ACT (Ayo Cari Tahu): Apa yang Kalian Sembunyikan?

Penulis: Andre Vincent Wenas

Kata Ahyudin (Ketua Dewan Pembina) di buku laporan keuangan ACT tahun 2020 lalu (dwi-bahasa lho): “We cannot ignore it. It’s time to act and take part in charity to solve the problem.” Artinya, “Kita tak boleh abai, saatnya kerahkan kedermawanan kita untuk jalan keluar permasalahan.”

Hmm… betul juga, tapi itu maksudnya jalan keluar untuk permasalahannya siapa? Masalahnya publik, atau masalah kepentingan pribadi (kelompok) tertentu?

-Iklan-

Kita diminta untuk memahami bahwa ACT itu adalah organisasi yang membela “peri-kemanusiaan”. Maka oleh sebab itu mereka merasa berhak (bahkan wajib?) untuk menggalang donasi demi peri-kemanusiaan itu. Mulia sekali, asal dilakukan secara adil dan beradab tentunya.

Tapi baru-baru ini menyembul ke ruang publik carut-marut di internal organisasi itu. Gegara dipicu perselisihan antara para petinggi ACT sendiri, akhirnya mereka saling bongkar aib masing-masing. Curhatnya ke Majalah Tempo.

Perselisihan apa sih? Ya jabatan, yang artinya juga kekuasaan mengelola “dana kemanusiaan” itu. Lantaran cekcok itu maka “aib” soal aliran dana ke organisasi teroris global serta penggelapan dana untuk urusan pribadi jadi terbongkar.

Bagaimana aliran dana dan soal penggelapannya itu kita tidak tahu persis duduk perkaranya. Lantaran ya gelap itu tadi. Maka untuk urusan yang gelap-gelap seperti ini beruntunglah kita punya senter yang bisa menyorot di gelapan. Senter itu mereknya PPATK.

PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) ini memang bisa (atau selalu?) bikin gerah para penyeleweng dana atau calon-calon tersangka koruptor.

Singkat cerita, PPATK bertindak, dan ternyata memang diduga ada dana “kemanusiaan” yang mengalir ke organisasi “anti-kemanusiaan” alias terorisme, plus juga untuk “keperluan pribadi” katanya.

Persoalan jadi rada membias lantaran publik lebih ramai mewacanakan persoalan pribadi dan soal “tambahan” dari para petinggi ACT, yaitu: rumah pribadi, mobil pribadi, dan istri tambahan.

Tiga yang terakhir itu tentu saja jadi bumbu penyedap sensasi. Kita tinggal menunggu munculnya ‘click-bait’ berita macam: “Istri Tambahan Petinggi ACT Ternyata Bukan Orang Sembarangan…” dan berbagai judul berita ‘umpan-klik’ sejenisnya.

Tapi kali ini kita mau melihat dari segi informasi yang disajikan oleh ACT sendiri lewat laporan keuangan mereka per tahun 2020. Itu yang terakhir yang diunggah di laman resmi mereka.

Informasinya, Yayasan Aksi Cepat Tanggap adalah pemilik dan pengelola situs indonesiadermawan.id yang didirikan berdasarkan Akta Pendirian No.2 tgl 21 April 2005 yang disahkan KemenkumHAM (SK No. C-1714.HT.01.02.TH 2005 Tgl 1 Nov 2005).

Sedangkan izin operasional dari pemprov DKI Jakarta melalui surat no. 155/F.3/31.74.04.1003/-1.848/e/2019 yang berlaku sampai 25 Februari 2024. Izin operasi ini belum dicabut oleh pemprov DKI Jakarta. Masih dievaluasi katanya.

Lalu ada izin Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) dari KemenSos (SK Menteri Sosial No. 239/HUK-UND/2020 untuk kategori umum dan No. 241/HUK-UND/2020 untuk kategori Bencana). Izin tersebut selalu diperbaharui setiap 3 (tiga) bulan. Izin PUB ini sudah dicabut oleh Kemensos (SK No. 133/HUK/2022 tgl 5 Juli 2022) yang diteken MenSos Ad-Interim Muhadjir Effendi.

Lalu informasi di laporan keuangannya bagaimana? Tersedia beberapa info di laporan tahun 2020. Entah kenapa yang tahun 2021 belum diunggah. Padahal sekarang sudah masuk semester kedua tahun 2022.

Dari laporan itu, tercatat dana yang masuk dari operasional selama tahun 2020 sebesar Rp 420,5 miliar. Terpakai sebesar Rp 385,8 miliar. Sehingga tersisa Rp. 34,7 miliar. Namun ada kegiatan investasi dan pendanaan (financing) yang memakan biaya sebesar Rp. 36,7 miliar. Sehingga dana tersisa minus hampir Rp 2 miliar (pembulatan dari Rp 1.993.443.444,-).

Dari operasional itu tercatat pengeluaran dana untuk keperluan ‘kemanusiaan global’ sebesar Rp. 79,1 miliar (artinya sekitar 6,7% dari total dana masuk tahun 2020 itu). Apakah di pos ini yang telah diduga adanya aliran dana ke organisasi teroris internasional? Apakah Sebagian atau seluruhnya? Kita tunggu klarifikasi dari PPATK, atau pengakuan dari para petinggi ACT sendiri.

Sedangkan di pos biaya ‘personalia dan keuangan’ terpakai sebesar Rp 75,7 miliar (atau 18% dari total dana masuk operasional). Plus biaya ‘administrasi dan umum’ sebesar Rp 30 miliar (7,2% nya). Sehingga total biaya kedua pos itu sekitar Rp 105,7 miliar (atau 25,2% nya). Ini lebih dari seperempatnya untuk keperluan “mengelola” organisasi.

Dan ada lagi pos uang muka, yaitu sebesar Rp. 32,8 miliar (7,8% nya). Uang muka ini definisinya adalah biaya yang belum menjadi kewajiban untuk dibayar pada periode saat ini, namun sudah dibayar terlebih dahulu. Apakah itu?

Sementara itu, dari informasi publik yang beredar luas, dilaporkan bahwa paket remunerasi para petinggi ACT adalah lebih dari Rp 250 juta per bulan untuk sang Presiden Global Islamic Philanthropy (GIP). Artinya Rp 250 juta dikali 13 (12 bulan plus THR) jadi sekitar Rp 3,25 miliar setahun.

Lalu, sekitar Rp 200 juta untuk Presiden ACT, maka dikali 13 jadi Rp 2,6 miliar setahun. Untuk Senior VP sekitar Rp 150 juta, jadi Rp 1,95 miliar setahun. Untuk VP Rp 80 juta, maka setahun sekitar Rp 1,04 miliar. Untuk Direktur Eksekutif Rp 50 juta, setahun jadi sekitar Rp 650 juta. Sedangkan level direktur Rp 30 juta, maka setahun jadi sekitar Rp 390 juta.

Kalau asumsinya semua posisi itu diisi satu orang saja, maka total remunerasi mereka setahun adalah sekitar Rp 9,88 miliar (hampir Rp 10 miliar per tahun, diluar fasilitas lainnya). Artinya ini “cuma” sekitar 13% dari pos ‘personalia dan keuangan’ (yang Rp 75,7 miliar), atau sekitar 9,5% dari Rp 105,7 miliar dana yang dipakai untuk “mengelola organisasi” itu.

Maka pertanyaannya, apakah penggelapan untuk “kepentingan pribadi” itu digelapkannya dari berbagai rincian lainnya di pos ‘personalia dan keuangan’ serta pos ‘administrasi dan umum’? Untuk apa dan kepada siapa dana itu mengalir? Dan “diselubungkan” dengan pos transaksi apa?

Tentu saja PPATK bukanlah firma layanan akunting (accounting services firm) yang memeriksa kecocokan bukti transaksi dengan laporan keuangannya. Tapi lebih menyoroti aliran dana-dana itu. Siapa saja yang menerima? Sehingga kita nanti bisa ikut menalar, untuk keperluan apa dana tersebut?

Belum lagi kita menilik lebih jauh soal kegiatan investasi dan pendanaan (financing) mereka yang sejumlah total Rp 36,7 miliar tadi.

Apalagi PPATK sempat mensinyalir bahwa ada Partai Politik yang juga terima dana dari ACT. Parpol manakah itu? Untuk keperluan apa?

Wah, bakal seru ini. Apa sih yang disembunyikan? Ada udangkah di balik batu-batu itu? Atau malah ada lobster yang besar-besar itu?

Ayo Cari Tahu (ACT)!

08/07/2022
Andre Vincent Wenas, MM, MBA. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here