Apakah Peretasan Website KPU Dijadikan Bagian dari “Strategi Pemenangan”?

Penulis: Roger P. Silalahi

Berdasarkan siaran pers KPU dinyatakan bahwa telah terjadi “Kebocoran Data KPU”, terjemahannya adalah “Peretasan Data Peserta Pemilu melalui website KPU”, pada tanggal 27 November 2023 jam 15:00 wib. Pencurian di siang bolong ini menimbulkan banyak pertanyaan dan banyak kemungkinan di dalam otak Analis Keamanan Publik seperti saya.

Sejak terjadinya peretasan hingga saat tulisan ini dibuat (11 Desember 2023) belum ada langkah yang diberitakan diambil oleh KPU dalam kaitan dengan kasus ini. Ini menjadi pertanyaan besar bagi saya, karena seharusnya KPU mempunyai “business contingency plan” yang mumpuni dalam kaitan penanganan kasus semacam ini. Seharusnya ada langkah pasti yang diambil seperti misalkan; a. Menonaktifkan website yang ada; b. Mengaktifkan website cadangan; c. Melakukan investigasi forensik terhadap website yang lama, dll. Tidak satupun langkah dinyatakan diambil KPU sehingga terkesan dibiarkan begitu saja, dianggap sepi.

-Iklan-

Sang peretas atas nama Jimbo dengan jumawa mempublikasikan diri, menawarkan untuk menjual data KPU yang dicurinya. Jimbo bahkan menawarkan sample dari data yang ada di bawah penguasaannya. Tapi siapa yang akan membeli data itu, untuk kepentingan apa, dan bagaimana metode transaksinya? Sangat gamblang bahwa data yang dicuri adalah data KPU, kaitannya jelas dengan pemilu, tapi untuk apa data itu, apa yang bisa dilakukan dengan memiliki data itu?

Dari hasil penelusuran, Jimbo memberikan sample data yang jelas telak membuktikan bahwa data memang benar dicuri dari KPU, bukan dari lembaga lain. Sample data yang diberikan Jimbo valid, dan sample data itu diberikan bahkan secara cuma-cuma, 500 data. Apakah ada yang akan membeli data itu? 204.807.222 data pemilih ditawarkan seharga 1,2 milyar, terlalu murah rasanya. Bukan itu yang diincar Jimbo.

Jimbo sebenarnya sedang menawarkan hal lain, dengan harga yang jauh lebih besar dari sekedar 1,2 milyar. Jimbo sedang menawarkan pemenangan pemilu, dan menanti Tim Pemenangan Nasional 3 pasangan Capres Cawapres menghubungi dirinya. Jika Jimbo bisa mengambil data, maka tidak sulit untuk Jimbo mengubah data, paham maksud saya?

Hacker alias peretas tidak pernah mencuri tanpa meninggalkan tanda mata. Tanda mata dimaksud dapat saya jelaskan seperti semacam “remote control” yang akan membukakan pintu bagi sang peretas untuk membuka dan menutup brankas besi dari data yang dicurinya kapanpun dia mau. Akses masuk ini dikenal dengan sebutan “back door” yang akan memberikan akses pada peretas melalui “back end”, apapun bisa dilakukannya.

Jimbo sudah masuk dan pasti sudah memasang remote control nya di sana, keluar dan masuk website KPU bukan masalah untuk Jimbo. Mengubah desain website, menampilkan berbagai hal di website, hanya hal kecil untuk Jimbo. Yang ditawarkan Jimbo adalah mengubah data hasil pemilu, dan harganya pastilah trilyunan rupiah. 1,2 milyar, hanya umpan, dengan harapan ada yang gigit umpannya untuk selanjutnya membuat “deal” sebagaimana yang diinginkannya.

Yang menarik adalah bagaimana Kementerian Kominfo tidak ditemukan berkomentar sama sekali terkait kasus ini di media mainstream. Seharusnya Kemenkominfo adalah pihak yang dengan mudah bisa melakukan banyak hal. Kemenkominfo mampu mengganggu medsos, mampu menghilangkan postingan, mampu menyegel nomor, maka pastilah mampu mengendus peretas, bahkan menangkap Jimbo. Tapi kenapa diam…???

Apakah ada kendala yang mungkin timbul dalam usaha penangkapan Jimbo? Saya pikir seharusnya tidak ada kendala, yang paling mungkin adalah gerakan senyap menangkap Jimbo sudah terjadi. Jimbo kemungkinan besar sudah dihadapkan dengan pilihan masuk penjara atau “kooperatif”. Kasus didinginkan, dipastikan terlupakan oleh riuh rendah perseteruan antar paslon, lalu selanjutnya kemanangan tinggal diatur.

Kalau sampai dinyatakan Kemenkominfo bersama Kepolisian tidak sanggup menangkap Jimbo, maka apa gunanya pemilu, hasilnya bisa diatur semau Jimbo, semau Boss Besar yang “menguasai” Jimbo. Jika sampai pemilu Jimbo belum tertangkap dan diproses, maka kita sudah tahu siapa pemenang pemilu. Rakyat tidak bodoh walau terlihat seolah tidak punya kuasa menyaksikan permainan penguasa. Tapi Soeharto pun bisa dirontokkan, Hitler pun dipercaya berakhir bunuh diri, revolusi Perancis pun bisa terjadi, maka sekuat apapun penguasa akan bisa dirontokkan oleh rakyat.

Pengaturan, pembungkaman dan kesewenang-wenangan masih dilanjutkan, “chaos” di depan mungkin tidak terhindarkan. Kita berdoa untuk yang terbaik untuk Indonesia, tapi harus siap menghadapi pecahnya 98 yang kedua, kecuali penguasa berhenti “memperkosa” hak rakyatnya dan menghentikan kesewenang-wenangannya.

Kembali ke Jimbo. Tangkap, proses, dan pastikan Jimbo tidak mengatur pemenangan pemilu secara terbuka di hadapan publik, jika tidak, maka pemilu hanya akan menjadi dagelan dinasti kekuasaan negeri ini.

Roger Paulus Silalahi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here