Penulis: Fathul Karim Amrullah
Berkali-kali Rakyat bingung melihat langkah-langkah Jokowi di tahun pertama periode keduanya saat ini. Banyak yang melihat keberanian, ketegasan dalam kebijakan Jokowi berbeda dengan periode pertamanya.
Di periode pertama Jokowi melakukan reshuffle menteri pertama kali tanggal 12 Agustus 2015 sekitar 10 bulan setelah pelantikan. Reshuffle ini sontak membuat menteri yang tidak kena reshuflle dan menteri baru menjadi lebih berhati-hati dalam berbicara dan membuat kebijakan. Melalui reshuffle pertama ini Jokowi secara terbuka seolah menyampaikan pada seluruh menterinya bahwa “Saya adalah Presiden dan kalian pembantu yang bisa saya berhentikan kapan saja”.
Dalam sisa waktu periode pertama Jokowi masih lakukan 3 kali lagi perombakan kabinet. Benar-benar Jokowi menyisir satu per satu menterinya setiap saat. Tidak benar, Pecat! Tidak patuh, Pecat! Membangkang, Pecat! Ketegasan luar biasa…, keberanian di atas rata rata!
Bagaimana periode ke dua? Berbagai kebijakan menteri terlihat amburadul dan berantakan. Mulai dari serapan anggaran, kebijakan penanganan covid dan kebijakan lain terlihat kacau balau dan tidak terkoordinasi dengan baik.
Kalau dalam periode pertama Jokowi tidak marah tapi langsung reshuffle, di periode ke dua Jokowi sudah sekitar lima kali memarahi menterinya tapi tidak kunjung berani dan tegas lakukan reshuffle. Akibatnya para menteri terlihat semena-mena dan Jokowi tampak diremehkan oleh menteri menterinya. Bahkan ada menteri yang secara terang-terangan tanpa malu-malu mempromosikan dirinya untuk kepentingan 2024 juga dibiarkan Jokowi walaupun sesungguhnya pembiaran itu sangat buruk bagi soliditas kabinet. Kabinet tidak lagi berkompetisi dalam kerja tapi berkompetisi dalam citra. Bobolnya kesalahan dalam penulisan pasal dan ayat Omnibus Law di sekneg menjadi satu bukti lagi bahwa Jokowi sudah dikhianati berkali kali oleh orang di sekelilingnya.
Kembalinya HRS dan rangkaian peristiwa terkait berikutnya membuat rasa kehilangan Jokowi yang dulu, semakin tebal di para pendukungnya. Banyak pendukung Jokowi yang dulu di garda depan sekarang memilih diam. Beberapa seperti Tompi justru terang terangan tidak mau lagi membela Jokowi. Relawan 99% bungkam saat Jokowi diserang kiri-kanan.
Tidak kurang dari 7 hari HRS melakukan konsolidasi massa dan elit berkali-kali. Mulai dari penjemputan, acara di Tebet, di Gadog, Mega Mendung hingga acara pernikahan anaknya menjadi momentum dimana HRS tidak saja mempertontonkan jumlah pendukung tetapi juga melakukan konsolidasi massa dan elit secara bersamaan.
Kapolri bertindak tegas, pasca 4 giat HRS yang mengumpulkan massa dan melanggar protokol kesehatan kapolda DKI dan Jabar serta beberapa Kapolres segara diganti. Tapi menteri lain yang diberi kewenangan menjadi ketua pelaksana penanganan PEN dan Covid 19 justeru membiarkan satgas Covid-19 membagikan 20.000 masker dan sanitizer di acara HRS. Secara politik pembagian masker gratis di acara yang jelas melanggar Protokol Kesehatan bisa dikatakan merupakan bentuk dukungan pada berlangsungnya acara itu.
Pembagian masker di acara HRS oleh satgas Covid-19 itu bukan saja merupakan bentuk dukungan pada acara yang ternyata marak dengan ujaran-ujaran yang melecehkan negara dan pemerintahan tetapi juga langkah yang menyakitkan bagi ribuan dokter dan tenaga kesehatan yang bertaruh nyawa selama ini.
Apakah Erick Thohir berani menjelaskan kenapa ia membiarkan jajaran di bawahnya membagikan masker gratis di acara itu lalu memberi sanksi tegas dan berani seperti yang di lakukan Kapolri pada jajaran Polda dan Polres.
Penjelasan Erick Thohir semoga bisa menjelaskan banyak hal termasuk apakah kesamaan tagline “AKHLAK” antara HRS dan Erick di BUMN hanya suatu kebetulan belaka bukan bagian dari konspirasi.
Kediri, 17 November 2020
Fathul Karim Amrullah
#LawanMusuhNKRI
#TolakRadikalisme
#JagaJokowi
#BersihkanBrutusKabinet
#DukungNikita