Acara Paku Integritas di KPK Tidak Sesuai Harapan KPK dan Pelapor Korupsi

Penulis: Togap Marpaung

Penulis adalah mantan insan pengawas nuklir, pelapor korupsi (whistleblower) yang mendapat 3 (tiga) surat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Berhasil mencegah Rp 1 triliun rupiah dan mengungkap korupsi sehingga dikembalikan sebagian kerugian keuangan negara sekitar Rp 2 miliar rupiah dari total perkiraan sekitar 5 miliar rupiah. Perkara di Polda Metro Jaya, mangkrak.

Ada baiknya kita mencermati acara penguatan antikorupsi untuk penyelenggara negara berintegritas disingkat Paku Integritas, yang difasilitasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Gedung Merah Putih kantor KPK, pada tanggal 17 Januari 2024. Acara yang digelar bukanlah sebuah debat atau adu program pemberantasan korupsi antar paslon. Pingin ikutan langsung hadir tapi tak ada akses.

-Iklan-

Menyimak informasi dari KPK bahwa kegiatan Paku Integritas diselenggarakan di instansi pemerintah setiap tahun sebagai kegiatan rutin. Namun kali ini terkesan heboh karena suatu kegiatan khusus yang ditujukan bagi pasangan calon (paslon) presiden Anis Baswedan-Muhaimin Iskandar nomor urut 1, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nomor urut 2 dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD nomor urut 3.

Analisis ini sesuai dengan fakta, dialami penulis selama sekitar 10 (sepuluh) tahun yang terlibat langsung sebagai pelapor korupsi. Belajar hukum secara otodidak, banyak bertanya dan memohon bantuan dari berbagai pihak karena berurusan dengan aparat penegak hukum di Polda Metro Jaya, Bareskrim Polri, KPK, Pengadilan Jakarta Selatan hingga Mahkamah Agung. Juga berhubungan dengan instansi terkait, yaitu Ombudsman, PTUN, KIP, BKN, KemenpanRB, KASN, Kemenristek dan Kemensetneg karena penjegalan karir PNS penulis hingga dipaksa pensiun.

Sebagai bekal tambahan, penulis juga mendapat 2 surat dari KPK terkait dengan koordinasi dan supervisi terhadap kasus korupsi yang awalnya dilaporkan ke KPK tetapi tidak ada tindak lanjut. Karena laporan kami melalui pengaduan masyarakat (dumas), yang belum disertai bukti dugaan kerugian keuangan negara.

Ada dua surat KPK pemberitahuan koordinasi dan supervisi, pertama Nomor: 528/KPK/40-43/02/2016, tanggal 17 Februari 2017. Hal: Tanggapan atas pengaduan anggota masyarakat. Surat kedua Nomor: R/219/00.00/40-43/01/2019 tanggal 16 Januari 2019. Hal: Tanggapan atas pengaduan anggota masyarakat.

Informasi tersebut di atas perlu dikemukakan sebagai latar belakang penulis yang relevan dengan dua hal yang menjadi pokok pembahasan. Pertama adalah keluhan dari pimpinan yang disampaikan melalui Ketua sementara KPK Nawawi Pomolango, yaitu: “koordinasi dan supervisi penanganan perkara korupsi”. Jelas bahwa nomor satu ini adalah kepentingan dari pihak KPK sebagai lembaga antirasuah yang diberi tugas untuk melaksanakan koordinasi dan supervisi (korsup) dengan dua instansi penegak hukum, lain, yaitu polri dan kejaksaan.

Penulis mengetahui persis hambatan apa yang dialami KPK agar korsup dapat dilaksanakan dengan baik sehingga perkara korupsi yang sudah tahap penyidikan di Polri atau tahap penuntutan di Kejaksaan tidak mangkrak alias masuk peti mati. Sebagai contoh kasus mangrak adalah perkara pengadaan barang paket 4 dan 5 di Bapeten yang sudah tahap penyidikan, sesuai surat nomor: B/8886/III/RES.3.3/2020/Ditrskrimsus, tanggal 19 Maret 2020. Perihal: Pemberitahuan hasil penyelidikan. Perkaranya tidak berlanjut ke penetapan tersangka atau penghentian penyidikan, padahal penyidikan sudah hampir 4 tahun. Berulang kali kami menyurati KPK, bertemu dengan pihak dumas dan diteruskan ke pihak korsup, tidak ada tindak lanjut.

Hingga Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, Boyamin Saiman pun pernah mengawal penulis dengan berkirim surat ke KPK agar dilaksanakan supervisi oleh KPK pada bulan April 2023. Tidak juga ada realisasinya dan ironisnya surat kami itupun, tidak ada balasan sebagai tanggapan hingga kini.

Kendala yang dihadapi KPK sebagaimana pernah dikeluhkan staf korsup kepada penulis beberapa tahun yang lalu bahwa fungsi korsup KPK dengan Polri hanyalah di atas kertas, berkirim surat, bertemu tetapi tidak ada realisasi penyelesaian perkaranya. Hambatan tersebut terjadi mengingat Polri bukanlah bawahan secara struktural dalam satu organisasi dari KPK. Koordinasi adalah suatu tugas yang sia-sia jika tidak ada komitmen yang tinggi diantara pimpinan tertinggi kedua instansi, yakni Kapolri dan Ketua KPK.

Jika pun demikian perkaranya mentok dan mentok maka Presiden yang harus turun tangan untuk mengharmonisasi sehingga ada solusi yang hasilnya adalah perkara yang mangkrak tersebut diambil alih oleh KPK.

Mudah bagi Presiden untuk melancarkan kebuntuan yang dialami kedua instansi yang berada di bawah eksekutif ini karena sudah ada dasar hukumnya, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun demikian, ada kelemahan Perpres No.102 Tahun 2020, yang normanya diatur pada Pasal 9 ayat (3), yaitu: tidak ada batasan waktu penyidikan di Polri dan penuntutan di Kejaksaan sehingga tidak ada kepastian menjadi pegangan bagi KPK, kapan bisa diambil alih.

Penulis selaku pelapor korupsi yang mungkin hanya satu-satu nya putra bangsa yang bergumul dan memikirkan bagaimana supaya Perpres tersebut dapat mampu terapan (applicable) dengan efektif. Langkah taktis, strategis dan cerdas dicoba dilaksanakan dengan mengajukan permohonan hak uji materiil Perpres No.102 Tahun 2020 ke Mahkamah Agung (MA).

Usulan supaya Psal 9 ayat (3) yang dimaksud harus direvisi dengan ketentuan, bahwa dalam hal penyidikan sudah lebih dari 1 tahun di Polri, perkaranya harus diambil alih KPK.

Pada saat masih tahap konsultasi di MA, permohonan akan ditolak jika mengajukan dua nama sebagai Pemohon 1: Togap Marpaung dan Pemohon 2: Boyamin Saiman Koordinator MAKI.

Alasan penolakan (sebagai saran) dari staf Panmud TUN MA adalah karena Boyamin tidak mengalami kerugian materil secara konstitusional.

Boleh tetap diajukan dengan dua orang tetapi langsung gagal tanpa pengujian sebagaimana mestinya berproses melalui persidangan tertutup.

Jadilah penulis sebagai pemohonan tunggal, sendirian dengan biaya pendaftaran perkara 1 juta rupiah dan PNBP 200 ribu rupiah. Biaya-biaya lain masih ada untuk legalitas bukti dengan 10.000 rupiah, biaya penggandaan rangkap tiga, transportasi dan sebagainya.

Hingga kini, belum ada putusan dari Mahkamah Agung. Semoga permohonan dikabulkan. Jika ditolak sedih nian!

Oh, ya sesuai dengan hasil pemantaun dengan membaca berita bahwa KPK dan Polri sudah pernah melaksanakan rapat koordinasi yang dihadiri pimpinan kedua instansi penegak hukum tersebut di kantor Gedung Merah Putih KPK, tanggal 4 Desember 2023. Penandatanganan kerjasama tentang Koordinasi dan Supervisi Tindak Pidana Korupsi oleh Kepala Bareskrim dan Direktur Supervisi KPK yang disaksikan langsung Kapolri.

Turut hadir para wakil ketua KPK. Kadiv Propam, Kadiv Humas dan Asisten Kapolri bidang SDM. Mereka berkomitmen bahwa koordinasi dan supervisi harus lah berjalan sebagaimana mestinya.

Timbul 2 pertanyaan:

  1. Mengapa KPK tidak mengajak Kejaksaan jika tujuan KPK mengatasi hambatan dalam pemberantasan korupsi supaya menjadi efisien dan efektif?
  2. Mengapa perkara korupsi yang kami laporkan di Polri, tepatnya Ditreskrimsus Polda Metro Jaya yang sudah hampir 4 tahun tahap penyidikan, tidak diambil alih KPK?

Kedua, adalah “Capres Adu Gagasan, Siapa Bisa Perbaiki KPK?” Poin pertama tersebut di atas adalah keinginan dari Pimpinan KPK agar Capres memperhatikan keluhan untuk memperbaiki KPK dengan fungsi koordinasi dan supervise KPK supaya dapat dilaksanakan dengan lancar.

Dua hari sebelum hari H acara Paku Integritas, pimpinan KPK sudah menyampaikan curahan hatinya. Namun tidak satupun dari Capres yang menyinggung Perpres No.102 Tahun 2020 yang menjadi dasar hukum bagi KPK untuk mengambil alih perkara korupsi di Polri maupun kejaksaan.

Sesuai dengan hasil pemantauan dari media bahwa disimpulkan sebagai berikut: Paslon 1, Anis Baswedan-Muhaimin Iskandar menegaskan gagasannya, “ingin mengembalikan kembali kepercayaan publik terhadap KPK dengan merevisi UU KPK dan seluruh pimpinan dan staf bekerja dengan standar etika tinggi.”

Paslon 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menegaskan gagasannya menaikkan gaji pejabat/penyelenggara negara dan perbaiki kualitas hidup dengan pendekatan secara realistis.

Paslon 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD menegaskan gagasannya membuat regulasi efek jera dimiskinkan, meminimalisasi rangkap jabatan, jika tidak ada efek jera bisa di Nusakambang kan.

JIka disandingkan dengan komentar Abrahan Samad, yaitu “Paslon 2 dan 3 Tidak Jelaskan Cara Perbaiki KPK,” ada benarnya tetapi gagasan paslon 1 tersebut di atas juga dapat dinyatakan bersifat umum. Tidak ada yang spesifik terkait dengan bagaimana mengoptimalkan kinerja KPK dengan koordinasi dan supervise yang masih masih mentok sampai saat ini. Hanya di atas kertas ada kesepakatan kerjasama tetapi tidak ada eksekusinya.

Ada dua poin kesimpulan, pertama: KPK tidak memperoleh jaminan bahwa koordinasi dan supervisi perkara tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan secara sungguh sungguh karena tidak ada komitmen dari ketiga Capres yang mendukung hal tersebut.

Kedua adalah pelapor korupsi, menjadi semakin pesimis bahwa perkara korupsi pengadaan barang paket 4 dan 5 yang sudah penyidikan sekitar 4 (empat) tahun diambil alih KPK dari Polri.

Apalagi perkara pengadaan barang paket 1, 2 dan 3 yang dihentikan pada tahap penyidikan meskipun sudah jelas ada kerugian keuangan negara yang sebagaian dikembalikan makin bau di dalam peti busuk.

Penulis sebagai pelapor koruspsi tidak akan berhenti, langkah berikut akan dilaksanakan dan tulisan ini bersambung terkait dengan hashtag: #PresidenTidakAntikorupsi yang pokok bahasan adalah permohonan 3 (tiga) hak uji materill di bawah undang undang meliputi: (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018; (2) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018; dan (3) Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 yang semuanya terkait dengan substansi pencegahan dan pemberantasan korupsi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here