Penulis: Ayik Heriansyah
Saya geli sekaligus miris membaca flyer, poster dan spanduk yang dibuat oleh kawanan HTI tentang seruan jihad, tegakkan khilafah dan kirim tentara muslim sebagai solusi konflik Israel-Palestina yang tak pernah selesai.
Saya tambah geli dan miris, ketika melihat flyer yang menyandingkan potongan ayat qutiba ‘alaikumus shiyam dengan qutiba ‘alaikumul qital. Kawanan HTI ingin meyakinkan umat, bahwa, mengirim pasukan ke Palestina sama fardlu-nya dengan puasa ramadlan.
Saya makin geli dan miris, karena saya tahu semua itu bentuk agitasi, provokasi dan propaganda mereka. Mereka bukan sedang mengajak umat kepada Islam secara kaffah, karena dalam ajaran Islam, shiyam dan qital termasuk bab syariah, bukan aqidah. Setiap syariah Islam tidak bisa langsung diamalkan. Harus mengikuti syarat dan rukun. Jika tidak, tidak sah, tidak diterima di sisi Allah swt.
Konflik Israel-Palestina adalah konflik politik, bukan konflik aqidah, karena aqidah adalah urusan isi hati seseorang dengan Tuhannya. Tidak ada hubungannya dengan orang lain. Khalid Misyal pemimpin Hamas, juga mengatakan masalah Palestina dengan Israel, masalah politik, bukan agama.
Oleh sebab itu, konflik Israel-Palestina harus dibahas dalam kerangka fiqih siyasah. Prinsip dasar dari fiqih siyasah 1) Politik dalam negeri dengan mewujudkan maqashid syariah kepada semua warga negara; 2) Politik luar negeri dengan memegang teguh akad-akad perjanjian dengan negara lain (bilateral, regional, multilateral dan internasional).
Ada 3 kasus penganiayaan yang dilakukan orang kafir terhadap sahabat Nabi saw.
Peristiwa Bani Qainuqa
Peristiwa ini berupa penganiayaan terhadap sahabat yang membela seorang muslimah yang dilecehkan oleh Yahudi Bani Qainuqa. Akibat peristiwa ini, Rasulullah saw mengirim pasukan untuk memerangi Bani Qainuqa. Sebelumnya, Bani Qainuqa salah satu diantara bani yahudi yang menerima Piagam Madinah. Piagam Madinah merupakan konstitusi yang mengikat semua pihak yang turut menandatanginya. Bani Qainuqa telah melanggar konstitusi. Kemudian diberi sanksi, diperangi oleh Nabi saw. Artinya, Bani Qainuqa bukan diperangi karena agama mereka.
Peristiwa Abu Jandal
Abu Jandal adalah putra dari Suhail, seorang jururunding dari Quraisy Mekkah saat berunding dengan Rasulullah saw di Hudaibiyah. Abu Jandal dianiaya disaksikan langsung oleh Nabi saw dan para sahabat. Kejadiaannya setelah Perjanjian Hudaibiyah disepakati, akan tetapi belum selesai ditulis.
Tiba-tiba Abu Jandal datang dengan tangan terbelenggu. Terseok-seok. Lalu menjatuhkan badan di depan Rasul saw dan para sahabat dengan maksud minta bergabung dan perlindungan.
Sontak diprotes oleh Suhail. Sesuai kesepakatan Hudaibiyah yang baru saja, point 4 mengatakan: Kaum Quraisy yang menyeberang ke pihak Muhammad tanpa seizing walinya, wajib dikembalikan. Sebaliknya, pengikut Muhammad yang menyeberang ke pihak Quraisy tidak perlu dikembalikan. Rasulullah saw memenuhi Perjanjian Hudaibiyah. Abu Jandal dikembalikan ke Mekkah.
Artinya, Rasulullah saw mengutamakan perjanjian dengan negara lain, ketimbang menyelamatkan satu orang sahabatnya. Sebab, dengan memenuhi perjanjian bilateral, menjaga keselamatan warga negaranya.
Peristiwa di Raji dan Bi’r Maunah
Yaitu peristiwa pembantaian terhadap 70 orang sahabat yang diutus guna mengajarkan agama Islam. Rasulullah saw sangat terpukul dengan tragedi pembantaian umat Islam di Raji’ dan Bi’r Ma’unah yang terjadi selang beberapa hari. Beliau saw berduka cita sangat dalam. Nabi saw mendo’akan kecelakaan selama 30 hari saat shalat fajar atas mereka (kabilah Lihyan, Ri’il, Dzakwan dan Ushayyah) yang membunuh para sahabat. Beliau saw bersabda: “Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Nabi saw tidak mengirim pasukan ke Raji dan Bi’r Maunah, karena menimbang kemashlahatan umat Islam yang lebih besar. Tragedi Raji’ dan Bi’r Ma’unah terjadi setahun pasca kekalahan kaum muslimin di perang Uhud. Negara Madinah mendapat tekanan opini negatif dari dalam negeri yang dilancarkan oleh orang-orang Munafik. Di dalam negeri Yahudi membuat skenario membunuh Nabi Muhammad saw. Merasa negara Madinah sedang lemah, Yahudi Bani Nadhir membuat konspirasi untuk menghancurkan negara. Mereka mendesak kaum Quraisy agar segera menginvansi Madinah. Rasulullah saw bersiap-siap menghadapi serang Ahzab Arab. Perang Ahzab (Khandaq) terjadi setahun setelah tragedi Raji’ dan Bi’r Ma’unah.
Artinya, kemaslahatan negara secara umum dan keselamatan warga negara di dalam negeri, lebih diutamakan ketimbang mengerahkan pasukan, yang diprediksi lebih banyak mudharatnya.
Dari ketiga kasus di atas, perang dan pengiriman pasukan yang dilakukan Nabi saw murni soal politik, bukan aqidah.
Indonesia memang mempunyai amanah konstitusional untuk melawan penjajahan, menjaga perdamaian dunia dan ketertiban umum sesuai Pembukaan UUD 45, namun dalam pelaksanaannya, pemerintah Indonesia tetap dalam koridor perjanjian-perjanjian internasional yang disepakatinya. Di samping itu, kebijakan politik luar negeri Indonesia, harus mengutamakan kepentingan, keamanan, keselamatan dan kemaslahatan warga negara di dalam negeri. Inilah politik luar negeri yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.
Penulis adalah Pengurus LD PWNU Jabar