SintesaNews.com – Kemarin redaksi berkesempatan mewawancarai salah satu Tenaga Ahli (TA) DPR RI dari Fraksi PDIP untuk Komisi III.
Anggota DPR pada umumnya difasilitasi minimal dua asisten pribadi (aspri) dan lima Tenaga Ahli (TA) oleh negara. Hal itu berdasarkan Peraturan DPR RI Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Tenaga Ahli Anggota (TAA) dan Staf Administrasi Anggota (SAA) DPR RI.
Dalam pasal 4 disebutkan, bahwa setiap Anggota DPR RI mendapat jatah lima TA (tenaga ahli) dan dua SA (staf ahli) yang nantinya menjadi ASN Tidak Tetap (sesuai Pasal 4 Peraturan DPR RI Nomor 3 Tahun 2014) untuk menunjang pekerjaan Anggota Dewan.
Adalah S. Maeda Yoppy Nababan, mantan aktivis yang kini membantu Bambang DH dari PDIP.
Mau tau apa sih kerjanya TA di DPR itu? Simak wawancara berikut ini.
SintesaNews.com (SNC): “Jadi sejak 2019 jadi staf ahli untuk Bambang DH, ya. Di komisi berapa, menangani bidang apa aja?
S. Maeda Yoppy Nababan (MYN): “Saya jd Tenaga Ahli (TA) DPR-RI sejak Oktober 2019 lalu untuk masa jabatan periode 2019-2024 untuk Pak Bambang DH (Komisi III DPR-RI).”
“Komisi III DPR-RI menangani Bidang Hukum, Keamanan dan HAM.”
“Mitra Komisi III diantaranya: Polri, KPK, BNN, BNPT, Kejaksaan RI, MA, MK, LPSK, Menkuham.”
“Sebagai Tenaga Ahli DPR bertugas membantu Anggota menghimpun data dan informasi yang dibutuhkan terkait bidang kerja mitra.”
SNC: “Pengalaman apa yang paling menarik selama menjadi TA DPR?”
MYN: “Ya setiap rapat, kita TA ikut memantau secara tidak langsung karena kita tidak bisa ikut di dalam rapat. Dan mungkin kalau ada perdebatan agak sengit yang kita dengar setelah selesainya, ya itu bagian menariknya….”😃
SNC: “Seberapa besar peran TA utk membantu tugas-tugas anggota DPR?”
MYN: “Pada dasarnya Anggota DPR juga sudah dibantu secara kolektif oleh TA Komisi. Jadi peran TA Anggota gak terlalu berat.”
SNC: “Oh, jadi koordinasinya dengan TA komisi ya… Kendala apa atau tantangan apa dalam mengerjakan tugas-tugas TA anggota DPR?”
MYN: “Ya, harus rajin browsing dan cari berbagai informasi, sih. Cuma sejauh ini bisa dilakukan secara mandiri lewat gadget dan secara WFH.”
“Gak ada kendala sih…. Fine fine aja. Tidak berat asal kita menikmati dan punya passion terhadap politik dan isu hukum.”
“Yang berat banget adalah harus rajin baca draft RUU 😅 Aduh draf RUU kan, itu semua rata-rata tebal banget.”
SNC: “Apakah TA juga berperan memberikan masukan-masukan atau kritik draft RUU tersebut? Satu lagi, apakah TA juga punya peran saat anggota DPR reses?”
MYN: “Iya dong berperan. Syarat TA itu standarnya harus S2 dengan kemampuan analisis. Jadi kita harus bisa kasih masukan.”
“Oh iya harus. Terlepas kerja-kerja secara intelektual, TA harus mampu menggelar acara pertemuan reses atau pertemuan dengan pihak manapun. Termasuk mitra-mitra Komisi III di daerah.”
“Cuma saya pribadi lebih banyak penempatan di kantor DPR, sementara 4 TA lain bertempat di Dapil dan bertanggung jawab terhadap acara-acara di Dapil (Daerah Pemilihan, red.).
SNC: “RUU apa di komisi ini yang sempat ramai, atau bahkan didemo penolakan pengesahannya? RUU KUHP?”
MYN: “Iya KUHP. Cuma saat tahun 2019 sudah rampung pembahasan di periode sebelumnya. Jadi saya belum sempat ikutin prosesnya.”
SNC: “Lalu, RUU apalagi yang pernah dapat tentangan dari publik?”
MYN: “Dari Oktober 2019 s.d tahun ini belum ada. Karena belum banyak lanjutan pembahasan RUU. Mungkin karena pengaruh pandemik juga.”
SNC: “RUU KPK, juga bukan di masa itu ya? Periode lalu ya?”
MYN: “Periode lalu. Sebelum Pemilu 2019.”
SNC: “Ada gak anggota DPR yang ngeselin?”
MYN: “Kalau pengalaman saya, pimpinan saya sih orangnya baik dan lurus saja. Jadi gak ribet.”
“Ya, kalau personality orang memang beda-beda. Itu mah biasalah….”
Di sela-sela kesibukannya yang bertumpuk, Maeda menyempatkan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari redaksi melalui layanan percakapan.
Sosok Maeda sebenarnya bukan orang baru di politik. Meski masih muda, ia telah berkecimpung di aktivitas politik sejak ia masih studi di Universitas Indonesia pada tahun 1998. Ia turut menjadi salah satu aktivis KBUI, lalu ia berjuang di arena poltik lewat Partai Rakyat Demokratik.
S. Maeda Yoppy Nababan, setelah menyelesaikan studinya di Jurusan Sastra Jerman UI, tidak lantas masuk ke dunia kerja dan memilih karir profesional, ia meneruskan kuliah hingga meraih gelar S2 dari Sekolah Tinggi Teologi Driyakarya untuk jurusan Filsafat, setelah sebelumnya ia sempat mengenyam studi di Ilmu Politik dan Sosiologi.
Tahun-tahun di masa studinya itu ia terus gunakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk terus berjuang di kalangan masyarakat kecil.
Sebut saja dari mulai kaum buruh yang menuntut hak-haknya seperti upah dan hari libur, advokasi kelompok masyarakat kecil, hingga membangun jaringan UMKM bagi kaum perempuan lewat ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil).
Perempuan kelahiran Kutacane, Aceh Tenggara tahun 1979 ini akhirnya berhasil mengembangkan kerajinan tenun menjadi salah satu produk yang diunggulkan dari kerajinan kaum perempuan dalam membantu ekonomi rumah tangga mereka.
Tenun tradisional dijadikan produk yang langsung dapat digunakan kaum perempuan yakni tas, sepatu, clutch, dompet dan aksesori lainnya. Hingga ia membawa tenun-tenun Indonesia ke kota mode dunia, Milan, Italia.
Dalam suatu acara Konferensi Internasional, perempuan muda yang sempat mengenyam pendidikan Public Relation di Interstudi ini tak segan berinisiatif untuk menggelar Pameran Tenun Indonesia.
Alhasil aktivitas “perempuan pejuang jalanan” ini menginspirasi Ayu Utami menuliskan naskah film Rumah Maida yang sempat dirilis di tahun 2009 dengan dibintangi Atiqah Hasiholan dan disutradarai oleh Teddy Soeriaatmadja.
Saat Pemilu 2019 Maeda juga merupakan anggota Komite Pemenangan Pemilu DPP PDIP. Melakukan blusukan door to door, sudah tidak asing lagi baginya yang sempat menjadi Senior Investigator di sebuah perusahaan riset.
Perjuangan Maeda yang selalu membela kaum terpinggirkan yang kerap mendapat perlakuan tak adil dari oknum penguasa, daerah maupun pusat, kini tak lagi ia lakukan di jalanan. Kini Maeda berjuang melalui perannya sebagai TA di DPR RI, masuk ke dalam bagian dari sistem politik demokrasi di Indonesia.