Membaca kalimat Vaksin Nusantara (VakNus) yang pertama kali terbersit dalam pikiran adalah sosok dr. Terawan Agus Putranto. Mantan Menteri Kesehatan yang kena reshufle. Selanjutnya persoalan kontroversi VakNus tetap bergulir, namun bukan lagi dr. Terawan yang muncul, tapi sosok Dahlan Iskan.
EDITORIAL
Dahono Prasetyo
dr. Terawan dan Dahlan Iskan sama-sama memperjuangan sebuah benda bernama Vaksin. Proses medisnya ditangani dr. Terawan, sedangkan “marketingnya” dipegang pelaku media sekelas Dahlan Iskan. Kolaborasi yang saling melengkapi, bukan sekedar balas budi antara dokter dan pasiennya.
Seperti yang diberitakan Dahlan menjadi salah satu pasien theraphy DSA atau yang dikenal dengan brainwash, temuan dr. Terawan. Selain Dahlan ada pula Prabowo dan Aburizal yang sukses “dicuci otaknya” oleh dr. Terawan.
VakNus dalam imajinasi seorang penulis sekelas Dahlan Iskan menjadi tantangan tersendiri. Vaksin berbasis sel dentrintik memang menjadi “pesaing” utama vaksin konvensional lainnya yang kini (kabarnya) menjadi benteng terakhir mengatasi pandemi di penjuru dunia. Perebutan “pangsa pasar” kental terjadi yang mengakibatkan VakNus setengah tertolak di tengah kepungan kepentingan vaksin konvensional.
Dahlan yang berjuang sendiri dengan membangun narasi keyakinan bahwa VakNus menjadi bagian dari upaya medis memerangi pandemi. Bukan semata menjadi bagian dari bisnis vaksin pandemi. Pasien dan calon pasien Covid-19 memasrahkan urusan keselamatannya pada negara. Dan negara terpaksa “bertransaksi” dengan dunia medis tidak semudah membeli obat di apotik. Hukum ekonomi berlaku, saat permintaan lebih tinggi dari penawaran maka nilai barang jadi tinggi.
VakNus sedang berusaha menjadi bagian dari penawaran demi mempersempit jarak dengan permintaan.
Jika ibarat sebuah poliklinik, sudah ada praktek dokter umum. VakNus sedang berupaya meminta ijin praktek menjadi dokter spesialisnya. Pasien yang tidak sembuh di dokter umum bisa ke spesialis. Yang namanya spesialis biasanya spesifikasinya di atas hal umum.
Begitu rumitnya urusan “ijin praktek” membuat VakNus yang hanya di-marketing-kan sendiri oleh Dahlan Iskan, lebih menarik menjadi bacaan daripada kajian klinis. Dahlan seolah menjadi seorang pasien yang menyampaikan testimoni kesembuhan dari seorang dokter spesialis baru.
Bukankah dokter praktek agar laku jasanya, butuh testimoni dari pasiennya juga? Disampaikan dari mulut ke mulut dengan bahasa apapun. Dokter berkualutas tidak sekedar bermodal gelar dan plang nama besar di pinggir jalan. Dahlan seorang pasien yang baik. Menceritakan kebaikan dokternya yang ramah menyampaikan penyakit, memberi saran obat tanpa paksaan. Sugesti kesembuhan sudah disampaikan Dahlan, dan keyakinan itu sudah setengah jalan menyembuhkan psikologi pasien. Selebihnya urusan medis berproses dalam tubuh fisik pasien.
Kesalahan VakNus hanya satu. Kalah cepat berebut dengan pemodal besar menguasai pangsa pasar pandemi.
Lanjutkan Pakdhe Dahlan..
Aku pendukungmu