Bansos Pemilu Nyaris Rp 500 Triliun, Harga Beras Melambung Tinggi

“Uripe Ayem Nak Dhuwe Beras”

Penulis: Nurul Azizah

“Uripe ayem nak dhuwe beras,” itulah ucapan almah. ibu saat kami masih dipersatukan. Uripe ayem nak dhuwe beras itu istilah Jawa yang bermakna “hidupnya tenang kalau punya beras.” Unen-unen (kata-kata) itu saya pegang terus sampai sekarang. Saya dan keluarga selalu memiliki persediaan beras walau lauk seadanya. Hal ini telah dicontohkan oleh keluarga besar saya, yang tinggal di wilayah kecamatan Gubug Grobogan Jawa Tengah.

Saya dilahirkan dari keluarga pesantren dan bertani juga. Simbah saya walau seorang kepala desa pasti punya sawah yang ditanami padi. Untuk kebutuhan makan sehari-hari keluarga kami tidak pernah beli beras. Karena Simbah selalu punya persediaan padi yang ditaruh di lumbung padi di belakang rumah dekat dapur. Setiap beras habis, Simbah selalu menggilingkan padi (nyelep padi). Memisahkan kulit padi atau gabah menjadi beras warna putih. Karena Simbah menjadi Kepala Desa mempunyai hak untuk menggarap sawah milik desa seluas 11 hektar kala itu. Jadi kalau panen seluruh anak cucu dan beberapa orang yang ikut Simbah membantu panen hingga menjemur padi.

-Iklan-

Padi di tempat Simbah tak akan habis sampai panen berikutnya. Padahal sudah dimakan keluarga besar dari anak hingga cucu, kerabat dan warga yang membutuhkan beras. Keluarga kami kecukupan sekedar urusan perut. Ada ternak ayam dan kambing juga lahan untuk menanam sayur dan buah-buahan. Alhamdulillah kami keluarga besar hidupnya tenang (ayem). Pola hidup yang diajarkan Simbah saya yang punya sawah dan kebun serta ternak untuk ketahanan pangan keluarga kemudian ditularkan ke anak cucu.

Dari ajaran Simbah dilanjutkan oleh bapak dan ibu saya. Bapak juga punya sawah selain berwirausaha sambil ngajar ngaji ke masyarakat. Walau anaknya banyak tapi untuk urusan makan kami tidak kekurangan, ya karena punya sawah dan kebun sendiri.

Generasi saya sudah tidak punya sawah dan tidak bisa bercocok tanam. Karena kami tinggal di Semarang diberi kebebasan untuk menentukan nasib sendiri, tidak jadi petani. Dari sinilah keluarga kecil saya selalu beli beras untuk kebutuhan sehari-hari. Sawah yang dimiliki oleh bapak dan ibu dijual untuk biaya kuliah dan biaya kami berkeluarga. Mulai dari sinilah ajaran Simbah terputus. Generasi saya sudah tidak bisa jadi petani, tidak bisa bercocok tanam, tidak bisa panen padi lagi. Kami mengandalkan persediaan beras dari membeli di pasar. Generasi kami sudah tidak lagi jadi produsen padi, tapi jadi konsumen beras.

Tidak masalah kami sekeluarga mensyukuri masih bisa beli beras untuk makan sehari-hari. Saya selalu ingat pesan ibu saya, “uripe ayem nak dhuwe beras (hidupnya tenang kalau punya beras). Jadi kami selalu memprioritaskan pembelian beras diawal bulan, sebelum habis membeli lagi untuk stok.

Baru kali ini saya merasakan betapa sangat berharganya beras. Jum’at (23/2/2024) kami pergi ke minimarket di daerah Semarang, ingin membeli beras tapi kosong. Lebih dari 4 minimarket saya jumpai tidak ada barang yang namanya ‘beras.’

Barang satu ini benar-benar hilang dari rak-rak di minimarket yang menjadi langganan saya setiap bulannya. Saya jadi syok tampak pucat seakan-akan pasokan oksigen ke tubuh saya berkurang. Dalam hati saya bergumam, “waduh beras pada menghilang.”

Saya sampai keliling dari toko sembako satu ke lainnya. Belum mencoba ke pasar tradisional karena hari itu sudah siang. Alhamdulillah saya dapat beras di grosir dengan harga yang sudah berubah dari sebelumnya. Saya membeli satu sak (25 kg) untuk stok Ramadhan sekalian.”

Tapi harga mahal banget, untuk wilayah Semarang dari yang semula Rp 15.000/kg harga sebelum pilpres (14 Februari 2024) sekarang menjadi Rp 16.000/kg. Saya ngambil satu sak dengan harga Rp 385.000, ada selisih kalau beli satu sak. Ya Allah uang Rp 400.000 saya serahkan ke kasir tentunya ada kembalian.

Naiknya harga beras menjadi pukulan tersendiri bagi keluarga kami. Kami sudah tidak lagi ayem saat Simbah dan bapak ibu masih hidup. Mereka sudah tiada meninggalkan kami untuk selamanya. Beliau di alam kubur sana sedih melihat cucu dan keturunannya kesulitan mencari beras. Hidupnya sudah tidak damai lagi. Ada rasa was-was kalau nanti beras tidak ada lagi di pasaran. Kalaupun ada harganya melambung tinggi setinggi-tingginya.

Bayangan tidak ada beras di pasaran selalu menghantuiku. Anak-anak apakah mau makan selain nasi, saya pun belum makan kalau belum makan nasi. Keluarga kami belum terbiasa apabila fungsi nasi diganti mie, roti atau pizza.

Saat ini Indonesia sudah benar-benar terganggu kedaulatan pangannya. Beras yang menjadi makanan pokok sudah mulai hilang di pasaran. Masyarakat mulai resah dan raut wajahnya ada rasa ketakutan besuk mau makan apa. Penjual nasi goreng, nasi rames, nasi dengan aneka lauk sudah mulai gelisah juga. Cari berasnya ke mana, kalau di minimarket, supermarket dan di pasar stok beras menipis. Kalaupun ada harganya tinggi. Untuk beras berat 1 kg harus mengeluarkan uang Rp 16.000 belum beli lauk dan sayuran.

Semoga pemerintah segera mengambil tindakan dengan adanya kelangkaan beras di pasaran. Masyarakat yang kurang mampu tidak kuat membeli harga beras yang semakin melambung tinggi. Untuk keluarga kecil satu kg cukup untuk makan sehari. Tapi bagi yang anggota keluarga jumlahnya banyak mungkin sehari butuh 2-4 kg beras. Kalau sebulan berapa? Untuk saat ini bagi yang punya uang bisa beli langsung satu sak. Tapi bagi yang hanya mampu membeli beras secara eceran alias nempur. Sangat terpukul sekali. Setiap hari pasti keliling pasar untuk membeli semampunya. Semoga kondisi yang demikian segera berakhir normal lagi. Stok beras di pasaran tercukupi lagi, rakyat bisa membeli sesuai daya belinya.

Saya yakin dibalik langka dan mahalnya beras, ada oknum pengusaha yang bermain nakal. Beras sebenarnya tersedia banyak bahkan ada berton-ton di gudang tapi dikeluarkan sedikit demi sedikit dengan harga yang tinggi. Pembeli dipaksa mau membeli dengan harga yang dikehendaki oleh penjual yang nakal. Sampai kapan kondisi ini akan berlangsung? Rakyat sudah banyak menderita jangan ditambah lagi dengan langkanya beras di pasaran.

Nurul Azizah penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI.

Buku kedua karya Nurul Azizah. “Muslimat NU Militan untuk NKRI”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here