Penulis: Erika Ebener
Masih ingat film Avatar The last Air Bender yang menceritakan 4 suku yang ada di dunia, yaitu suku air, suku tanah, suku angin dan suku api? Pada cerita film itu, saat Ang bangun setelah 100 tahun terbungkus di dalam bola es, suku api adalah penguasa jagat raya. Ketiga suku lainnya, air, tanah dan angin menjadi suku jajahan.
Lain lagi dengan film “The Fifth Element” dimana 4 element, air, api, angin dan tanah, tak akan sempurna bekerja tanpa cinta dan cinta itulah element kelima.
Bagaimana dengan pernyataan Presiden Jokowi pada acara peringatan HUT RI ke 76 yang menyatakan:
“Krisis, resesi dan pandemic itu seperti api. Kalau bisa kita hindari, tetapi jika hal itu tetap terjadi, banyak hal yang bisa kita pelajari. Api memang membakar, tetapi juga sekaligus menerangi. Kalau terkendali, api menginspirasi dan memotivasi. Api menyakitkan, tetapi sekaligus juga bisa menguatkan. Kita ingin pandemic ini menerangi kita untuk mawas diri, memperbaiki diri dan menguatkan diri kita dalam menghadapi tantangan masa depan.”
1000% saya setuju dengan pernyataan Jokowi! What a smart analogy!
Dalam satu tahun setengah ini pandemic covid-19 sudah banyak mengubah budaya kita yang cukup konservatif.
Saya masih ingat saat menghadiri acara dengar pendapat antara honorer guru K2 dan anggota DPR RI. Saat itu para honorer K2 menuntut kenaikan gaji, mereka menuntut gaji yang hanya Rp 450 ribu dinaikan sama dengan jumlah UMK yang Rp 1.3 juta. Anggota DPR RI kemudian menyampaikan bahwa untuk bisa memenuhi tuntutan mereka, kementerian Pendidikan akan menuntut peningkatan mutu para honorer. Minimal mereka bisa lulus test computer. Dan seketika para guru honorer yang rata-rata berusia setengah baya langsung merasa keberatan. Mereka mengedepankan masa kerja mereka yang sudah belasan tahun. Tapi wakil DPR RI itu menyampaikan bahwa sekarang ini setiap tenaga pendidik disyaratkan menguasai komputer.
Hari ini, karena pandemic covid, mau tidak mau suka tidak suka seluruh sekolah dituntut untuk melakukan system pengajaran daring atau Pendidikan terhenti. Seribu satu keluhan marak terdengar di seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari murid yang tidak memiliki gadget sebagai perangkat dasar pengajaran online, hingga biaya membeli pulsa dan sulitnya jaringan internet. Namun, seribu satu alasan itu tak bisa diterima oleh pemerintah karena pandemi covid tak memilah-memilih wilayah mana yang akan diserangnya. Namun demikian, Indonesia tetap dalam keadaan beruntung memiliki Presiden yang getol membangun. Jaringan Palapa Ring sudah meng-cover Sebagian besar wilayah Indonesia, keluhan jaringan internet terjawab. Masalah biaya pulsa, juga teratasi. Sementara gadget hanya menjadi alasan tambahan, karena sekarang ini pengemis saja punya handphone.
Tahun pertama masa pandemi corona, dunia Pendidikan Indonesia harus melakukan revolusi budaya belajar mengajar dari offline menjadi online. Pemerintah dipaksa untuk meningkatkan fasilitas sekolah negeri, sementara sekolah swasta dipaksa untuk membuktikan kualitas fasilitas yang dibayar mahal oleh orangtua siswa. Seluruh tenaga pendidik dipaksa untuk meng-up grade pengetahuan mereka terhadap teknologi informasi.
Lalu bagaimana nasib para honorer K2 yang dulu menolak masukan dari anggota DRP RI untuk lulus ujian computer?
Itu baru dari bidang Pendidikan. Di bidang usaha, pandemic corona memaksa para pelaku usaha offline untuk mengubah budaya dagang dari offline menjadi online.
Sebelum pandemi datang, dunia usaha sudah diserang gaya usaha online. Orang protes mempertanyakan kesamaan perlakukan negara dari sisi pajak dan restribusi lainnya antara toko offline dan toko online. Tapi sekarang, tak ada lagi perdebatan. Pandemi memaksa semua kalangan untuk menyesuaikan keadaan jika ingin usaha mereka tetap berjalan.
Ada satu hal yang tak disadari rakyat Indonesia dari pandemic covid-19 ini. Apa itu…?
Pandemi covid-19 yang memaksa rakyat Indonesia untuk mengubah budaya Pendidikan dan usaha, pada saat yang sama juga telah membuka persaingan global dunia. Memesan barang online dari Jakarta atau dari Amerika dan China, semuanya akan tiba di depan pintu kita. Sementara sekolah, mau sekolah di Jakarta ataupun di Australia, semua kelasnya dilakukan dari rumah. Kita tak bisa menahan apalagi melarang pelaku usaha luar negeri ikut meramaikan pasaran dalam negeri, karena jaringan internet telah membuka pintu bagi mereka untuk memacu dan memecut bangsa yang selama ini malas dan manja.
Jika pelaku usaha Indonesia tak mau meningkatkan kualitas produk mereka, mau itu Pendidikan ataupun barang dagangan, maka pelaku usaha dari luar Indonesia siap melahap pasar. Terlebih harga-harga barang dari luar negeri itu dikenal lebih murah dengan pelayanan yang cukup memuaskan.
Pandemi covid yang mendunia menjadi kunci pembuka persaingan global. Jika bangsa Indonesia tidak mampu menghadapinya, maka pelaku usaha Indonesia akan langsung terbakar. Inilah api yang dimaksud presiden Jokowi pada pidatonya.
Kalau kita bisa menghindari untuk tidak tersentuh virus yang mematikan, kita selamat melalui masa sulit pandemi. Tetapi jika hal itu tetap terjadi, banyak hal yang bisa kita pelajari. Minimal kita paham bahwa cara terampuh menghindari virus corona hanyalah melakukan protokol kesehatan disamping melakukan vaksin.
Covid memang menyusahkan, tetapi juga sekaligus mencerdaskan dan terbukti mampu mengubah budaya kita. Kalau terkendali, covid menginspirasi dan memotivasi. Covid menyakitkan, tetapi sekaligus juga bisa menguatkan. Kita ingin pandemic ini menerangi kita untuk mawas diri, memperbaiki diri dan menguatkan diri kita dalam menghadapi tantangan masa depan.
Bagaimana dengan kelompok covidiot?
Percaya, kelompok ini kalau tidak mejadi kelompok yang terbakar, mereka menjadi kelompok yang munafik. Bilang tak takut api, atau bilang api itu tidak panas, tapi mereka hari ini jadi abu dan yang masih selamat dari api, ke mana-mana pakai baju anti api di balik baju biasanya. Ah sudahlah….
Baca juga: