Pemilu 2024 masih 3 tahun lagi, PDIP sebagai partai besar pemilik suara terbanyak menjadi kunci penentu pertarungan politik 5 tahunan. Secara tersirat dari internal partai sendiri muncul wacana mengusung Puan Maharani maju dalam kontestasi Pilpres. Secara normative sebagai anak biologis Ketua Umum PDIP Megawati, keinginan menduduki jabatan tertinggi tidak ada yang salah.
OPINI
POLITIK
Dahono Prasetyo
Puan yang menjadi Ketua DPR RI dari background “trah” Partai itu sebuah catatan tersendiri. Namun utamanya justru pada kemampuannya menyatukan mayoritas partai di DPR untuk mendukung pemerintahan, itu juga sebuah prestasi. Dibanding ketua ketua DPR sebelumnya, harus diakui Puan punya kekuatan lobby lintas partai yang tergolong win – win solution.
Bandingkan dengan masa kepemimpinan Agung Laksono, Marzuki Alie, Setya Novanto , Fadli Zon, Bambang Soesatyo yang selalu melahirkan kubu oposisi. Bahkan istilah “kampret” muncul di ruang sidang untuk hiperbolis kubu KMP (Koalisi Merah Putih) yang di 2014 gencar boikot kebijakan pemerintah Jokowi.
Syarat utama menjadi orang nomor satu sudah setengahnya dimiliki Puan. Dukungan internal partai, jaringan antar partai dan salah satu trah Soekarno yang menjadi “roh” di tubuh PDIP. Puan yang sudah selesai dengan dukungan di tingkat elite, tinggal selangkah lagi berupa dukungan basis massa akar rumput yang itu menjadi tugas utama mesin partai. Polesan, pencitraan hingga berpenampilan rakyat sementara ini masih menjadi strategi efektif menjadikan seseorang dari Zero to Hero.
Nama Puan Maharani, Prananda, Puti Guntur adalah gerbong generasi kedua Soekarno Biologis. Di sisi lain PDIP juga memiliki sosok popular dengan definisi Soekarno Ideologis. Ada nama Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, Djarot Syaiful Hidayat dan juga Jokowi tentunya plus Gibran – Bobby. Kedua kubu yang berjalan harmonis namun suatu saat harus bernegosiasi untuk urusan suksesi.
Matematika politik mengatakan, Jokowi sudah selesai masa jabatannya dengan menyisakan dukungan loyalis di akar rumput. Puan yang kurang dukungan akar rumput, butuh Jokowi agar bersedia mengalihkan suara Jokower kepada Puan. Sebagai kompensasinya, Jokowi menggantikan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP.
Skenario ini menjadi win – win solution juga demi menjaga keselarasan kolaborasi Ideologis dan Biologis di dalam tubuh PDIP. Megawati lebih paham persoalan ini, sebagaimana dia dulu “mengiklaskan” Jokowi menjadi presiden dengan status petugas partai.
Megawati tetap menjadi “pemilik” biologis PDIP hingga akhir hayatnya, namun regenerasi mesti bergerak dengan berbagai kompromi. Maka perubahan wajah-wajah baru dalam partai untuk diisi anak-anak muda akan berjalan secara moderat.
Pertanyaan selanjutnya bagaimana nasib Ganjar Pranowo yang secara popularitas digadang-gadang menjadi ”The Next Jokowi”.
Ganjar yang dicintai masyarakat namun sesungguhnya masih rapuh dukungan di tingkat elite. Sebagai petugas partai, Ganjar sudah selesai tugasnya mempertahankan Jawa Tengah sebagai basis dukungan massa PDI-P.
Butuh waktu ekstra keras untuk mendekatkan diri sekaligus “dicintai” di tingkat elite. Bernegosiasi dengan pendukung Soekarno Biologis yang berada di dekat Ketua Umumnya.
Hasil survey tidak menjadi ukuran Ganjar berhak atas “Golden Ticket” audisi Capres 2024, menggambarkan agenda internal di PDIP masih tarik ulur. Keputusan final ada di tangan Megawati sebagai penguasa elite bersama Jokowi sebagai lokomotif massa akar rumput.
Secara emosional Ganjar layak, namun belum tentu untuk matematika politik di tingkat Parpol. Akankah Indonesia akan dipimpin “the next Petugas Partai” atau “the next Megawati”.
Itu saja Pe-eR relawan Ganjar yang kini sedang “membara”.
Baca juga: