimisme atas intoleransi dan atas kesalahan Kepolisian).

Penyampaian yang diajukan sudah cukup baik, walau masih kurang mendidik, terutama terkait apa yang dibahasakan sebagai ‘kekurangsensitifan’ terkait pembangunan Patung Bunda Maria di lokasi yang sangat dekat dengan Masjid. GEMAYOMI seharusnya merujuk pada tempat-tempat lain di Indonesia seperti ‘Puja Mandala’ di Bali, di mana hal seperti itu justru diapresiasi sebagai perwujudan toleransi dan kebhinnekaan yang merupakan napas dari konstitusi kita.

Mempersalahkan media sosial dan menyatakan bahwa harus hadir di lokasi untuk mengetahui kondisi sebenarnya, juga merupakan hal yang kurang baik dari siaran pers GEMAYOMI ini.

Media sosial dan meledaknya isu ini di media sosial sesungguhnya adalah penggerak utama dari penuntasan masalah di lapangan. Karena, jika tidak viral dan menjadi perhatian umum, maka hal represif yang dilakukan oleh (yang dibahasakan sebagai) ormas intoleran tidak akan mendapat tindak lanjut yang memadai, bahkan cenderung akan meningkat di masa yang akan datang.

Rekomendasi terlihat cenderung normatif dan sedikit berat sebelah. Rumah doa bukanlah Gereja, tidak masuk di dalam lingkup yang diatur dalam SKB 2 Menteri yang selama ini dijadikan acuan untuk bertindak intoleran dan membangun sebuah patung (karya seni) tidak termasuk dalam cakupan bangunan, melainkan dekorasi rumah doa tersebut. Apakah pembangunan kolam ikan berair mancur harus ada IMB-nya?

Setidaknya beberapa poin cukup jelas, masyarakat tinggal menindaklanjuti lebih jauh, membongkar nama ormas sebenarnya, MA atau FJI, terafiliasi dengan apa dan siapa, untuk kemudian menuntut pembubaran organisasi massa tersebut, agar tidak terlanjur menjadi besar dan membawa masalah seperti HTI atau FPI.

Selanjutnya, Kapolda DIY dan Kapolres Kulon Progo tinggal menindaklanjuti dengan benar kasus ini secara objektif dan jujur berdasarkan undang-undang. Bagaimana…? Apa tindak lanjutnya…? Tidak sulit, jalankan saja 5 langkah ini:

  1. Minta maaf kepada masyarakat Indonesia atas kesengajaan penyampaian informasi yang salah, yang sedianya dilakukan untuk meredam suasana, tapi malah berbalik menjadi perlindungan terhadap ormas intoleran
  2. Buka tutup Patung Bunda Maria
  3. Pastikan ormas intoleran terkait
  4. Panggil penanggungjawab ormas, proses secara hukum
  5. Bila ada intervensi dari partai yang (katanya) terafiliasi dengan ormas intoleran tersebut, sampaikan pada publik, maka publik akan menjadi kekuatan bagi Kepolisian.

—————–
“Masyarakat semakin hari semakin sadar hukum, dan Kepolisian semakin hari mempunyai semakin banyak mata yang mengawasi dan akan berteriak untuk setiap penyimpangan, kesewenang-wenangan, serta penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan yang terjadi”.
—————–

Roger P. Silalahi
Kriminolog
Analis Keamanan Publik
BPH BASKARA INDONESIA
Barisan Masyarakat Anti Kekerasan Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here