Penulis: Erri Subakti
Dulu saya ga tau siapa itu Atta Halilintar, baru beberapa tahun ke belakang saya tau soal keluarga Youtuber Gen Halilintar, dari anak saya.
Teman saya Lani di Wamena Papua sana juga tidak tau siapa Atta Halilintar. Jangankan mau menghabiskan waktu untuk nonton youtube, kalau tidak berkebun kopi, dari mana Lani bisa mendapatkan penghasilan.
Tapi inilah Indonesia. Ada anak muda yang dengan kerja kerasnya memproduksi konten-konten youtube dan kaya raya, ada anak muda yang bergelut dengan biji kopi dan berlari mengejar ketertinggalan industri kopi dunia yang tumbuh begitu cepat.
Saya sendiri gak tertarik melihat konten-konten dari Atta. Tapi tidak begitu dengan jutaan followersnya dan puluhan juta viewersnya.
Mereka mungkin merasa terhibur dengan tontonan ringan yang tak membuat dahi berkerut. Melepas lelah dari penatnya kehidupan sehari-hari. Menyaksikan yang unik dan menarik yang membawa mereka terbang membayangkan tayangan dari Atta. Seperti membawa mereka ke pseudo environment (lingkungan palsu). Seperti Atta betul-betul berbicara sama viewersnya, personal, dan para viewers seakan-akan ada di lokasi tempat Atta membuat konten video.
Sebuah alam simulakrum tercipta, leburnya dunia yang tak nyata seakan menjadi nyata. Hingga pernikahan Atta pun seakan-akan mengundang seluruh rakyat Indonesia. Sebuah digital marketplace bahkan jelas menjadi sponsor utama perhelatan pernikahan Atta dan Aurel.
Bayangkan, Wali dari Atta adalah Ketua MPR RI, saksi nikahnya adalah Presiden RI, dan Menteri Pertahanan yang beberapa kali nyapres menjadi rival Jokowi. Sungguh cuma Atta yang mampu menghadirkan pseudo environment sebesar ini. Seakan-akan pernikahan Atta selevel Asian Games.
Banyak yang bertanya-tanya, kok bisa sih, kok mau sih Jokowi dan Prabowo jadi saksi nikah Atta. Memangnya siapa dia? Itu juga termasuk pertanyaan saya.
Bagi saya dan beberapa yang lain yang masih terheran-heran dengan esensi dari konten-konten Atta di channel youtubenya, mungkin ga akan bisa memahami kenapa banyak yang menggemari menonton Atta.
Tapi bagi jutaan dan puluhan juta viewers Atta, menonton Atta adalah ecstasy, seperti sekedar mereguk pelepas dahaga. Memberikan tontonan ringan tanpa perlu memikirkan hiruk-pikuk politik, gaduhnya berbagai isu dan polemik di media yang tak kunjung usai, dan membuat dahi semakin berkerut, padahal semua isu dan polemik itu tak langsung berhubungan dengan kebutuhan mereka sehari-hari. Dan yang seperti ini buanyak… jauh lebih banyak.
Atta adalah Indonesia. Bukan soal puluhan miliar pajak yang ia bayar untuk negara ini. Atta adalah orang Indonesia yang naif. Tak perlu pretensi politik apapun dalam keseharian. Atta adalah orang Indonesia biasa. Yang cukup berperikehidupan untuk menikmati hidupnya saja, tentu dengan sensasi. Karena lewat sensasi Atta bisa kaya raya, selama sensasi tak melewati batas etika.
Mungkin karena Atta tak memiliki pretensi politik apapun, permintaannya kepada Jokowi, Prabowo, dan Bambang Soesatyo dalam pernikahannya, dianggap sebagai permintaan orang biasa yang kebetulan bisa berkomunikasi dekat dan baik kepada para petinggi negeri.
Jadi buat saya yang tak kunjung mengerti kenapa pernikahan Atta bisa selevel dengan Asian Games, ditayangkan live, disponsori berbagai perusahaan, dihadiri petinggi-petinggi negeri, cukup berkesimpulan: ya begitulah.
Begitulah, Indonesia.
Siapa kita? I. N. D. O. N. E. S. I. A
Kita suka apa? S. E. N. S. A. S. I