Penulis: Roger “Joy” P. Silalahi
Seberapa Indonesia Kamu…?
#Bagian Kedua (dari dua)
You might say “I paid my taxes, I pay your salary…”, just because you don’t know that at times they must ready to trade their lives for yours…
-Roger Paulus Silalahi-
Seperti saya ceritakan bahwa ada saatnya mencari Mas Firman itu sulit sekali, ada dan tiada, ditelepon pun ke nomor komandonya tetap tidak ada suara. Rupanya di saat-saat itu sepanjang 2001-2006, Mas Firman menjadi salah satu dari segelintir orang yang dipilih masuk ke sebuah satgas yang disebut Satgas Khusus.
Satgas Khusus inilah rahim dari lahirnya Densus 88 yang dibentuk 30 Juni 2003. Tugas Satgas Khusus tidak hanya urusan terorisme, tapi termasuk pemberantasan berbagai mafia, kelompok per kelompok, apakah itu illegal mining, illegal fishing, illegal logging, Ilegal BBM, dll.
Saya baru tahu sepotong-sepotong ceritanya sekitar tahun 2012 saat saya diminta membantu Mas Firman menjalankan beberapa pelatihan untuk BNPT. Sebelumnya Mas Firman tidak pernah cerita apapun terkait Satgas Khusus ini. Saya teringat satu moment dimana saya kesal sekali, telepon Mas Firman karena ingin dapat update, tapi HP mati semua.
Saat itu, 9 November 2005, di sebuah TV swasta ada siaran langsung penggerebekan sebuah rumah di wilayah Batu, Malang. Semua mata memperhatikan bagaimana langkah pengepungan, sampai akhirnya ada kontak senjata. Sudah seperti nonton film hollywood. Saya telepon Mas Firman, mau minta update situasi, hanya di Batu atau ada wilayah lain yang harus diwaspadai, tapi telepon tidak diangkat.
Baru tahun 2012 saya tahu bahwa Mas Firman saat itu ada dalam tim pengejaran dan penangkapan Dr. Azahari, tepatnya tim yang terlibat baku tembak di sana. Pastilah Ka-Tim, orang semacam Mas Firman hampir selalu di posisi Kepala di setiap unit dimana beliau ditugaskan. Hari itu hampir semua orang memantau detik demi detik pengepungan dan penangkapan teroris di Batu – Malang, dari awal sampai baku tembak, sampai ledakan terjadi, sampai tuntas.
Penggambaran kejadian di sana luar biasa tegang saat itu, ledakan yang menghancurkan tubuh Dr. Azahari jadi penutup keseluruhannya. Beruntung Mas Firman aman tanpa cedera, walau pada saat ledakan sudah berada di dalam rumah persembunyian itu.
Tidak hanya kasus Dr. Azahari, banyak kasus terorisme lain dimana Mas Firman terlibat di dalamnya. Seperti pengejaran 3 orang teroris yang dilakukan dari Nunukan ke Tarakan, lanjut ke Tawaw, bersama Irjen. Pol. Drs. Putu Jayan Danu Putra, S.H., M.Si. (Kapolda Bali sekarang). Pengejaran ini bukan pengejaran yang mudah, tapi sampai masuk ke wilayah Malaysia, sehingga harus bekerja sama dengan Polisi Diraja Malaysia, hingga akhirnya dapat dilakukan penangkapan atas ketiga teroris tersebut.
Penangkapan demi penangkapan berlanjut terus selama lebih dari 5 tahun, tapi publikasi jelas saja tidak ada karena terkait teroris yang jaringannya masih diburu atau memang tidak boleh dipublikasikan. Ini berlangsung hingga akhirnya Mas Firman dicabut dari Satgas untuk membantu BNPT dalam penanganan terorisme secara lebih komperhensif.
Kecerdasan dan kekreatifan Mas Firman menghasilkan berbagai hal, terlibat dalam pembuatan metode deradikalisasi, melakukan berbagai kegiatan dan pelatihan. Mulai dari pelatihan sipil sampai militer sampai penggabungan keduanya, hingga pelatihan yang melibatkan berbagai unsur aparat sampi ke tim CBRN (Chemical, Biological, Radiological and Nuclear).
Beruntung saya diikutsertakan di beberapa kegiatan, dan berkesempatan untuk belajar mengenai banyak hal yang belum saya pahami, sekaligus membagikan apa yang saya pahami dalam hal pengamanan publik. Ini berjalan terus menerus sampai akhirnya Mas Firman diminta Pak Tito yang Kapolri saat itu untuk membentuk Center of Terrorism and Radicalism Studies (CTRS) di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Bukan Mas Firman namanya kalau tidak mencetak hal yang bagus atau luar biasa atau “out of the box”, dimanapun beliau ditempatkan. Bahkan saat dalam posisi tidak ditempatkan dalam unit khusus tertentu pun Mas Firman memanfaatkannya untuk menulis dan membuat buku. Sampai sekarang ada 5 buku sudah dicetak dan 4 buku lain yang sudah selesai tapi belum naik cetak.
Di CTRS, penggalangan jaringan dilakukan, Mas Firman aktif mendukung setiap penelitian terkait terorisme dan radikalisme, dan berhasil menulis “Management Technology and Security International Journal CTRS – STIK” yang sampai saat ini merupakan satu-satunya jurnal Kepolisian Republik Indonesia yang dipublikasikan secara internasional.
Sampai sekarang, Kombes. Pol. Dr. Firman Fadillah MH. masih berposisi sebagai Ketua CTRS, dosen di PTIK, dosen untuk beberapa mata kuliah di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG – UI), menulis, dan entahlah, banyak sekali kegiatan beliau ini.
Dengan track record yang demikian, kepintaran yang ditunjukkan, berbagai prestasi dan kemampuan di berbagai bidang, seharusnya membuat karier dan kepangkatannya melaju, tapi ternyata tidak.
Saya pernah bertanya; “Kenapa Mas Firman tidak pernah pegang jabatan biasa yang prestasinya bisa ter-expose dan bisa cepat naik pangkat seperti rekan-rekan seangkatannya…?” Beliau hanya senyum sambil berkata; “Pegang jabatan itu besar tanggung jawabnya, sementara pangkat itu akan didapatkan kalau memang saya dinilai layak mendapatkannya…”.
Sedih juga mendengar jawaban seperti itu, karena saya tahu, dengan segala kepintaran yang dimilikinya, dan proses berpikir yang berbeda dari orang pada umumnya, banyak yang sering salah tangkap dan salah kaprah menilai Mas Firman. Kadang bahkan beliau dinilai sebagai “tidak sejalan”, walau sejujurnya, kalau dilihat dari apa saja yang pernah dilakukannya, dia sangat berhak mendapatkan penghargaan dan kepangkatan yang lebih dari apa yang sampai sekarang didapatkannya.
Saya pernah bilang beberapa bulan yang lalu; “Mas, kalau satu kali nanti Mas Firman jadi dapat bintang, saya di Bali akan bikin tumpengan…”, demikian janji saya yang ditimpali senyum saja oleh beliau.
Konsekuensi wajar dari orang pintar yang tidak pernah mau berpolitik dan setia pada kebenaran serta berpegang pada kejujuran, memang tidak manis. Tapi itulah Mas Firman, tidak pernah mau menggadaikan kebenarannya untuk apapun, hanya paham menjalankan segala sesuatu sesuai tupoksi, memegang sumpah, dan mengabdi pada negeri, tanpa peduli ada atau tidak adanya mata dan hati yang mampu menghargai.
Mas Firman, orang Indonesia… Kamu…?
-Roger Paulus Silalahi-
Artikel ini merupakan seri tulisan “Seberapa Indonesia Kamu”
Baca sebelumnya: