Penulis: Erri Subhakti
Beberapa waktu lalu muncul di media hasil survei embuh, Anies menempati persentase tertinggi yang dipilih anak muda, disusul Ganjar dan RK.
Saya sih ga gimana-gimana soal hasil survey itu.
Karena dalam politik tak semudah survey 1.200 orang.
Apalagi untuk pilpres 2024.
Masih panjang perjalanan, 3 tahun lagi.
Jika berkaca pada 3 tahun sebelum pilpres 2014, artinya tahun 2011, nama Jokowi ga masuk sebagai capres 2014 dalam survey. Ramenya saat itu Jokowi masuk bursa cagub DKI Jakarta.
Hanya dalam 2 tahun jadi gubernur DKI, nama Jokowi makin mencuat sebagai salah satu capres dalam survey “pilihan terbuka”. Karena tahun 2013 itu capres-capres yang sudah melakukan deklarasi adalah: ARB, Prabowo, dan nama Mega masih santer untuk jadi capres.
Jadi lembaga-lembaga survey biasanya mengkategorikan nama-nama capres di atas utk pertanyaan jika ketiga sosok di atas nyapres, siapa yang unggul. Saat itu nama Prabowo unggul sebagai capres jika diadu lawan ARB dan Mega.
Tapi ketika diberikan pertanyaan terbuka siapa dari responden yang dijagokan sebagai capres, baru nama Jokowi muncul.
Kenapa?
Ya tentu Jokowi saat menjadi gubernur DKI langsung menggebrak dengan berbagai perubahan revolusioner dalam birokrasi Pemprov DKI. Juga sepak terjangnya saat itu, yang blusukan, yang tak mau dikasih “panggung”, namun hal itu yang justru membuat insan media selalu memburu kegiatan Jokowi. Ia menjadi media darling.
Banyak kesaksian para wartawan yang menanti-nanti Jokowi keluar dari balaikota untuk blusukan. Dan Jokowi juga kerap keluar sembunyi-sembunyi bukan dengan mobil dinas gubernur. Akhirnya wartawan sering kelabakan ketika mengikuti mobil DKI 1 ternyata Jokowi tidak di dalamnya. Jokowi dengan kendaraan lain meluncur ke tempat lain. Wartawan seru langsung menyusul ke lokasi blusukan Jokowi.
Berkaca bahwa dalam 2 tahun perubahan nama capres yang unggul dalam survey, sangat mungkin terjadi. Begitu juga sekarang.
Usai 2022, Anies tak lagi menjabat gubernur DKI. Meninggalkan berbagai janji yang hasilnya nol.
Panggung politik apapun yang selanjutnya jadi ajang Anies untuk berkoar-koar tak akan “segemerlap” saat ia menjabat gubernur.
Anies akan menjadi “tukang obat pinggir jalan” mungkin seperti Rocky Gerung, Gatot, atau Amien Rais. Omongannya masih dikutip media. Media akan masih mengundangnya bicara. Sudah tentu omongannya akan selalu menjadi antitesis dari pemerintah. Itu jualannya.
Di sisi lain, masih belum tentu ada parpol yang akan mengusung dia sebagai capres. Dan untuk bisa diusung parpol, perjalanannya pun ga serta-merta bisa bulat. Dalam politik masih sangat cair, siapa yang akan diusung sebagai capres. Sangat dinamis, dan panjang prosesnya. Lobby sana-sini.
Ditambah kubu “oposisi pemerintah” sekarang ini makin protol. Partai-partai kecil ga kuat untuk mengusung Anies sebagai capres jika tanpa parpol besar yang mengusungnya.
Cuma Gerindra yang bisa membuat Anies sebagai capres. Perolehan suara besar, duit banyak, dan “lihai dalam penggalangan”, apalagi dalam melontarkan isu-isu (hingga hoax) yang agitatif.
Ya itu kalau Gerindra mau….
Dalam 2 tahun ke depan, akan terjadi perubahan peta capres. Siapapun yang maju, dia tentunya akan mengenakan jaket parpol, sebagai tanda bahwa ada parpol yang mengusungnya. Dalam 2 tahun, siapapun yang kinerjanya moncer dan kinclong saat menjabat dan meninggalkan legacy revolusioner dan fenomenal, akan melanjutkan estafet untuk membawa Indonesia Maju.
Dan itu ga dimiliki oleh Anies, tidak (belum) berjaket parpol, dan tidak memegang jabatan politik setelah tahun 2022.
Baca artikel menarik:
Mendadak Kaya, Butiran-butiran Emas Tiba-tiba Muncul di Pantai Maluku Tengah