Penulis: Lunna Se
Hidup memang tak semulus paha langsatmu, Sum..
Ia harus berkelok, berliku, terjal dan menggoda..
Itu baru namanya hidup..
“Aku didatengin terus mas, sama pak Lurah. Dia memintaku untuk jadi istri ke empatnya. Ibu-Bapakku ndak bisa apa-apa mas. Mereka pasrah karena terjerat hutang”
Begitulah bunyi curahan hatimu kemarin sore. Ketika kita berpapasan di ujung jalan kampung ini. Ketika aku baru saja menyelesaikan tugasku sebagai anak lanang sekaligus jejaka tua satu-satunya yang orang tuaku miliki, nyari rumput untuk pakan kambing-kambingku.
Baru empat puluh lima hari sejak kematian suamimu, Sum. Aku ingat betul bagaimana kamu nyaris gila di kuburan, dan hendak ikut nyemplung di liang lahat saat itu. Untung saja, banyak laki-laki kekar kampung ini yang tenaganya tak terkalahkan olehmu, aku contohnya. Saat itu akulah yang menahanmu. Entah keberuntungan atau kesialan. Karena setelah itu beberapa perempuan menggaplok kepalaku. Sakit, Sum.
Lain hari kamu bercerita lagi..
“Jadi janda itu ndak enak ya, mas? Selalu saja dipandang miring. Saat aku mau ke sungai, sekelompok ibu-ibu yang lagi nyuci sibuk ngomongin aku. Terutama mbak Sri, yang bilang kalau aku menggodai suaminya. Padahal demi Allah, mas! Suaminya mbak Sri saja yang selalu genit sama aku. Aku ndak pernah meladeni!”
Sumi marah-marah.
Sebagai lelaki dan jejaka lumutan sepertiku, tak tau aku harus memberi nasehat macam apa ke Sumi. Si janda kembang yang jadi primadona laki-laki. Sementara setiap kali melihatnya, hatiku kebat kebit, darahku berdesir, dan jantungku berpacu tak karuan. Tapi aku terlalu penakut untuk mengakui. Lagi pula dia masih berduka. Bajingan macam mana yang mencari kesempatan dalam kesempitan seperti itu?
Dan lagi. Almarhum suaminya, Parjo, merupakan teman sepermainanku. Dia mati mendadak muntah darah sehabis menghadiri perayaan sedekah bumi di balai desa. Bagiku, kematianya merupakan misteri. Misteri yang sampai sekarang tidak ada yang berani mengungkitnya.
“Mas, kok kamu ndak kawin-kawin sih? Padahal kamu ngguanteng je.. Kamu pasti terlalu pilih-pilih ya?”
Sum.. Sum.. Candaan macam apa yang sedang kamu lontarkan kepadaku? Bukan aku yang pilih-pilih, tapi tak ada yang sudi dengan jejaka bau lutung macam aku, Sum. Yang kerjaanya nyari pakan kambing dari kebon ke kebon, dari hutan ke hutan..
Lagian siapa yang nggak mau nikah? Aku juga kepingin. Kepingin sekali malahan. Tapi apakah pernikahan semudah kalimat yang meluncur begitu saja dari bibir merahmu? Kamu juga tau jawabanya, Sum.
“Mas, apakah menurutmu kematian suamiku ada yang aneh?”
Inilah pertanyaan Sumi yang membuat aku tak mampu menjawab. Tapi kepalaku mengangguk-angguk tanda “Iya”. Ada yang aneh dengan kematian suaminya.
“Sejak awal aku sudah curiga, mas. Bagaimana mungkin orang mati masih mengeluarkan darah dari mulutnya, dan anu, mas…”
“Apa, Sum?”
Aku tak sabaran.
“Aku melihat ada tiga buah jarum yang keluar bersamaan dengan darah dari mulutnya…”
Lanjutnya.
Aku terbelalak. Inilah jawaban dari kecurigaanku selama ini. Lantas siapa yang melakukan?
“Mas, mas Paidi mau bantu aku kan?”
Tanyanya.
“Ya, Sum. Bantu apa?”
Aku makin penasaran.
“Nanti malam temani aku ya, Mas. Kita ketemu di sini”
Sumi berbisik.
Di sini. Maksudnya tempat ini. Ujung jalan kampung menuju hutan dan sungai. Aku biasa duduk istirahat di sini sejenak sebelum memasuki perkampungan. Ada batu besar yang menjadi tempat untuk duduk melepas lelah.
Sumi pergi meninggalkan tanya di benakku. Lekuk-lekuk tubuhnya yang berbalut kain bahkan tak sempat aku perhatikan.
Nanti malam?
Tapi jam berapa?
***
Aku tidak tau pasti jam berapa, yang jelas selepas isya tadi aku sudah berada di sini. Menunggu Sumi. Apa gerangan yang akan ia lakukan. Sehingga butuh bantuanku?
Sekira jam delapan. Batang tubuh Sumi sudah terpampang di hadapanku dengan nafas tersengal-sengal. Karena ia jalan setengah berlari.
“Maaf, mas. Telat dikit”
Katanya. Aku tak terlalu mempermasalahkan. Di tangan kanannya ada obor dari batang bambu yang menyala terang. Sementara tangan kirinya membawa sebungkus plastik hitam. Entah apa isinya.
“Ikuti aku, mas”
Katanya.
Bagaikan kerbau dicocok hidungnya, aku mengikuti langkah Sumi dari belakang. Si janda kembang yang jadi incaran kaum hidung belang di kampung ini.
Sepanjang jalan kami tetap diam. Aku bahkan tak memperhatikan ke arah mana Sumi mengajakku. Aku terlalu sibuk memandang keindahan tubuhnya dari belakang. Aku memang ngeres. Terlalu sayang pahatan Tuhan yang seindah ini untuk aku lewatkan.
“Sudah sampai, mas” .
Bisiknya. Aku terkesiap.
Aku jelas mengenali tempat ini. Kebun singkong di dekat rumah pak lurah. Aku tidak tau rencana apa yang akan Sumi lancarkan.
“Tolong pegangin, mas”
Ia menyorongkan obor dan bungkusan plastik ke arahku. Aku menerimanya. Sementara ia sibuk membuka baju sat persatu dan disampirkan seenaknya ke pundakku. Aku terbengong. Kaget. Mataku mendelik. Tapi aku langsung sadar dan balik badan. Sumi tak peduli. Aku tidak tau isi otaknya saat ini.
Ia mengambil isi bungkusan yang ada di lenganku. Seperti minyak baunya. Secara jelas aku tidak tau apa yang dia lakukan. Sebab posisiku membelakanginya. Tapi dari suaranya dan menurut tebakanku, Sumi melumuri minyak tersebut ke sekujur badannya. Singkat saja. Ia kemudian mengambil baju yang tadi disampirkan ke pundakku dan mengenakannya kembali.
“Sudah selesai, mas”.
Bisiknya.
Aku balik badan. Wangi sekali baunya.
“Mas, tolong menjauh. Aku duluan. Aku memenuhi undangan pak lurah. Mas lihat saja dari sana”
Bisiknya lagi.
Ia menunjukan tempat yang agak nyaman untuk ngintip. Aku menuju ke tempat itu. Sementara Sumi masuk ke rumah pak lurah dengan memawa obor
Aku memulai aksiku. Mengintip kegiatan apa yang ada di dalam. Ada sekitar tujuh laki-laki di sana. Satu di antaranya pak lurah. Musik ronggeng mengalun samar-samar yang dimainkan oleh sekelompok pria di ujung kanan. Mengiringi para laki-laki yang sedang mabuk tuak.
Sumi muncul dari dalam. Dengan senyum khasnya yang mengembang. Seluruh mata para lelaki melotot ke arahnya.
Sumi naik ke panggung kecil. Ia menggeliat. Irama musik semakin kencang. Sumi meraba inci per inci tubuhnya. Meremas bagian-bagian yang menggoda. Aku terpana. Pak lurah bangkit. Ia mendekati Sumi. Menciuminya. Kemudian menyeretnya ke belakang. Aku tak tau lagi apa yang mereka lakukan. Tapi hatiku berdebar kencang dengan dugaan yang semakin liar.
Aku masih menunggu. Sumi tak jua muncul. Aku berdebar. Permainan gila macam apa yang barusan aku saksikan?
Aku gemetar.
“Sudah selesai, mas”.
Bisikan suara Sumi mengagetkan ku. Lega sekaligus berdebar.
“Dia sudah mati, mas”
Aku terkesiap.
“Dia yang membunuh suamiku. Dia menginginkanku. Tapi sekarang dia sudah mati menjilati racun yang ada di sekujur badanku. Mampus dia, mas!”
Tiba-tiba aku ngeri. Aku merinding. Rasanya aku ingin kabur dari perempuan di depanku ini.
“Jangan takut, mas”.
Dia berbisik di telingaku.
“Kamu saksi satu-satunya”. Lanjutnya.
“Kita semua juga akan mati”.
Katanya lagi.
Sumi mendekatiku. Memberiku sebuah kecupan di pipi. Kemudian memelukku.
“Aku mencintaimu, mas…”
Desahnya.
Untuk sesaat aku terhipnotis. Sebelum akhirnya aku sadar dengan rasa sakit yang menghujam jantungku. Sumi menusukku. Ia memutar pisau yang tertancap di dadaku. Lalu mencabutnya. Dan menghujamkanya di perutnya. Kemudian ia akhiri dengan sekali besetan. Perutnya robek. Matanya melotot.
Mati!