Penulis: Dahono Prasetyo
Sosok fenomenal yang satu ini memang sengaja mempersilahkan dirinya “diserang” oleh publik. Pernyataan kontroversial sengaja dilontarkan untuk strategi “playing victim”.
Anies butuh traffict popularitasnya terjaga, selalu jadi bahan pembicaraan berasumsi positif ataupun negatif. Fanatisme pendukungnya sudah membatu, bahkan siap “berjihad” jika itu jadi doktrin membela Gubernur Ibukota dengan APBD Rp82 triliun itu.
Ini hanya persoalan pragmatis yang dikemas perseteruan dua kubu besar. Anies mesti menunjukkan keberpihakannya pada kelompok yang sudah mendukungnya. Mereka yang selama ini sudah dibina dengan massif dan sistemik lengkap dengan asupan dananya.
Stadion JIS yang seharusnya menjadi karya kebanggaan seluruh penghuni negeri, di otak strategi Anies dimodifikasi menjadi seolah-olah sebuah perebutan kepemilikan. Publik akhirnya paham apa yang sebenarnya terjadi dalam proses pembangunan stadion tercanggih di Asia Tenggara tersebut. Banyak jasa dan sumbangsih pendahulu Anies yang hilang terkubur hanya dengan satu klaim pernyataan.
Anies dan BTP ibarat bumi dan langit. BTP membangun sarana dan prasarana ibukota dengan skema CSR sebuah terobosan briliant yang mengancam kelangsungan hidup tikus-tikus koruptor. Pengusaha yang “dipalaki” BTP sudah sepakat, namun itu artinya menutup matapencaharian tikus-tikus anggaran.
Di bawah kepemimpinan Anies, apapun pembiayaan proyek DKI dikembalikan ke pos APBD, karena di situlah lumbung proses kolusi terjadi massif. Pembelanjaan rutin jadi proyek banca’an yang dilegalkan secara struktural. Puasa korupsi saat BTP menjabat, di bawah kepemimpinan Anies jadi penanda bedug buka puasa, membabi buta menyantap kue takjil proyek-proyek.
Anies menjadi dewa penyelamat periuk nasi gerbong penjahat anggaran.
Di DKI Anies sudah membuktikan janjinya. Kemudian beringsut dengan janji lebih besar lagi yaitu Indonesia. Siapa penjahat dari dalam maupun luar negeri yang tidak ngiler dengan tawaran tersebut?
Inilah potensi gerbong dukungan logistik yang siap mengembalikan demokrasi Indonesia mundur 30 tahun lagi. Kembali di era orde baru dimana tuduhan oligarki yang disematkan kepada Pemerintah Jokowi, justru sedang direstorasi ulang oleh Anies.
Ini bukan lagi masalah warga Jakarta. DKI sebagai Pilot Project-nya yang akan diterapkan Main Project-nya di Indonesia. Anies sudah mempersiapkan strategi antisipasi saat skema manajemen pengelolaan daerahnya diserang.
Sebagai eksekutif, Anies sudah mengkondisikan simpul-simpul legislatif. Kepolisian, Kejaksaan bahkan KPK untuk urusan kasus-kasus di DKI lebih memilih “wait and see”. Betapa mereka tidak berdaya di bawah politik identitas yang dijalankan menjadi “sihir” yang menakutkan untuk dilawan. Trauma “7 juta” umat mengepung Monas masih membekas, kalau bukan Jokowi yang meredam Indonesia sudah menjadi Suriah kala itu.
Jika tidak ada aral melintang, Gubernur JIS akan maju menjadi CaPres JIS juga. Siapapun lawannya pada secara realistis saya tidak peduli. Yang penting berjuang berupaya menggagalkan Anies menang.
Itulah jihad menyelamatkan NKRI yang sesungguhnya. Bukan jihad menyelamatkan Agama yang sedang dipinjam Anies untuk bermain-main politik.
Kita bukan benci Anies, cuma capek diam aja.
Gitu kan?
Dahono Prasetyo
6/5/22