Bukan Muhrimnya

Penulis: Dahono Prasetyo

Siang itu kami berbocengan motor saat lalu lintas tidak terlalu ramai. Matahari memelototkan sinarnya lumayan terik, saat usulku untuk mampir ke sebuah warung es dawet di pinggir jalan kami sepakati. Seingatku 100 meter setelah perempatan yang kami lewati ada penjual es dawet. Benar juga, nampak spanduk kecil es dawet terlihat.

Motor berhenti persis di depan gerobak es dan segera kupesan 2 gelas dengan kode jari sambil melepas helm. Sempat kutengok kira-kira 30 meter di depan terlihat banyak orang berkerumun. Sepertinya baru saja ada kecelakaan, tapi aneh kenapa tidak ada aktivitas kepanikan orang orang menolong atau terlihat korbannya. Hanya ada orang-orang berdiri mengelilingi sepeda motor.

-Iklan-

“Ada apa itu di depan pakdhe?” tanyaku sambil duduk di bangku..

“Ada perempuan jatuh dari motor, mbuh lah dari tadi ndak selesai. Orangnya ngeyel,” jawab tukang dawet tanpa nengok.

Jatuh dari motor, orangnya ngeyel, dari tadi gak selesai. Kalimat tukang dawet membuat jidatku berkerut mirip tanda tanya. Sepertinya ada yang nggak beres.

“Ton, sini dulu ya? Aku liat ke sana sebentar,” kataku. Tono kawanku cuma ngangguk sambil melepas jaketnya.

Aku sibak kerumunan orang-orang ketika mataku terbelalak melihat pemandangan memilukan. Seorang wanita berpakaian hitam-hitam dengan cadar di wajahnya, duduk di samping sepeda motornya yang ambruk terlentang. Pakaian gamis hitamnya sebagian nyangkut di rantai motor yang membuatnya tak bisa bergerak dari posisi duduk. Kedua tangannya menutupi dadanya dengan pakaiannya yang robek terbelah. Dan kulihat ternyata bagian pungung hingga pantat wanita itu sudah telanjang tanpa pakaian, robek tapi entah ke mana kain robekannya. Orang-orang seperti melihat tontonan langka, dan anehnya wanita itu tidak merasa risih, entah mungkin pasrah.

“Ini gimana kok malah jadi tontonan, bukannya ditolong!!” seruku sambil melihat para penonton yang sebagian ada yang cengar-cengir.

“Wis lah biarin saja mas, dari tadi mau ditolongin malah marah-marah,” jawab salah seorang diantaranya.

“Tadi sudah mau saya lepasin kain yang nyangkut di rantai, eee.. sayanya malah dilempar batu,” seorang anak muda menyahut sambil cengar-cengir.

Jidatku kembali mengkerut mirip tanda tanya. Kupandangi wanita itu, kulihat cadar di wajahnya. Seketika aku sadar sesuatu. Kucopot jaket sambil mendekatinya.

“Mbak sudah telepon saudaranya?” tanyaku sambil menutupkan jaket di pungung telanjangnya yang terlihat tanpa BH. Dia memandangku dengan mata mendelik. Aku pasangkan jaket berusaha tanpa menyentuh bagian tubuhnya. Mata wanita itu sedikit mereda, dan pertanyaanku hanya dijawab anggukan kepala dan matanya sekali berkedip.

“Heh.. udah sekarang pada bubar!! Orang kena musibah malah jadi tontonan!!” seruku pada penonton sekeliling.

Orang-orang pada bubar, ada sebagian yang sekedar mengambil jarak sambil sesekali nyeletuk.

“Makanya jadi orang jangan sok fanatik,” seorang pria bersarung ngomel sambil menjauh.

“Hehe… rasain, deh. Susah sendiri to?” seorang ibu nambahin nyeletuk.

“Ada apa,bro??” suara Tono tiba-tiba sudah berada di sebelahku melihat wanita itu tak berkedip.

“Orang Jama’ah,” jawabku.

Tono melihat ke arah wanita lalu berganti memandangku. Aku jawab dengan anggukan. Dan dia mulai faham sambil ikut mengangguk.

“Itu mendingan penonton di motor yang pada berhenti suruh jalan saja. Aku jagain orang-orang yang di sini biar nggak mendekat,” perintahku setengah berbisik padanya.

“Ya, bro,” jawab Tono sambil melangkah ke arah penonton musibah tak lazim itu.

Kira-kira 5 menit kemudian sebuah mobil sedan berhenti di dekat kami. Dua orang pria dan 1 wanita bercadar keluar dari mobil. Pakaian mereka seragam hitam-hitam. Sudah kuduga tanpa bertanya mereka segera melepas jerat pakaian wanita itu dari rantai motor, melepas jaketku yang tadi kukenakan, memberinya pakaian penutup dan segera membawanya masuk mobil. Seorang pria bersorban kulihat membawa pergi motor. Pria yang satu lagi dengan jenggot panjang menenteng jaketku lalu memandang sekeliling seolah mencari sesuatu.

“Ini jaket siapa?” kata dia sambil mengangkat jaket.

“Jaket saya,” kujawab tak kalah tegas sambil mendekatinya.

Jaket kuterima. Lima detik kami saling berpandangan mata tanpa suara sama-sama tak berkedip, hanya sempat kulihat bola matanya bergerak mengalihkan tatapanku. Lalu bergegas dia berbalik masuk dalam mobil.

Di warung kuminum pesanan es dawetku yang sudah tak dingin lagi.

“Sebenarnya mereka sodara kita juga, cuma…, mereka lebih patuh etika yang mereka ciptakan sendiri. Itu yang kadang menurut kita aneh. Dengan alasan bukan muhrimnya kita dianggap orang lain,” jelasku pada Tono yang ikutan nambah dawet segelas lagi.

Sambil menelan manisnya air dawet, aku sempat teringat bahasa ucapan terima kasih mereka saat meninggalkanku tadi. Meskipun tak bisa terucap lewat lidahnya, mereka tetap berterima kasih lewat pandangan mata.

Dan kami berpisah kembali pada perbedaan masing-masing.

Jogja 96

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here