Ali Moertopo, Aspri Presiden Seribu Mata-mata

Penulis: Erri Subhakti

Presiden Indonesia pernah memiliki asisten pribadi (aspri) yang dijuluki 1.000 mata-mata. Ialah Ali Moertopo, aspri Presiden Soeharto di awal-awal masa orde baru.

Ali Moertopo ini intelijen kawakan sejak jaman Presiden Soekarno. Ia yang terjun langsung ke Papua mendekati Kepala-kepala Suku di sana untuk bergabung dengan Indonesia sebelum pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat).

-Iklan-

Ke-andalannya di bidang mata-mata dan memainkan strategi intelijen untuk mencapai tujuan yang melapangkan Soeharto menjadi pejabat presiden, juga membuat Soeharto bisa mempertahankan kekuasannya usai Pemilu 1971.

Padahal kekuatan awal Soeharto untuk menghadapi Pemilu 1971 belumlah kuat. Masih banyak rakyat yang pro terhadap Soekarno. Namun lewat sepak terjang Ali, langkah-langkah menyusun kekuatan Golkar dengan berbagai cara bisa ia bangun.

Datang dari pesisir utara Jawa, tangan kanan Soeharto sejak Kodam Diponegoro ini merupakan simpul penting Soeharto dan politik orde baru. Intel dan politikus ulung. Ali terus di sisi Soeharto ketika Soeharto menjabat Pangkostrad, ia memimpin sejumlah operasi intelijen.

Di masa saat aktivis-aktivis mahasiswa getol berdemonstrasi untuk menjatuhkan Soekarno, Ali menyokong dan melindungi gerakan mahasiswa. Misalnya ketika intel Cakrabirawa memburu para aktivis, Ali menyembunyikan mereka di kantornya, markas Komando Tempur II Kostrad, Jalan Kebon Sirih Jakarta. Gilanya lagi Ali juga membekali para aktivis dengan senjata api.

Para aktivis mahasiswa mengetahui belakangan bahwa senjata api yang diberikan pada mereka ternyata senjata api yang rusak. Hehehe….

Di awal Soeharto akhirnya menjadi pejabat Presiden, Ali menggelar pelbagai operasi khusus; membabat partai politik untuk membesarkan Golkar, menciptakan fobia pada Islam dengan merangkul islamis radikal. Ali mewujudkan politik tampil suram dengan kasak-kusuk dan adu domba.

Sebagai Kepala Operasi Khusus (Opsus) sekaligus aspri Soeharto, jejak intelijen Ali di mana-mana. Memberangus lawan-lawan politik Soeharto, menggagas peleburan partai-partai politik menjadi 2 saja agar mudah dikendalikan, yang terwujud pada tahun 1973. Peserta Pemilu pun kemudian hanya 3 kontestan yaitu PPP, Golkar, dan PDI.

Dia memperkuat orde baru dengan lembaga think tank CSIS (Centre for Strategic and International Studies). Canggih kan. Dari lembaga inilah masukan-masukan strategi dan kebijakan Soeharto di awal era 70an.

Ali merekrut intelektual-intelektual muda, menggerakan diskusi, bahkan mendalangi “demonstrasi.”. Melahirkan sejumlah organisasi kepemudaan dan profesi, serta menyusupi dan “menggarap” kelompok-kelompok Islam radikal. Greget betul.

Gak cukup sampai di situ, Ali menelurkan buku Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun. Wuih…! Bayangkan sejak 1972 Ali sudah berpikir untuk melanggengkan kekuasaan orde baru sampai 25 tahun!

Hingga MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) menerima pemikiran Ali tersebut sebagai strategi pembangunan jangka panjang. Mantab.

Ali Moertopo menjadi perancang utama tatanan sosial-politik Orde Baru. Ngeri men…!

Di dalam negeri nyaris tak ada arena politik yang lepas dari jangkauannya. Di luar negeri pun ia banyak meninggalkan jejak.

Kembalinya Soemitro Djojohadikusumo (ayah Prabowo yang lari keluar negeri karena terlibat pemberontakan PRRI) ke Indonesia, juga karena langah-langkah intelijen Ali. Selain itu ia juga yang berperan penting dalam bergabungnya Irian Barat (Papua) dengan NKRI, mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia, integrasi Timor Timur, dan pembentukan ASEAN.

Ada satu cerita unik saat ia berpidato di Thailand di hadapan National Security Council, ia berpidato dengan naskah berbahasa Inggris, namun ia tak memeriksa lagi naskah yang sudah disiapkan sebelum ia naik podium. Setelah membacakan isi speech-nya, tiba-tiba ia berhenti. Masih di podium ia mengatakan, “Edan iki, kurang siji.” Melihat konten dalam naskah pidatonya yang kurang. Ali langsung menutup pidatonya, “I hope you understand what I mean.”

Peran besarnya untuk kelanggengan kekuasaan Soeharto akhirnya memang membuat penguasa Orde Baru itu betul-betul berkuasa absolut. Hingga ia pun tak berdaya saat Soeharto secara perlahan menyingkirkannya, karena “masa pakai”nya dianggap sudah tidak lagi diperlukan oleh Soeharto.

Diawali dari rivalitasnya dengan Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) Jenderal Soemitro yang berujung pada meletusnya kerusuhan Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974. Aspri presiden pun dibubarkan.

Ali tak lagi leluasa keluar masuk istana, meski pangkatnya naik menjadi Letnan Jenderal dan diberi jabatan Wakil Kepala Bakin. Sudah tidak sedekat lagi seperti sebelumnya dengan Soeharto, Ali masih diberikan kepercayaan menjadi Menteri Penerangan di tahun 1978 hingga 1983.

Untuk bertemu presiden, Ali harus mengikuti prosedural. Soeharto tak lagi sering memanggilnya untuk datang ke rumahnya di Jalan Cendana. Ia hanya dipanggil ke Bina Graha, kantor Soeharto di lingkungan istana. Itu pun setelah ia datang menghadap Soeharto, hanya dicuekin saja. Ali keder dengan tindakan Soeharto yang memintanya menghadap tapi setelah datang, dicuekin.

Usai jabatannya sebagai Menteri Penerangan digantikan oleh Harmoko pada 1983, Ali diberikan jabatan sebagai Wakil Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Ali menyebutnya sebagai “tempat penampungan bagi mereka yang tersisih.”

FOllOW IG @sintesanews

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here