SintesaNews.com – Pada 14 Februari 1945, seorang perwira tentara bentukan militer Jepang PETA (Pasukan Pembela Tanah Air), Sudancho Parto Hardjono, mengibarkan Bendera Merah Putih.
Pengibaran dilakukan pukul 3.30 WIB di tugu tiang bendara yang berada di depan markas PETA Daidan Blitar.
Dalam catatan sejarah, pengibaran bendera itu merupakan momen pertama kali Bendera Merah Putih dikibarkan.
Peristiwa itu, terpaut enam bulan sebelum Bendera Merah Putih kembali dikibarkan di Jalan Pegangsaan, Jakarta Pusat, di mana Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Tempat Sudancho Parto mengibarkan Bendera Merah Putih, berdiri sebuah tugu setinggi 3 meter.
Dulunya tempat itu merupakan lapangan arena latihan tentara Jepang. Berlokasi di Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar.
Tugu tersebut berfungsi sebagai tiang bendara di mana tentara Jepang mengibarkan Bendera Kebangsaan Jepang setiap pukul 6.30 WIB.
Karenanya, Bendera Merah Putih hanya sempat berkibar di tugu tersebut sekitar 3 jam.
Kini, tugu itu dikenal dengan sebutan Monumen Potlot karena bentuknya menyerupai alat tulis potlot.
Lapangan yang dulu menjadi arena latihan militer kini menjadi Taman Pahlawan (TMP) Raden Wijaya.
Monumen bersejarah itu ternyata terletak di bagian belakang area TMP dan nyaris tidak terlihat dari pintu gerbang TMP.
Untuk melihat Monumen itu, harus berjalan lebih dari 50 meter menyusuri area pemakaman dan lahan kosong dan pepohonan pinus.
Monumen itu berdiri di dekat dinding pagar TMP bagian belakang.
Di bagian kaki Monumen, terdapat sebidang prasasti dengan tulisan: “Tugu Peringatan Pemberontakan PETA Blitar melawan Pendjajahan Jepang ini Diresmikan Pada 1946 oleh Bapak TNI Djenderal SOEDIRMAN”.
“Di Tempat Ini Pula Bendera Sang Merah Putih untuk Pertama Kalinja Dikibarkan oleh Shodancho Parto Hardjono dalam Detik Pemberontakan Sedang Bergolak Pada Tgl. 14 Pebr. 1945”.
Pengibaran Bendera Merah Putih di Monumen Potlot merupakan bagian penting dari detik-detik dimulainya gerakan pemberontakan bersenjata oleh pasukan PETA Blitar di bawah komando Sudancho Supriyadi.
Pengibaran bendera di Tugu Potlot dan peluncuran mortir ke Hotel Sakura dan markas tentara Jepang pagi itu menandai dimulainya pemberontakan dari sekitar Markas Daidan PETA Blitar.
Namun pemberontakan itu tidak bertahan lama dan segera dapat dipadamkan oleh tentara Jepang.
Caranya dengan mendatangkan bala bantuan dari Kediri dan pengerahan pasukan Heiho, satuan militer bentukan Jepang yang beranggotakan orang Indonesia.
Sekitar 57 orang, terdiri dari 2 chudanco, 8 shodanco, 35 budanco, dan 12 giyuhei PETA Blitar, diadili oleh otoritas militer Jepang. Enam di antaranya mendapatkan vonis hukuman mati.
Supriyadi kemudian menghilang. Sejumlah pihak meyakini ia tewas dalam sebuah sergapan tentara Jepang yang melakukan pengejaran terhadap Supriyadi dan pendukungnya.