SintesaNews.com – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi sikap korban untuk mengungkap pengalaman pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh GH.
“Pengungkapan ini merupakan hal sulit, membutuhkan keberanian untuk mengingat kembali pengalaman yang traumatis dan juga untuk menghadapi serangan balik dari pengungkapannya itu,” seperti disampaikan oleh para Komisioner Komnas Perempuan: Veryanto Sitohang, Retty Ratnawati, Bahrul Fuad, dan Andy Yentriyani.
“Serangan balik yang paling sering adalah justru menyalahkan korban, penyangkalan bahkan menuntut balik korban.”
Dalam penggambaran kasus yang diungkap terkait Gofar Hilman, hal yang juga memprihatinkan adalah sikap sejumlah pihak yang menyetujui dan menyemangati tindakan itu dengan pernyataan-pernyataan yang semakin melecehkan korban. Kondisi serupa ini sebetulnya kerap ditemukan dalam banyak kasus pelecehan seksual di ruang publik dan menjadi penghambat bagi korban untuk dapat melaporkan kasusnya sedari awal.
“Pada perempuan, kerentanan pada pelecehan seksual dan untuk disalahkan atas tindak tersebut berakar pada diskriminasi berbasis gender yang menyebabkan perempuan dalam posisi subordinat dan obyek seksual,” demikian tertulis dalam keterangan pers yang dikirimkan ke redaksi SintesaNews.com.
“Posisi perempuan sebagai simbol moralitas di dalam masyarakat patriarkis juga digunakan untuk melemahkan korban.”
Dengan posisi tersebut, perempuan gampang disalahkan dengan menggunakan latar belakang, gerak gerik, dandanan, cara busana dan lingkungan pergaulannya sebagai alasan pembenar tindak pelecehan seksual.
Bahkan Nikita Mirzani, seleb kontroversial yang ternyata mantan pacar GH menganggap mungkin saja kejadian itu perempuannya yang mau.
“Ya, laki dikasih begitu, siapa yang nolak,” ujar Nikmir tanpa mikir.
Kesulitan bertambah ketika korban pelecehan seksual adalah perempuan dengan disabilitas intelektual dan perempuan dengan disabilitas psikososial. Mereka jarang melaporkan kasus pelecehan yang dialaminya karena rendahnya pengetahuan tentang perilaku yang dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Di samping itu, faktor ketergantungan psikis, finansial dan sosial korban terhadap pelaku menyebabkan korban mengalami dilema untuk mengungkap kasus pelecehan seksual dan kekerasan seksual lainnya yang dialaminya.
Sementara itu, korban pelecehan seksual saat ini sangat sulit untuk mendapatkan perlindungan. Payung hukum yang mumpuni belum ada, termasuk untuk mendukung pemulihan korban. Karenanya, kasus yang diungkap ini semakin menunjukkan urgensi pengesahan segera RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Mengingat situasi perlindungan hukum saat ini, Komnas Perempuan juga mendorong aparat penegak hukum untuk menyikapi dengan sungguh-sungguh dan dengan empati kepada perempuan korban, dan mencegah kriminalisasi korban. Hal ini sangat penting dalam memastikan pelaksanaan tanggung jawab negara untuk pemenuhan hak konstitusional warga, khususnya perempuan, pada perlindungan diri dan rasa aman (Pasal 28 G Ayat 1), serta untuk bebas dari diskriminasi atas dasar apa pun.
Mengenali kesulitan yang harus dihadapi oleh perempuan korban pelecehan seksual, Komnas Perempuan berharap pengungkapan kasus pelecehan seksual dapat menyemangati perempuan korban yang lain untuk juga maju melaporkan kasusnya.
Komnas Perempuan mengajak semua pihak untuk mendukung upaya korban, dengan mendengarkan pengalaman mereka, jangan disudutkan dan distigma. Hal ini terutama karena pengungkapan kasus merupakan langkah awal mendukung upaya pemulihan korban, memutus impunitas, dan mencegah kejadian berulang.