Bukan LHKPN, KPK Maupun WTP BPK, Netizen adalah Pemburu Koruptor Paling Ampuh

Penulis: Ganda Situmorang

Program pemberantasan korupsi di negeri ini seperti jalan di tempat. Indeks Persepsi Korupsi mandeg. Strategi Nasional Pencegahan Korupsi yang didorong oleh Presiden Jokowi tak lebih dari sekedar lipstick pemerah bibir. Persoalan fundamental pemberantasan korupsi yaitu mental korupsi birokrasi dan hukuman ringan bagi pelaku korupsi masih berlangsung sampai hari ini.

Sebaik apapun sistem, perilaku korup tetap akan menemukan jalannya. Ini sudah hukum alam. Power Tends to Corrupt.

Gaya kapiler air akan merembes jika ada keretakan sedikit saja pada pipa air. Kain kering jika sedikit saja tersentuh air lama kelamaan akan basah semua. Sebaik apapun jalan di pematang sawah pasti akan keciprat lumpur. Tidak ada satupun instrumen yang bisa mencegah perilaku korupsi manusia.

-Iklan-

Maka perilaku korupsi hanya bisa dicegah jika resiko hukuman yang dihadapi benar-benar setimpal.

Rasa malu seumur hidup dengan hidup miskin bahkan jika perlu hukuman mati sehingga orang lain berpikir seribu kali untuk berkhianat dengan jabatan dan kuasa yang diemban.

Mental birokrat yang kerja ikhlas, hidup sederhana dan pemiskinan serta hukum mati koruptor terbukti ampuh di Republik Rakyat Tiongkok.

LHKPN KPK maupun WTP BPK terbukti hanya jadi tambahan administrasi dokumen. Perilaku korupsi tetap tumbuh subur.

Sudah menjadi keniscayaan bahwa jika seorang Ahli dan punya Kuasa akan sangat lihai mencari celah menyalahgunakan kekuasaan tanpa diketahui orang lain. Bahkan bisa jadi seorang pejabat tidak sadar melakukan penyalahgunaan wewenang karena hanya dia sendiri yang menguasai bidang tersebut.

Pengawasan internal di Kementerian dan Lembaga pun sama saja. Sekali mereka terlibat kongkalikong maka pengawasan menjadi sekedar administrasi di atas kertas.

PPATK sudah sejak lama melaporkan transaksi mencurigakan di DJP kepada Menteri Keuangan. Nilainya pun bukan angka kecil. Duit Rp 300 triliun sudah sangat cukup membangun IKN.

Duit segitu bisa bangun 300 unit tower rumah susun bagi masyarakat yang belum punya rumah. Jika satu tower terdiri dari 1000 unit, maka 300 ribu KK kehilangan kesempatan tinggal di rumah susun.

Perilaku korupsi didorong oleh keserakahan dan gaya hidup mewah. Gaji pegawai Kementerian Keuangan sangat lebih dari cukup. Gaya hidup mewah itu pula yang membuka borok perilaku korupsi. Tabiat manusia yang ingin pamer di era sosial media menjadi berkah tersembunyi bagi rakyat Indonesia.

Ada saja jalannya perilaku korupsi akan tercium. Bukan LHKPN KPK maupun WTP BPK melainkan netizen-lah yang mengendus perilaku korupsi tersebut.

TikTok, Instagram, Facebook dan media sosial lainnya menjadi alat pencegahan korupsi paling ampuh sekarang ini. Tidak perlu anggaran negara sampai triliunan, dengan akurasi 100% gratis oleh netizen.

Biarlah negara sibuk dengan program pemberantasan korupsi itu. KPK sibuk dengan retorika temuan-temuan indikasi korupsinya. BPK sibuk dengan piagam-piagam penghargaan WTP. Selama netizen dan media sosial eksis maka koruptor tidak bisa lagi pamer harta dan gaya hidup hedon.

Lah kalau ga bisa pamer buat apa harta banyak? Mending hidup yang sewajarnya saja supaya tidak ada hasrat korupsi. Jika golongan ASN pun hanya hidup sewajarnya sesuai pendapatan yang sah dari negara, mereka tetap berada di level atas rakyat Indonesia. Lantas buat apa mereka pamer hedon ke seluruh rakyat yang notabene juragan mereka?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here