Aksi Mahasiswa 2022: Gerakan Politik Moral?

Penulis: Brother Santry

Aksi mahasiswa saat ini merupakan gerakan politik moral dalam rangka menyikapi perkembangan situasi dalam negeri dengan terjadinya penurunan kondisi ekonomi sebagai akibat pandemi. Selanjutnya terjadinya pro kontra terhadap IKN tampaknya juga menimbulkan persoalan “psikologi politik” yang terkait dengan emosi sejarah ibukota negara.

Ditambah dengan perkembangan eksternal khususnya perang dagang RRC – AS dan kemudian perang Ukraina semakin memperburuk kondisi sosial, ekonomi, politik dan keamanan. Kita semua bisa merasakan betapa besarnya beban masyarakat yang harus dipikul dan beratnya tanggung jawab pemerintah.

-Iklan-

Terjadinya tarik ulur terhadap penentuan waktu pemilu dan pilpres 2024, kemudian menjadi isu menonjol karena terkait kecurigaan perpanjangan periode jabatan Presiden. Di bidang ekonomi, sebagai akibat perang Rusia – Ukraina harga-harga melambung mulai dari migor, bahan bakar dan bahan kebutuhan pokok lainnya. Keberhasilan pemerintah mengatasi pandemi seolah-olah tenggelam oleh perkembangan situasi baru.

Konsolidasi gerakan mahasiswa yang dimulai sejak akhir Maret 2022 mampu menyatukan gerakan mahasiswa secara cepat. BEM SI dan BEM Nusantara disatukan oleh agenda bersama yaitu penolakan penundaan pemilu parlemen -pilpres, kenaikan harga bbm dan minyak migor dan kritik terhadap IKN. Kedua kubu BEM tampaknya kompak dengan membentuk Aliansi Mahasiswa Indonesia (AMI) sebagai organ gerakan.

Isu yang mereka usung bersifat strategik dan saling tali-temali satu sama lain. Sebagai contoh pengendalian kenaikan harga dan isu IKN hanya bisa di atas kalau isu “penundaan “ pemilu diselesaikan terlebih dahulu. Jadinya isu terakhir ini menjadi isu sentral. Bukankah 4 partai koalisi pemerintah (PDI-P, Gerindra, Nasdem dan PPP) menyuarakan hal senada dengan aspirasi mahasiswa? Bahkan bapak Presiden Jokowi juga memberi signal untuk tidak menunda pilpres. Namun para mahasiswa tampaknya meminta kepastian dan ketegasan sikap pemerintah sebagai akibat adanya sejumlah partai anggota koalisi yang menghendaki penundaan pemilu.

Muncul pula isu ikutan yaitu adanya kekhawatiran dimana aksi mahasiswa akan dihadang Apkam secara repressif. Hal ini didasarkan pada kejadian berupa gangguan fisik yang menimpa beberapa aktivis mahasiswa yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal akhir-akhir ini. Jikalau tindakan represif terjadi dalam aksi atau gerakan politik – moral mahasiswa nanti, maka persoalan baru akan muncul sehingga keadaan semakin ruwet.

Langkah simpatik yg dilakukan oleh Ketua Wantimpres Wiranto yang menyelenggarakan dialog dengan perwakilan mahasiswa dinilai positif oleh banyak kalangan. Hal itu bisa mengurangi jarak pandangan atau sikap antara gerakan mahasiswa dengan pemerintah, sehingga bisa menjadi “starting point” yang berlanjut dengan dialog. Proses dialog semacam itu tidak boleh tersendat atau terhenti sama sekali.

Persoalannya, jika sampai terjadi stagnasi atau tiadanya dialog, sesuai dengan pengalaman sejarah konflik di negara ini, pihak ketiga yang akan memanfaatkan guna memancing di air keruh. Tidak sulit memicu konflik fisik di tengah kondisi sosial-ekonomi yang rentan, sehingga akan memaksa Apkam untuk mengambil langkah represif guna mengembalikan kamtibnas. Kalau hal itu terjadi, bisa berakibat negatif terhadap proses demokratisasi yang sedang berjalan.

Baca juga:

Demo Mahasiswa 11 April Terorganisir dan Tidak Menghormati Bulan Suci Ramadhan

Artikel terkait:

PNIB: Negara Tak Boleh Kalah, Jika Ada Potensi Kerusuhan, Tindak Tegas Pendemo, Provokator dan Cukong Pendananya!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here