Anies Baswedan Menghapus Sejarah, Membangun Eksklusivisme

Penulis: Roger P. Silalahi

Selalu buat kontroversi, selalu buat masalah, selalu senyum manis di atas penderitaan orang lain, itulah Anies Baswedan, orang yang akan diusung para penganut khilafahisme dan di-back up oleh penghamba uang dan kapitalisme tapi berkedok agamis di 2024 nanti.

Langkah-langkahnya melecehkan akal sehat, kata-katanya melecehkan intektualitas, dan apa yang dilakukannya melecehkan budaya, sejarah, bangsa, negara, dan Tuhan.

Kontroversi terkini yang dilakukannya adalah mengganti nama 22 jalan di DKI Jakarta, dengan alasan (yang dikemukakan) sebagai bentuk penghargaan bagi tokoh-tokoh Betawi.

-Iklan-

Seperti biasa, Anies tidak pernah malu berbohong di hadapan publik, seolah orang lain itu bodoh dan tidak mampu mencerna apa yang sedang dilakukannya.

Anies sedang menghapuskan sejarah, sedang mengaburkan pluralisme Jakarta, sedang membangun kekuatan religius, sedang membangun basis massa baru yang keseluruhannya ada dalam blue-print politik identitas andalannya untuk maju di 2024.

Nama jalan di Jakarta secara umum punya sejarah, dan keunikan nama jalan yang ada selama ini secara keseluruhannya menggaungkan toleransi yang seharusnya menjadi nafas kehidupan di Jakarta. Banyak yang tidak tahu asal muasal nama ‘Warung Buncit’, atau nama jalan ‘Pondok Gede’, dan nama lainnya. Dari berbagai sumber yang saya rangkum, berikut asal muasal nama beberapa jalan penting yang diganti Anies.

Jalan Budaya

Nama jalan Budaya terkait erat dengan sebuah legenda dan bertautan dengan wilayah Condet (Ci Ondet) dengan 3 kelurahan di dalamnya, yaitu Batuampar, Kampung Tengah (Kampung Gedong) dan Balekambang. Ada hikayat yang menceritakan bagaimana wilayah tersebut terbentuk, ada cerita perjuangan di dalamnya yang terlalu panjang untuk saya tuliskan di sini.

Jalan Warung Buncit

Jalan ini pernah diusulkan diganti namanya menjadi Jend. A.H. Nasution, tapi ditolak warga Betawi, lalu sekarang mau dijadikan jalan Hj. Tutty Alawiyah, mengerikan.

Penolakan warga Betawi didasarkan pada sejarah, dimana proses asimilasi warga Jakarta dengan warga keturunan Tionghoa terjadi di sini.

Persatuan dan saling bantu terjadi di sini. Kata Buncit sendiri didasarkan pada salah satu pedagang di sana yang perutnya buncit. Toko Pak Buncit terletak di Jalan Mampang Prapatan XIV dan XIII yang kini menjadi bangunan Yayasan Madrasah Sa’adutdarain.

Jalan Bambu Apus

Wilayah Bambu Apus punya nama karena pohon Bambu Apus banyak tumbuh di sana. Menurut legenda, konon Bambu Apus tersebut berasal dari Sumenep Madura yang dibawa salah satu keturunan Raja Sumenep yang bernama Kakek Setir. Ada asimilasi dan koneksitas antara Sumenep dan Jakarta, ada persatuan dan pluralisme sejak lama di Jakarta. Ini juga panjang jika saya tuliskan keseluruhan legendanya, tapi itu intinya.

Jalan Pondok Gede

Pondok Gede sendiri berdiri sebagai Gudang Logistik Pasukan Sultan Agung, bangunannya dari kayu dan sudah roboh, dibangun ulang dan menjadi Pondok Gede Mall. Nama jalan Pondok Gede terkait langsung dengan bukti sejarah keberadaan pasukan Sultan Agung, bukti perjuangan bangsa, sehingga menghapuskannya adalah pelecehan terhadap sejarah perjuangan bangsa, ini salah satu yang jelas tercium bau busuk di balik penggantian namanya.

Masih panjang lagi bila saya ulas semuanya, tapi yang pasti adalah pernyataan Anies yang mengatakan melibatkan ahli sejarah dalam pergantian nama merupakan sebuah kebohongan besar. Siapa ahli sejarahnya, tampilkan, sebutkan namanya, biar habis dia digerudug ratusan ahli sejarah lain di Indonesia. Mengatakan pakai saran dari pakar sejarah dalam halusinasi…? Mantan Menteri Pendidikan yang dipecat pada masa terjadinya pencetakan Al Quran yang dimanipulasi di kementerian yang dipimpinnya ini tidak paham sejarah.

Pelabuhan utama Jakarta pada masa lampau namanya “Sunda Kelapa”, jelaslah siapa sebenarnya penghuni Jakarta aslinya, orang Sunda. Jadi Anies berbohong kepada wakil rakyat dengan mengatakan sudah berkonsultasi dengan ‘Pakar Sejarah’. Tidak mungkin ‘Kaum Anti Sejarah’ menggunakan keahlian ‘Pakar Sejarah’ dalam mengambil kebijakan, yang mungkin adalah membayar (orang yang mengaku) ‘Pakar Sejarah’ bodoh untuk secara perlahan menghapuskan sejarah, terutama yang terkait dengan perjuangan kemerdekaan. Jas Merah, selalu mengingatkan kita akan pentingnya sejarah, mengingat sejarah, memahami sejarah, belajar dari sejarah.

Sejarah Indonesia mengenal DI/TII pimpinan Kartosoewirjo yang ditumpas habis karena mengusung hal yang sama dengan yang diusung HTI, bertentangan dengan Pancasila. Sejarah mengenal kehancuran Lybia, Irak, Suriah, Yemen, yang semua dirusak secara perlahan tapi terstruktur oleh gerakan-gerakan (yang terlihat) kecil, tapi dampaknya meluluhlantahkan negara-begara itu.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang menghargai perjuangan para leluhurnya, para pahlawannya, bangsa yang tidak akan pernah boleh lupa pada sejarah pembentukannya, termasuk sejarah pemberontak-pemberontak yang mencoba menghapuskan Pancasila. Indonesia adalah bangsa yang kuat, merdeka karena persatuan seluruh elemen bangsa yang beragam, bukan merdeka oleh agama.

Pergantian nama jalan ini adalah sebuah hal besar, sebuah usaha mengaburkan sejarah untuk kemudian menghilangkannya. Membangun eksklusivisme ‘ke-Betawi-an’ dengan menghilangkan hal-hal terkait fakta perjuangan dan legenda terbentuknya ‘Betawi’ itu sendiri, menonjolkan sisi ‘religius’ dari satu golongan tertentu, dengan menghapuskan kemajemukan dan ‘jasa’ golongan lain. Ini adalah sebuah kejahatan.

Eksklusivisme adalah akar dari pohon radikalisme yang bercabang terorisme, dan menghancurkan perdamaian serta kedamaian di lahan tumbuh kembangnya.

Tulisan ini dibuat sebagai himbauan bagi Anies untuk membatalkan pergantian nama jalan yang menyulitkan masyarakat luas dalam banyak hal, serta merupakan kejahatan terhadap sejarah Jakarta dan Indonesia, serta kejahatan terhadap bangsa dengan mengaburkan kebhinnekaan yang menjadi dasar terbentuknya bangsa ini. Jika tidak dibatalkan, maka saya yakin gelombang penolakan akan semakin besar dan dapat berujung pada class action atau hal lainnya.

-Roger P. Silalahi-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here