Rosario di Akhir Ramadan

Penulis: Erri Subakti

Langit tak berawan malam ini. Dari balik jendela lantai 21 gedung kawasan segitiga emas, Rosa menatap gemerlap cahaya kota megapolitan yang kian berat bebannya. Sejurus pandangannya beralih ke gadgetnya, sebuah WA masuk dari Pak Soleh, supirnya.

“Mobil sudah siap, bu,” tulis pak Soleh.

-Iklan-

“Tunggu sebentar, saya turun,” ketik perempuan yang sudah mencapai usia setengah abad ini.

Life begins at 50, or maybe “second life?”

Rosa kini menjabat direktur sebuah grup perusahaan yang begerak di bidang migas dan perkebunan, bisnis utamanya. Karirnya ditapaki naik dan turun hingga sekarang.

Saat langkah kakinya menapaki lobby gedung, security yang berjaga memberi hormat pada Rosa. Ia membalas dengan sapaan, “Tadi Pak Soleh sudah kasih bingkisannya?”

“Oh paket sembako dari Bu Rosa, ya? Sudah Bu. Terimakasih banyak, bu. Sudah dibagi-bagi semua dengan satpam lain dan OB dan kawan-kawan,” jawab si security.

Rosa tersenyum lalu masuk ke Alphard putihnya.

Sudah puluhan tahun Pak Soleh menjadi supir Rosa, hingga ia tak perlu lagi bertanya ke mana bosnya itu akan menuju, apakah pulang ke rumah atau hendak mampir ke tujuan lain. Pak Soleh melajukan mobil ke arah utara kota.

“Masih banyak paket sembakonya, Pak Soleh?” tanya Rosa.

“Masih bu, tuh di belakang, jadi mohon izin saya mengarahkan mobil ke arah utara,” jawab Pak Soleh.

“Saya mau mampir ke Masjid Al Hakim di Marunda,” ujar Rosa spesifik tentukan arah tujuan.

“Siap, bu,” respon Pak Soleh.

Rosa adalah penganut Katolik yang taat. Hatinya bagai malaikat. Namun ia telah mengalami pergulatan bathin dan lika-liku kehidupan yang penuh perih.

Kini ia tinggal sendiri di Oakwood. Sebagai single parent, ia telah sukses di bidang karir dan mengantarkan putera dan puterinya ke jenjang pendidikan tinggi di luar negeri hingga kini anak-anaknya berkarir di Qatar dan Singapura.

Mobil berhenti di lampu merah. Di sebelah mobilnya berhenti sebuah motor yang dikendarai seorang bapak muda yang membonceng istri dan 2 anaknya. Satu anak lelaki memegang erat kotak mainan mobil-mobilan dengan mata berbinar-binar. Anak lainnya, perempuan, nampak sedang berceloteh ke ibunya. Entah ngomong apa, tapi nampak kebahagiaan pada keluarga kecil itu.

Dua hari lagi lebaran.

Rosa menitikkan air matanya. Ia teringat di awal rumah tangganya. Mengontrak sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Menjalani kehidupan yang serba jauh dari kecukupan. Makanan seadanya, dan betapa senangnya ketika jelang lebaran. Meski hanya mampu membeli baju baru murahan di pasar untuk anak-anaknya masing-masing sepotong pakaian.

Suaminya yang telah meninggalkannya, beragama Islam. Perkawinan mereka tak terlalu disetujui kedua keluarga masing-masing. Jarak menganga sangat lebar di antara kedua keluarga. Ia meninggalkan kehidupan nyaman untuk bersama pria yang ia cintai.

Bahagia saat itu. Namun kehidupan membawa mereka dalam ombak besar prahara rumah tangga. Justru setelah belasan tahun masing-masing berhasil mencapai puncak karirnya, sepuluh tahun lalu. Suaminya yang sudah menjadi direktur regional sebuah grup perusahaan, hanya pulang 1-2 bulan sekali. Jarak, kesibukan masing-masing, dan kurangnya intensitas komunikasi, membawa keduanya menjadi kurang saling memahami.

Masing-masing merasa asing dengan pasangannya. Pertengkaran demi pertengkaran tercipta karena keegoisan dua insan. Lankah sembrono ia dan suaminya mengantarkan pada akhir rumah tangganya.

Meski telah bercerai dengan suaminya yang muslim, dan ia sendiri tetap sebagai penganut Katolik, Rosa masih tetap ikut merayakan keceriaan hari Lebaran. Baginya, kebahagiaan sesungguhnya yang ia rasakan dalam bathinnya ketika berbagi rezeki dan membuat orang lain bahagia.

Tak peduli apapun agamanya dan siapa mereka, Rosa merasakan bahagia membanjiri kalbunya ketika bisa memberi dan berbagi kepada sesama manusia.

Dengan susah payah, Alphard putih melalui gang kecil menuju masjid, dan parkir di depan pagar.

“Jangan dibuka dulu pintunya, Pak Soleh,” ujar Rosa.

Rosa perlahan melepaskan wig-nya, meski tanpa rambut, di usianya yang tak muda lagi, masih terlihat guratan-guratan kecantikan sejati di parasnya. Ia mengambil sebuah kerudung, lantas dikenakannya di kepalanya.

***

Ustadz Nardi sumringah malam itu ketika mengantarkan Rosa keluar dari masjid dan masuk ke dalam mobil. Sudah 3 tahun Rosa belum mampir lagi ke masjidnya, memberikan donasi.

Rosa telah duduk kembali di dalam mobilnya. Di tangannya tergenggam sebuah kenang-kenangan yang diberikan sang ustadz tadi di masjid. Dilihatnya kembali. Sebuah rosario cantik berwarna broken white dari mutiara.

Rosa merasakan bahagia di akhir Ramadan ini. Karena hidup manusia sesungguhnya untuk membawa kebahagiaan bagi manusia lainnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here