Catatan Astina
Setelah saya libur sekitar 5 hari tidak menulis, beberapa kawan meminta saya tetap menulis. Selama libur lima hari itu memang saya tidak aktif mengirim tulisan ke teman-teman wartawan dan aktivis kemanusiaan. Libur menulis itu saya lakukan untuk meredam kondisi psikologis yang agak tinggi yang saya rasakan beberapa hari terutama setelah mendapat kabar beberapa kawan wafat di tengah wabah Covid-19. Saya kaget dan sedih sudah beberapa sahabat meninggal dunia akibat Covid-19. Setidaknya sejak Maret-April 2020 ini sudah ada 8 orang sahabat wafat. Terutama pada tanggal 5 April saya mendapat kabar sekaligus 2 orang kawan saya meninggal dunia. Mereka semua adalah orang-orang yang saya kenal baik dan sering bekerja sama, terutama dalam kegiatan kemanusiaan. Semua mereka wafat dan dalam hiruk-pikuk dunia melawan Covid-19. Darurat Covid-19 ini sudah sedemikian parah dan perlu kerja keras dan serius serta perlu keterlibatan semua pihak untuk bergandeng tangan melawan bencana wabah Covid 19.
Beberapa kawan mengirim pesan singkat kepada saya berisikan informasi, pertanyaan dan kritik atas kerja melawan wabah Covid-19. Ada macam-macam isu yang disampaikan kepada saya, semisal belum adanya pembagian masker kepada warga yang dijanjikan oleh gubernur Jakarta Anies Baswedan pada 30 Maret 2020. Begitu juga ada kawan yang bertanya soal distribusi bantuan sosial pemerintah pusat di Jakarta. Saya bertanya kepada seorang RT di tempat saya tinggal di Jakarta Timur ternyata sampai kemarin belum ada informasi atau perintah dari kelurahan untuk melakukan pendataan untuk pendistribusian bantuan sosial bagi warga miskin yang terdampak lebih buruk dari darurat Covid-19. Ada juga seorang kawan wartawan yang mengeluhkan dan bercerita mengenai sikap para pengelola sekolah swasta di Jabodetabek yang kurang peka terhadap dampak dari darurat Covid-19 yang dialami para orang tua dan guru di sekolahnya. Teman wartawan itu meminta saya untuk menulis isu sekolah itu agar pihak pengelola sekolah swasta terketuk hati nuraninya, mau mengurangi uang sekolah siswa dan tidak memotong pendapatan gurunya.
Hari ini saya mencoba menulis kembali setelah liburan tidak menulis. Kebetulan pagi ini saya menyaksikan berita pagi di sebuah televisi swasta. Dalam beritanya itu, dikabarkan bahwa para pengusaha yang tergabung di KADIN menggalang bantuan bersama Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia untuk membantu masyarakat Indonesia dalam memerangi wabah Covid 19.
Para pengusaha dan Yayasan Buddha Tzu Chi itu menargetkan bantuan hingga Rp 500 milyar akan diberikan kepada pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan wabah Covid-19. Bantuan itu diberikan juga dalam bentuk alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis, masker dan sarana lainnya untuk menangani percepatan penanganan Covid-19. Kerja sama dan bantuan yang diberikan oleh para pengusaha bersama Yayasan Buddha Tzu Chi menunjukan sikap peduli dan bela rasa, keprihatinan korban Covid 19 dan persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Sejak awal memang yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia sangat terlibat dan langsung banyak memberikan bantuan kepada masyarakat Indonesia. Keterlibatan luar biasa Yayasan Buddha Tzu Chi bukan hanya di Indonesia tetapi ada di banyak negara lain. Mereka sebagai sebuah jaringan hebat sekali bukan baru sekarang. Setidaknya sudah sejak lama, Buddha Tzu Chi menolong setiap penderitaan umat manusia. Begitu pula, yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia setidaknya sudah 54 tahun (berdiri tahun 1966 di Indonesia) terlibat membantu, menolong masyarakat miskin dan menderita di Indonesia.
Sudah banyak umat manusia di dunia yang dibantu oleh organisasi Buddha Tzu Chi. Begitu pula ketika dunia mengalami bencana luar biasa Covid 19 ini mereka terlibat bukan hanya di Indonesia. Begitu pula bantuan yang masuk ke Indonesia juga banyak dari organisasi Buddha Tzu Chi Internasional.
Pengalaman sulit oleh Covid-19 ini memang cukup panjang dan terjadi secara global atau mendunia. Cukup banyak kesedihan dan pengorbanan yang diberikan oleh pengalaman sulit dan sedih sekarang ini. Namun kehadiran dan keterlibatan banyak pihak dalam membantu dan menggerakan hati setiap orang yang berkehendak baik.
Tidak ada lagi batas atau sekat atau menjual agama dalam membantu sesama yang menderita.
Pengalaman sulit yang panjang ini telah mengajari kita bahwa kita adalah sesama yang saling tolong menolong tanpa sekat, agama, suku, bangsa dan ras. Sekarang kita, bangsa Indonesia disadarkan bahwa kita adalah semua sama dan merasakan penderitaan – kesulitan yang sama maka sudah seharusnya saling tolong menolong, meringankan beban dan keuar dari bencana Covid-19 ini bersama-sama. Melalui sikap bela rasa dan keberpihakan para relawan dan bantuan yang diorganisir lalu disalurkan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia ini kita nilai-nilai kehidupan yang indah:
1. Keberpihakan yang disalurkan oleh organisasi Buddha Tzu Chi mengajarkan kita nilai cinta kasih yang nyata. Pengorbanan dan pertolongan yang disalurkan memberikan makna bahwa cinta kasih ada di tengah sesama yang membutuhkan karena sedang menderita. Cinta kasih melampaui batas apa pun, termasuk diri kita sendiri. Para relawan Buddha Tzu Chi bukan juga sedang tidak menderita akibat wabah Covid-19. Mereka para relawan Buddha Tzu Chi itu sama seperti kita sedang menderita juga akibat wabah Covid-19. Mereka relawan dan tentu melakukannya atas kesadaran ingin membantu dan menolong, inilah wujud nyata ajaran Cinta Kasih yang juga menjadi spirit Buddha Tzu Chi. Cinta Kasih adalah untuk semua sesama, seluruh masyarakat Indonesia tanpa membedakan status sosial, suku agama, bangsa dan ras. Yayasan Buddha Tzu Chi menerima bantuan dari siapa pun yang berkehendak baik dan menyalurkan bantuan tersebut kepada semua orang yang membutuhkan bantuan.
2. Lihat juga pesan yang ditampilkan para relawan Buddha Tzu Chi ketika memberikan atau menyampaikan bantuan itu, baik disampaikan kepada pemerintah atau pun si korbannya atau yang menderita membutuhkan pertolongan. Para relawan Buddha Tzu Chi menyampaikan bantuan dengan menundukan badan serendah mungkin. Melalui tampilan yang ditunjukan para relawan Buddha Tzu Chi ingin membawa kita pada kecintaan menolong sesama yang menderita sebagai kesempatan berharga diberikan oleh Sang Pencipta, Tuhan Allah. Menolong sesama yang miskin dan menderita adalah sebuah berkat kesempatan untuk bersyukur. Para relawan ingin menunjukan rasa syukur atas berkat yang telah mereka terima sebelumnya dari Sang Pencipta, Tuhan Allah dengan menolong sesama. Mereka menghormati para korban atau yang membutuhkan pertolongan sebagai sesama yang patut dihormati dan dihargai. Cara penghormatan dengan menunduk menyembah itu mau mengajak kita merasakan sikap menghormati para korban atau sesama yang menderita. Melalui para korban dan sesama yang miskin menderita kita bisa bersyukur dan berterima kasih atas berkat yang sudah kita terima sebelumnya. Sikap para relawan yang menghormati para korban atau orang menderita itu adalah nafas pelayanan mereka para relawan Buddha Tzu Chi. Sebagai relawan mereka tidak digaji oleh yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Ketika mereka pergi ke medan pelayanan, mereka membayar ongkos sendiri dan penginapan bayar sendiri. Seragam yang digunakan oleh relawan pun mereka beli dengan uang sendiri. Begitulah semangat dan spirit Cinta Kasih, Melayani, Berkorban, Bermakna para relawan Buddha Tzu Chi.
3. Para pendonor atau pemberi sumbangan melalui Buddha Tzu Chi ini percaya betul kinerja dan semangat pelayanan para relawan Buddha Tzu Chi yang sudah teruji secara global. Semua relawan sama perilaku dan spiritnya walau dia berada pada Buddha Tzu Chi di mana pun juga. Baik relawan di negara maju maupun di negara miskin sama perilaku dan spiritnya. Bukan tidak ada organisasi sosial lain di Indonesia. Banyak sekali, bahkan ribuan tetapi yang dipilih adalah yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Yayasan Buddha Tzu Chi selalu berusaha hadir dan ikut membantu di dalam bencana termasuk di Indonesia. Satu lagi hebatnya, yayasan Buddha Tzu Chi ini telah membuka hati dan pikiran para pemberi bantuan atau donor juga masyarakat dalam menyikapi situasi bencana atau darurat seperti wabah Covid-19. Kita diajak terbuka hati nuraninya dan pikirannya bahwa dalam situasi bencana atau darurat seperti sekarang adalah menyelesaikan kondisi darurat atau emergensinya lebih dulu. Tanpa banyak diskusi dan berteori mari memberi bantuan darurat untuk menyelesaikan situasi penderitaan daruratnya agar para korban tertolong dan bencana dapat diselesaikan secara tuntas. Barulah setelah penangan darurat itu dilakukan, kemudian kita berpikir untuk lakukan pemulihan secara sosial dan ekonomi para korban atau negeri ini. Apabila wabah ini berkepanjangan maka kita semua yang akan alami bencana berkepanjangan dan hancur secara sosial juga ekonomi. Jadi yang harus kita lakukan pada tiap situasi darurat atau bencana adalah melakukan tindakan bantuan darurat atau emergensi dulu, baru kemudian pemulihan sosial ekonomi.
4. Satu lagi yang saya juga mau sampaikan tentang simbol menunduk menghormati korban dan sesama miskin menderita yang dilakukan para relawan Buddha Tzu Chi. Saat melayani mereka menunduk rendah, menyembunyikan wajah mereka atau menyembunyikan pribadi dan tidak mengibarkan bendera organisasi atau bendera politik. Wajah mereka saja berusaha direndahkan, siapa mereka sebenarnya kita tidak tahu. Artinya bagi para relawan Buddha Tzu Chi itu bukan tujuan dan popularitas bukan tujuan hidup pelayanan mereka. Para relawan Buddha Tzu Chi sudah tidak perlu lagi dengan popularitas pribadi. Apalagi mengibarkan bendera politik, apalagi bendera agama, apalagi bendera status sosial. Relawan Buddha Tzu Chi itu berasal dari berbagai bangsa, berbagai suku, berbagai agama dan dari berbagai strata sosial.
Ya inilah, yang bisa saya bagikan dari pengalaman penglihatan saya terhadap kegiatan bantuan darurat Covid-19 yang disampaikan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia kepada pemerintah Indonesia serta para korban dan sesama yang miskin menderita.
Secara pribadi saya sudah mengenal Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia sudah cukup lama. Sudah sekitar 4 tahunan saya mengenal, memperhatikan dan menyaksikan langsung bagaimana Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dan pada relawannya berkarya di bumi Indonesia. Sampai sekarang saya mengatakan beruntung kita di Indonesia memiliki Yayasan Buddha Tzu Chi dan para relawannya.
Beberapa warga miskin di Jakarta yang saya dan teman FAKTA dampingi juga merasakan bantuan hidup dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Semangat mereka jauh dari hiruk-pikuk politik kekuasaan. Tetapi cara mereka berkarya dan melayani sesama yang menderita adalah model gerakan politik. Melalui cara pendekatan atau strategi pelayanan organisasi Buddha Tzu Chi dan para relawannya jelas sangat politis kemanusiaan yakni tolong dulu manusianya baru pikirkan dan lakukan perubahan kebijakan membangun manusia selanjutnya.
Ya, tentu langkah memberi bantuan darurat lebih dulu yang harus dilakukan saat menangani situasi darurat atau bencana seperti wabah darurat Covid-19 seperti sekarang, yakni kita tangani, tolong dan bantu dulu agar manusianya bisa tetap hidup. Setelah bencana wabah Covid-19 selesai baru kita pikirkan membangun perubahan dan membangun manusia yang hidup selanjutnya. Apalah artinya strategi pembangunan atau kebijakan pembangunan yang dibuat dan dikeluarkan oleh pemerintah jika rakyat yang menjadi subyek atau tujuan pembangunan itu sendiri sudah punah karena mati di tengah bencana.
Ayo tolong dulu dan selesaikan dulu bencana Covid-19nya baru pikirkan yang lain selanjutnya. Hidup ini seperti air, mengalir saja. Mana yang lebih dulu dan prioritas maka itu dululah yang dikerjakan.
Pada Perayaan Kamis Putih.
Jakarta, 9 April 2020
Azas Tigor Nainggolan
Ketua Forum Warga Kota (FAKTA) Indonesia.