SintesaNews.com– Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada akhir November 2020 lalu telah menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2021 sebesar Rp 16,9 triliun. Seluruh fraksi di DPRA menyetujui anggaran belanja yang diusulkan Pemerintah Aceh. Rapat persetujuan Rancangan Qanun (Raqan) APBA tahun anggaran 2021 diputuskan dalam rapat paripurna di DPR Aceh, Senin (30/11/2020).
Tahun 2021 Aceh memiliki APBA nyaris Rp 17 triliun. Bandingkan dengan Bengkulu yang hanya memiliki sekitar 3 triliun, Jambi sekitar 4,5 triliun, Sumatera Utara sekitar 15 triliun. Bahkan, pada tahun 2019, APBD Aceh hanya kalah dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah. APBD Aceh terbesar ke lima se Indonesia, pada saat yang sama juga meraih peringkat keenam termiskin se Indonesia.
Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Naggroe Aceh Darussalam menjadi daerah termiskin dengan daerah lain di tanah Sumatera. Tingkat kemiskinan mencapai 15,43% atau sebanyak 833,91 ribu orang pada September 2020.
Dana otonomi khusus (Otsus) Aceh yang sudah digelontorkan oleh pemerintah pusat sejak 2015-2020 Rp 47,6 triliun juga belum dimanfaatkan secara baik.
Walhasil dengan data dari BPS tersebut Kantor Gubernur Aceh dibanjiri karangan bunga satire.
Potret Kemiskinan Aceh
Sebuah potret kemiskinan masyarakat Aceh bisa dilihat dari kehidupan seorang ibu tujuh anak yang masih berusia belia dan balita itu harus tinggal di rumah yang sudah tidak layak huni bersama dengan anak-anaknya. Bahkan rumah berlantai papan itu sebagian sudah patah dan berlubang.
“Mau bagaimana lagi, hanya ini rumah yang kami punya untuk kami tempati,” ujar Nurwati saat dijumpai TIMES Indonesia di kediamannya, Senin (22/2/2021).
Sepeninggal almarhum suaminya setahun yang lalu, Nur menjadi tulang punggung keluarga.
Meski dikatakan tak layak huni, rumah ini tempat ternyaman menurutnya. Akan tetapi, Nur khawatir sewaktu-waktu anaknya yang masih kecil akan terperosok kelubang lantai papan yang telah patah.
Untung saja, sapaan akrabnya Kak Nur, ia mempunyai kerabat yang berbaik hati kepadanya. Hingga diberikan tumpangan tempat tinggal di gubuk yang persis berada disamping rumahnya tersebut. Kondisi gubuk yang ditempati Nur saat ini juga sangat memprihatinkan.
Sebagai penerang gelap gulitanya malam, Kak Nur juga menggantungkan nasibnya kepada kerabatnya itu, karena ia tidak memiliki meteran PLN.
Dengan terbata-bata dan berlinang air mata, Nur menceritakan kepedihan dan kesedihan kehidupannya kepada TIMES Indonesia.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ibu dari balita bernama Nabila Wati (2) dan Teungku Zulfan Rahmat (6) itu harus rela bekerja sebagai penambal ban sepeda motor (Sepmor). Penghasilannya perhari diperkirakan Rp 30 sampai Rp 50 ribu perhari.
“Hasil dari menambal ban tergantung reseki, biasanya Rp 30 sampai Rp 50 ribu perhari. Tapi hari ini (22/2/2021), seribu rupiahpun belum ada pemasukan,” cerita Nur.
Sebagai kepala keluarga, dirinya giat berkerja agar ketujuh anaknya tersebut bisa mencukupi kebutuhan pokok harian. Terkadang Nur juga dibantu anak sulung dan anak keduanya untuk menambal ban pelanggan yang datang.
Selain menambal ban bocor, untuk menambah penghasilan Kak Nur juga membelah ban dalam bekas yang akan dijualnya sebagai karet ikat dengan harga Rp 2 ribu rupiah perpotong.
“Beginilah kehidupan kami untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari,” keluh Nur dengan cucuran air mata.
Kak Nur cerita, dari ketujuh anaknya tersebut saat ini hanya Filma (10) anaknya yang kelima yang masih mengenyam bangku pendidikan kelas 4 Sekolah Dasar (SD) disalah satu sekolah setempat. Selain dari Filma, anak pertama, kedua, dan ketiga putus sekolah karena berkeinginan untuk membantu perekonomian kekuarga. Sementara anak keempat Nur mengalami keterbelakangan pasca kecelakaan beberapa tahun lalu.