Penulis: Supriyanto Martosuwito
Bayangkanlah, seandainya Kahiyang Ayu mendatangi Kasum TNI jendral Anu dan meminta agar jual beli senjata militer, pembelian panser dan pesawat tempur dikuasai olehnya. Sebagaimana dulu Tutut Suharto meminta Kasum ABRI yang baru dilantik agar pembelian senjata diberikan kepadanya. Dengan alasan urusan jual beli senjata merupakan “proyek strategis” dan harus ditangani orang kepercayaan sekaligus atas “perintah presiden” yang notabene bapaknya sendiri.
Bayangkan, seandainya Gibran Rakabuming mempunyai 134 perusahaan, meliputi bisnis darat, laut udara , dari asuransi, perhotelan, industri pariwisata, industri kimia, pabrik farmasi, otomotif, industri pakan ternak, industri kimia pertanian, pabrik minyak makan, dan beberapa pabrik lainnya sebagaimana Bambang Trihatmojo, putra Suharto.
Bayangkan, jika Gibran juga masuk ke bisnis jasa pembangunan ladang minyak, perkebunan, properti, kontraktor, perbankan, transportasi laut, udara, dan lainnya. Juga instalasi telekomunikasi dan distribusi peralatan telekomunikasi, televisi, bahkan satelit sebagaimana yang dimiliki Bambang Trihatomojo.
Bayangkan, jika Kaesang Pangarep diberi hak untuk memonopoli pengaturan perdagangan cengkeh dan membeli cengkeh dari petani dengan murah dan menjual ke pabrik rokok dengan mahal sebagaimana dilakukan Tommy Suharto.
Bayangkan, jika Kahiyang Ayu mendatangi menteri PUPR untuk meminta proyek jalan toll sepanjang Sumatra – sebagaimana yang diminta Tutut di toll lingkar Semanggi – Priok dan pulau Jawa.
Bayangkan, jika Jokowi mengeluarkan Inpres khusus agar Gibran bisa memperoleh hak untuk mendatangkan 45 ribu unit mobil dari Korea Selatan dengan bunga rendah dan mencapnya sebagai “mobil nasional” sebagaimana diberikan Suharto kepada Tommy.
Dan ketika kakaknya iri dia pun mengeluarrkan izin dengan segala kemudahannya untuk mendatangkan mobil Hyundai Accent dan diganti merk Bimantara Cakra.
Bayangkan, jika adik ipar Jokowi diberi hak memonopoli impor film dan distribusi ke bioskop bioskop sebagaiman fasilitas yang diberikan Suharto kepada adik sepupunya Sudwikatmono.
Bayangkan, jika Jokowi memberikan hak monopoli impor cengkeh kepada kerabat dekatnya sebagaimana yang diberikan Suharto kepada Probosutedjo.
Bayangkan, jika Jokowi berkongsi dengan pengusaha Tionghoa untuk memonopoli perdagangan terigu, semen, dan hasil hutan sebagaimana yang dilakukan Suharto kepada Liem Sioe Liong, Bob Hasan, Prayoga Pangestu, dll.
Bayangkan, jika Ibu Negara Irina Jokowi mengutip komisi 10 persen dari proyek proyek dan investor yang bisa diatur atas pengaruhnya sebagaimana dulu dilakukan Ibu Tien Soeharto.
Bayangkan, jika Jokowi punya dukun yang mengatur pertemuan orang orang asing, para investor, sebagaimana dilakukan Sujono Humardani yang santer jadi dukun Suharto.
Bayangkan, seandainya keluarga Jokowi sendiri atau melalui entitas perusahaan – di luar tugas kenegaraan dan semata mata untuk kesejahteraan sendiri – mengontrol sekitar 3,6 juta hektar real estate di Indonesia, termasuk 100 ribu meter persegi ruang kantor utama di Jakarta dan hampir 40 persen dari seluruh provinsi Timor Leste sebagaimana keluarga Suharto.
Luas area yang lebih besar dari total wilayah negara Belgia, mengutip keterangan dari BPN dan majalah Peoperty!
MEMBANDINGKAN Suharto yang 32 tahun berkuasa dengan Otoriter dan penuh KKN – memakmurkan anak anak sendiri – dengan Jokowi yang berkuasa 10 tahun dengan caci maki ketika anaknya mencari penghidupan dari jualan martabak dan jualan pisang – adalah kedunguan membaca sejarah. ***