Bhakshak

Gambar ilustrasi: koran tempo

Penulis: La Ode R. Firmansyah

Sejak sore hingga malam ini saya tidak beranjak dari depan televisi, tapi sama sekali tidak menonton TV berita lokal, melainkan menyaksikan NVL, liga volley antar negara di channel rutin saya, Spot TV.
Kebetulan pas tayangan tim volley Turkiye vs Chinna.

Sekalipun mungkin ini tontonan ulangan yang ke-10 kalinya, saya tidak pernah bosan menyaksikan tim favorite saya yang beranggotakan Vargas, Karakurt, Gunes, Baladin, Aydin, Erdem, Ozbay tersebut beraksi.

-Iklan-

Setelah itu saya lanjut menonton film di Netflix, drakor action, Shop for Killer, episode 7 dan 8. Kemudian saya mencari tontonan baru 2024.

Sementara mencari-cari di Netflix, anak bungsu saya, generasi terakhir millenials, yang duduk di sebelah saya bergumam, “Kasihan…..” Sambil menyaksikan layar HP-nya.

Rupanya ada tayangan di reel IG-nya, tentang kegiatan Kamisan, yang konsisten dilakukan oleh keluarga korban pelanggaran HAM, dalam hal ini ibu Maria Sumarsih, ibunda alm Wawan.

Saya tanya, “Kenapa Ca?”

“Iya kasian banget makin gak jelas nasibnya….”

Saya tau maksud anak saya, tarikan nafas dan mata berkaca-kaca itu terhubung dengan hasil QC pilpres yang di luar dugaan, lebih tepat di luar harapan.

Semalam anak saya ini mengeluh sakit kepala, karena stress tidak bisa menerima kenyataan kemenangan yang semudah itu. Selama ini diam-diam dia merasa benar, lalu dalam hitungan menit dia merasa salah karena merasa sudah benar..

Saya menanggapi singkat, “Iya, sekarang tidak ada lagi batasan, antara yang salah dan yang benar, karena obyektivitas nilainya sudah hilang”.

Tentu dia paham bapaknya merujuk pada pelanggaran etika berdemokrasi dan konstitusi oleh hakim MK.

“Iya pah, sekarang makin gak ngerti bisa apa, karena semua aturan bisa dilanggar,” ujarnya seraya berdiri dan masuk ke kamar.

Saya melanjutkan mencari-cari film di Netflix tapi karena tidak ada yang sreg saya iseng klik film baru India berjudul Bhakshak.

Awalnya agak datar dan membosankan, apalagi latar dan tema film India, bertema “polisi India” atau kriminal, kerapkali menampilkan kondisi kehidupan dan lingkungan yang miskin dan jadul.

Ternyata, makin lama makin asyik, apalagi ditemani kopi susu gula aren dari cafe dekat rumah dan kacang garing empuk dari Palangka Raya.

Kisahnya sederhana sekali, tentang “tantangan informasi” yang bisa menguntungkan dan melambungkan nama seorang jurnalis perempuan idealis, apabila dia berani mengambil informasi itu untuk menjadi bahan pemberitaannya.

Sang jurnalis ini berhadapan dengan seorang tokoh masyarakat pemilik sebuah panti asuhan yang sudah 2 bulan dilaporkan tanpa ada tindak lanjut dari pihak yang berwenang.

Mudah ditebak, perjuangan sang jurnalis berliku, berhubungan dengan birokrasi dan pejabat kepolisian dari tingkat bawah sampai atas, bahkan sampai ketua menteri-menteri.

Akhirnya perjuangan sang jurnalis berhasil, tokoh penjahat utama, sang bhakshak berhasil ditaklukan, ditangkap polisi.

Kisah konspirasi, kolusi dan relasi kekuasaan yang amat sederhana dan klasik sekali, tidak seribet konspirasi tingkat tinggi di negeri konoha.

Perbedaannya, perjuangan sejenis oleh banyak pihak di negeri Bumi Kepatutan tidak kunjung selesai, karena tidak ada inspektur polisi India di sini.

Bukan film India kalau tidak ada lagunya.
Menjelang ending film, terdengar lagu syahdu ala India yang terjemahan pada bagian akhirnya tertulis, “Kita juga bertanggung jawab sampai batas tertentu.”

Lalu jelang akhir film ada pertanyaan dari bintang utamanya, “Apakah kalian lupa merasa sedih untuk orang lain? ”

Walaupun tema film ini bukan tentang pertarungan kekuasaan politik atau konspirasi tingkat nasional tapi hakikatnya sama, bahwa di setiap episode kehidupan sosial politik, tak ada satupun adegan yang bisa lepas dari tanggung jawab kita.

Dari sejak buka HP hanya untuk posting sticker “Selamat pagi”, sampai dengan bersusah payah meneliti identitas caleg dan capres di kertas suara, semuanya mengandung resiko.

Teringat ucapan cak Lontong 3 Februari lalu, “Jangan takut kalah, tapi takut kalau salah”.

Alhamdulillah, puji Tuhan, walau sedih dan kecewa, tak ada sedikitpun rasa menyesal karena sudah memilih figur-figur yang benar, bukan Bhakshak.

La Ode R. Firmansyah

(Bhakshak dari bahasa Hindi yang artinya pemakan, atau eater dalam Bahasa Inggris, red.)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here