Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah (Jas Merah)
KOLOM
OPINI
Sidarto Danusubroto
Mengawal 7 Presiden, dari Presiden Sukarno hingga Presiden Jokowi,
Sebuah Perjalanan, Perenungan, Pergulatan, Rasa Syukur, dan Harapan
Waktu sepertinya berputar sangat cepat. Tanpa terasa, era reformasi sudah hampir memasuki usia seperempat abad. Gerakan reformasi bertujuan untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan, terutama perbaikan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan hukum. Dalam perkembangnya, perjalanan reformasi banyak yang belum sesuai dengan yang diperjuangkan masyarakat dan mahasiswa tahun 1998. Walaupun demikian, kita harus bersikap terbuka dan bersama-sama untuk melakukan perbaikan ke depan.
Dibutuhkan sikap yang bijak dalam menilai dan memahami setiap periode pemerintahan di Indonesia. Terlepas dari berbagai kontroversi yang terjadi, kita harus menempatkan para pemimpin bangsa yang telah banyak berkarya dan berjuang untuk negara ini pada posisi yang terhormat. Sebagai bangsa, kita perlu mikul duwur mendem jero para pemimpin, menghormati jasa yang dibaktikan. Kita menghormati Presiden Soekarno sebagai Bapak Bangsa. Sikap penghormatan juga perlu diberikan kepada Presiden Soeharto, Presiden BJ. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan kepada Presiden Joko Widodo.
Memasuki usia yang ke 85 tahun, saya bisa merasakan kebanggaan atas kemajuan yang dicapai dan Indonesia masih tegak berdiri di tengah keragaman, baik suku, bahasa, budaya, maupun agama. Suatu anugrah Tuhan atas bumi Indonesia yang dilahirkan dengan kucuran darah dan keringat oleh Bapak pendiri bangsa dan para Pejuang Kemerdekaan. Saya sangat bersyukur, karena sampai saat ini masih bisa berkontribusi dan telah turut andil dalam pemerintahan tujuh presiden pada era yang berbeda-beda. Dari sejak jaman Presiden Soekarno sebagai ajudan sampai dengan Presiden Joko Widodo sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) 2 periode (hingga saat ini).
Pengalaman empirik ini membuat pandangan, pendapat, maupun penilaian saya semoga bisa lebih objektif dan saya berharap dapat memberikan masukan untuk Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang.
Jalan Terjal Reformasi
Salah satu hal yang paling disorot pada masa orde baru adalah posisi eksekutif yang sangat dominan. Legislatif hanya berfungsi sebagai ‘stempel’ bagi seluruh kebijakan pemerintah (Presiden). Kepatuhan DPR (Anggota) kepada Presiden disebabkan pada masa itu seluruh kekuasaan berpusat pada Presiden. Pemenang Pemilu dan siapa yang akan terpilih jadi Anggota DPR sudah ‘ditentukan’ sebelum pemilu dilaksanakan. Pada waktu itu juga berlaku ketentuan recall. Anggota DPR dapat diganti setiap saat sesuai dengan keinginan penguasa. Hal ini membuat tidak ada anggota DPR yang berani bersuara berbeda dengan pemerintah, sehingga mekanisme Check and Balance tidak terlaksana dengan baik.
Pada masa orde baru, Pemerintah tidak memberikan ruang gerak bagi partai politik untuk berkiprah, sehingga yang tersisa hanya 2 (dua) partai politik dan satu golongan karya. Tindakan ini jelas-jelas membelenggu aspirasi politik rakyat. Keadaan berubah ketika kesempatan untuk mendirikan partai begitu terbuka pada masa reformasi. Partai politik bertumbuhan seperti jamur di musim hujan. Maraknya pertumbuhan partai politik ini, menunjukkan bahwa negara telah menjamin hak bagi warga negara untuk berserikat sesuai dengan ketentuan Pasal 28E Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (mendirikan partai). Akan tetapi, kondisi ini sebenarnya sangat tidak sehat bagi perkembangan demokrasi. Sebab pendirian partai baru belum tentu didasari oleh keinginan untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasi rakyat, namun lebih disebabkan oleh kepentingan elit-elit partai.
Periode reformasi lahir tahun 1998 dengan pergantian kepemimpinan nasional, dan mengakibatkan terjadi pergeseran bandul politik. Sistem politik Indonesia berubah dari executive heavy menjadi legislative heavy, wewenang legislasi dikembalikan ke lembaga legislatif sesuai dengan perubahan UUD 1945. Pada awal reformasi, Anggota DPR benar-benar menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran secara optimal dan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Rapat-rapat yang dilaksanakan sangat serius dan perdebatan di DPR terkait suatu masalah sangat substansial. Produk legislasi yang dihasilkan banyak yang berpihak kepada kepentingan rakyat. Beberapa undang-undang yang dihasilkan diantaranya: UU Tentang Pers, UU Tentang Penyiaran, UU Tentang HAM, UU Tentang Pengadilan HAM, UU Tentang KKR (yang kemudian dibatalkan MK), UU Tentang Pertahanan, UU Tentang Polri, UU Tentang TNI, UU Tentang Otonomi Daerah, UU Tentang Partai Politik, UU Tentang Pemilu (yang telah beberapa kali mengalami perubahan dan dianggap tidak reformis lagi) dan masih banyak undang-undang lainnya.
Perubahan DPR mulai terjadi ketika UU tentang Pemilu diganti. Dalam UU baru diatur bahwa calon anggota legislatif (caleg) terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. Dengan sistem ini, caleg yang berada pada nomor urut paling bawah bisa terpilih asalkan memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihannya. Sistem ini membuat persaingan di dapil menjadi tidak sehat. Persaingan terjadi tidak hanya dengan calon dari partai lain, namun juga terjadi antarcalon dari partai yang sama. Banyak caleg yang tidak berakar di daerah pemilihannya, baru terjun ke dunia politik, tidak memiliki pengalaman dan pemahaman tentang politik, terpilih karena memiliki modal dan popularitas. Sehingga muncul istilah bahwa untuk menjadi anggota legislatif tidak penting kapasitas, kualitas, dan kapabilitas, yang penting popularitas dan ‘isi tas’. Keadaan ini membuat kontestasi politik semakin keras. Pemilihan anggota legislatif yang seyogyanya menjadi ajang pertarungan ide, konsep, gagasan, dan program, berubah menjadi pertarungan modal dan pengaruh. Akibatnya sebagian anggota DPR tidak paham tugas dan fungsinya, serta tidak menguasai substansi sesuai dengan komisinya.
Tingkat kehadiran anggota dalam rapat juga boleh dikatakan minim. Rapat sering tidak terlaksana (diundur atau ditunda) karena tidak memenuhi kuorum. Produk legislasi (kualitas dan kuantitas) menurun dibandingkan dengan periode awal reformasi. Produk legislasi periode tahun 2014-2019 adalah 91 UU, artinya 18 UU dalam setahun. Bandingkan dengan awal reformasi yaitu periode 1999-2004 yang menghasilkan 156 UU (31 UU setiap tahun). Program legislasi nasional (Prolegnas) yang seharusnya menjadi landasan dalam menjalankan fungsi legislasi, sering berubah-ubah sehingga anggota parlemen dianggap tidak memiliki konsep politik hukum, dan mengutamakan produk legislasi yang menguntungkan mereka maupun partainya.
Dengan tingkat pendidikan mayoritas rakyat Indonesia yang masih rendah (data BPS tahun 2019 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Indonesia hanya mencapai tingkat menengah) dan pendapatan perkapita sekitar USD 4.000/di bawah Rp 60 juta, pemilihan anggota legislatif dengan sistem suara terbanyak (ada yang menyebut sebagai pasar bebas politik) akan menyebabkan politik biaya tinggi. Setiap kontestasi politik yang melibatkan partisipasi masyarakat sebagai pemilik suara, akan memunculkan transaksi NPWP (nomor piro, wani piro). Calon yang dipilih sesuai nilai nominal yang ditawarkan, bukan berdasarkan integritas, kualitas, dan kapasitas calon bersangkutan.
Hal ini menyebabkan anggota DPR terpilih akan memikirkan bagaimana mengembalikan modal dan pada saat yang sama bagaimana mencari modal untuk pemilu berikutnya. Sehingga tugas utamanya sebagai wakil rakyat sering terabaikan. Bahkan banyak anggota legislatif (termasuk kepala daerah) menempuh jalan pintas untuk mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan dengan melakukan tindakan melanggar hukum (korupsi, jual-beli jabatan, menyelewengkan anggaran, dan sebagainya). Data menunjukkan bahwa kepala daerah dan anggota legislatif yang tersangkut masalah hukum semakin meningkat semenjak diberlakukannya sistem suara terbanyak untuk pemilihan anggota legislatif dan pemilihan langsung untuk Pilkada. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada 397 pejabat politik yang terjerat kasus korupsi sejak tahun 2004 hingga Mei 2020. Jika digabungkan jumlah kasus yang ditangani KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, menurut ICW ada 253 kepala daerah dan 503 anggota DPR/DPRD yang menjadi tersangka korupsi.
Pelaksanaan demokrasi yang terlalu liberal tidak hanya membawa efek negatif pada pemilu legislatif, namun juga terjadi pada pemilihan kepala daerah (Pilkada). Pemilihan kepala daerah secara langsung sangat transaksional. Salah satu persoalan mendasar dalam pelaksanaan kontestasi politik (terutama Pilkada) adalah maraknya praktik money politic. Pesta demokrasi tersebut kerap menjadi ajang bagi-bagi sesuatu oleh pasangan calon agar masyarakat memilihnya. Kondisi ini berbeda dengan negara yang sudah maju demokrasinya, dimana figur atau calon yang akan bertarung dibiayai publik, bukan sebaliknya calon yang mengeluarkan dana untuk ‘membeli’ suara pemilihnya.
Untuk mengurangi terjadinya praktik money politic sebaiknya pemilihan langsung hanya untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, DPR RI dan DPRD. Pemilihan umum anggota DPR dan DPRD dilakukan dengan sistem proporsional daftar tertutup, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Hal ini berbeda dengan Pasal 5 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Presiden yang mengatur bahwa peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan Calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, sebaiknya dilakukan dengan cara DPRD Provinsi mengajukan 3 (tiga) pasang calon dari partai pemenang kepada Presiden untuk memilih salah satu diantaranya, kemudian ditetapkan menjadi Gubernur/Wakil Gubernur. Dengan demikian ada wibawa vertikal karena Gubernur adalah perpanjangan tangan atau wakil Pemerintah Pusat di daerah. Sementara pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, dilakukan dengan cara partai pemenang Pemilu mengajukan 3 (tiga) pasang calon, kemudian dilakukan pemilihan oleh Anggota DPRD Kabupaten/Kota. Mekanisme ini akan memotong banyak prosedur, waktu, maupun anggaran.
Hal-hal tersebut di atas adalah gambaran kondisi dan rekam jejak reformasi yang tidak sejalan dengan tujuan awalnya, dan sering saya sebut sebagai akibat dari Amandemen UUD 1945 yang kebablasan, dan mengaburkan makna dari prinsip demokrasi Pancasila bahwa sistem perwakilan berdasarkan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan, seperti diatur dalam Sila ke-empat Pancasila. Kondisi ini perlu dikoreksi dan dikembalikan ke jalur yang benar.
BACA SELANJUTNYA: MENGEMBALIKAN ARAH REFORMASI
OPINI Sidarto Danusubroto: Mengembalikan Arah Reformasi untuk Masa Depan Indonesia