Penulis: La Ode Budi
Pada era 80an, banyak pelajar Malaysia belajar ke Indonesia. Malaysia mengembangkan SDM secara agresif. Banyak mengirim pelajar ke Amerika dan Eropa, untuk yang sangat pintar. Ke Indonesia, untuk yang biasa saja.
Saat itu, dosen-dosen Indonesia juga banyak jadi dosen terbang ke Malaysia.
Berjalannnya waktu, kemajuan Malaysia menyalip Indonesia. Indonesia dikenal sebagai negara “banyak cakap”. Pandai konsep, cerdas menjelaskan, tapi lemah diimplementasi.
Satu masalahnya adalah tipikal kepemimpinan. Presiden atau Kepala Daerah hanya hadir saat seremonial. Di luar itu, tidak ada pengecekan dan evaluasi lapangan.
Evaluasi cukup di atas kertas. Asal bapak senang, ABS, jadi slogan populer.
Berubah dramatis, ketika Jokowi jadi Presiden. Kehadirannya mengecek terus-menerus ke lapangan, telah menjadikan birokrasi waspada terhadap mutu, tenggat waktu dan keberlanjutan manfaat dari suatu proyek.
Bisa dibilang semua PSN (proyek strategis nasional), tereksekusi dengan baik.
Sayangnya budaya “cek lapangan” ini belum merata di daerah. Banyak Bupati, Walikota, Gubernur masih “diam di istana ber AC”.
Jalan rusak, bukan karena tidak diperhatikan dan tidak dianggarkan. Sudah dianggarkan, tapi umur jalan pendek. Potongan besar atas nilai proyek (korupsi berjenjang), penyebabnya. Cukup satu musim hujan, jalan rusak semula.
Ganjar Pranowo, satu Gubernur yang banyak meninjau jalan atau bangunan propinsi Jawa Tengah saat dalam proses pengerjaan. Terikuti melalui sosmed.
Tipikal pemimpin “jangan hanya diam saja di istana ber-ac”, yang ditekankan Jokowi ini, membutuhkan stamina. Kebugaran fisik kuncinya. Dibukti Wapres saat ini.
Kehadiran Jokowi atau Presiden penerusnya, ke daerah-daerah, adalah kebanggaan dan menjadi cerita legenda turun temurun, di daerah tersebut.
Mudah dibukti, siapa Capres yang fisiknya mendukung.
Betul???
KIBAR INDONESIA
Baca juga:
